Bab 4

2.7K 16 0
                                    

Aku tidak tahu apa yang sedang dunia rencanakan tentang pertemuan ini. Rasanya seperti ingin menyelami dunia lelaki matang itu, tapi ingat lagi tentang dirinya yang sudah punya istri bahkan anak.

Astaga! Sadar Luna! Itu suami orang. Jiwa miskin memang mendarah daging, tapi jangan sampai menerapkan jiwa-jiwa perebut suami orang di tampang imut ini. Sungguh dilarang keras!

Aku terkesiap dari isi pikiranku sendiri pada saat suara klakson mobil menegur. Aku buru-buru menggenggam  tas selempangku lantas berjalan cepat ke arah mobil sedan berwarna hitam di sana.

Setelah kulihat lagi, ternyata hanya ada om Burhan di dalam mobil tepatnya di balik kemudi. Shit! Aku jadi ragu di mana aku harus duduk? Di kursi belakang, atau di sebelahnya atau mungkin dipangkuan? Astaga sial! Kepalaku akhir-akhir ini memang lebih setan dari setan itu sendiri.

"Cepat naik! Saya, 'kan sudah bilang, saya tidak suka orang yang lelet! Membuang-buang waktu!" tegurnya lagi kali ini dengan suara serak serta berat, lantang penuh tantangan.

Aku lagi-lagi tertegun tak lupa meneguk ludah. Karena memang ingin menghindari kontak mata dengannya, aku memilih membuka pintu mobil bagian belakang.

"Kamu pikir saya sopir kamu!"

"Ck! Setan!"  umpatku dalam hati. Untung saja tidak keceplosan.

Siapa yang tidak kaget? Sudahlah menahan debar-debar jantung sejak tadi, malah dibentak ditengah isi kepala dan hati bertolak belakang.

"I-iya, Om-eh, Pak. Maaf," ucapku, lagi-lagi dengan lidah murahan ini.

Saat seperti ini kenapa harus mencari-cari cela untuk mengingat kejadian yang salah? Benar-benar bodoh!

Tak butuh lama, aku pun duduk di dekat Om Burhan. Di sebelahnya penuh tepatnya. Aura horornya kenapa jadi kentara seperti ini? Seperti aku akan melewati lorong penuh iblis yang siap menggoda atau mungkin menusuk hingga terjerumus dalam jurang yang dalam.

"Buka laptopnya, buatkan beberapa laporan. Bisa, 'kan?" titahnya kemudian pada saat mobil sudah mulai berjalan di jalurnya.

"Bi-bisa kok, Pak. Laptopnya mana?" sahutku menyanggupi.

"Ada di belakang."

Aku refleks menoleh ke kursi penumpang di belakang dan menemukan barang yang kucari. Tapi, ini sungguh aku akan mengambilnya tanpa berhenti dulu? Jaraknya cukup jauh. Bagaimana bisa tanganku sampai? Kalau pun bisa, aku harus berbalik sepenuhnya mungkin juga bisa menghalangi tangan lelaki ini yang sibuk memegangi alat kemudinya.

"Pak ... apa tidak bisa berhenti dulu? Tangan saya tidak sampai," keluhku dengan nada memohon.

Kudengar dia menghela napas. Kenapa? Dia gusar? Dia tidak suka? Padahalkan apa yang kukeluhkan benar-benar nyata adanya. Kalau dia tidak keberatan, aku bisa saja bergerak bebas, tapi konsekuensinya kami bisa saja bersentuhan.

"Ambil atau saya lempar kamu?" sanggahnya tak memberikanku ruang untuk berkeluh kesah.

Baiklah! Dia yang mau. Dia yang memaksa. Siapa takut? Aku akan menegaskan pada diriku kalau ini adalah salah satu ujian hidup manakala puing-puing kekayaan belum kudapatkan. Dari pada pusing, lebih baik lakukan saja. Toh, aku tidak melakukan dengan sengaja.

Segera saja aku melepaskan seatbelt dan sigap memutar tubuh sepenuhnya upaya merebut benda persegi itu. Sudah kuduga, ini pasti akan terjadi. Bodo amat! Lagi pula, bapak-bapak ini yang menginginkannya. Aku tidak menyarankan ini!

Aku tidak yakin, tapi kurasa lelaki ini kaget saat lenganku bersentuhan dengan lengannya. Kurasakan tangannya segera berpindah, seperti ingin mengelak dariku.

Begitu laptop sudah ada di tanganku, aku pun segera memperbaiki posisiku kembali. Kubuka laptop berwarna hitam pekat itu lantas menemukan wallpaper yang tiba-tiba mengetuk hatiku.

Refleks kutatap lagi wajah pria ini yang datar, tampak tenang, tapi juga bersamaan dengan arogan. Bagaimana aku tidak bertanya-tanya? Pada saat kenyataan yang kutemukan tentang pria ini, seperti suka bermain perempuan, kaku dalam berinteraksi dengan keluarga, malah menyetel foto keluarganya tepat di layar utama benda persegi yang kupangku ini.

"Saya suruh apa kamu? Jangan buang-buang waktu!" tegurnya, sepertinya sadar kalau aku menatapnya.

"Eh, iya, Pak. Saya kerjakan sekarang," sahutku cepat, lalu siap fokus pada layar monitor itu.

Aku disuruh membuat laporan yang sudah dikirim padamu tadi malam. Kalau yang seperti ini masih gampanglah. Tidak perlu membela isi kepala.

Beberapa menit aku sibuk dengan sepuluh jemariku yang diatas keyboard ini, tiba-tiba saja suara Om Burhan membuatku terdiam sebentar, "Jangan pacari anak saya kalau kamu cuma mau main-main. Saya tidak suka orang yang suka menyepelekan sebuah hubungan."

Kembali lagi kupandangi wajahnya yang bahkan tak berpindah dari jalanan yang dia tatap. "Sa-saya tidak berniat main-main, Pak. Saya tulus sama Raka."

Jawaban apa itu? Astaga!!

Sialan! Bagaimana bisa isi kepala dan lidahku tidak selaras seperti ini? Kepalaku ingin menegaskan kalau memang tiada perasaan yang seperti itu pada Raka. Tapi kenapa malah memberikan klarifikasi yang tidak berguna sama sekali?

Gagal Jadi Ayah Mertua Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang