Bab 5

3.3K 20 0
                                    

"Kalau kamu cuma butuh uangnya saja, bilang sekarang kamu butuh berapa. Saya kasih sebanyak yang kamu mau," ujarnya lagi.

Aku tertohok sebentar, langsung saja menatapnya penuh selidik. Kurang ajar bapak-bapak ini. Mentang-mentang kaya, mulutnya seenaknya bicara. Ya ... walaupun memang tiada salah dari ucapannya, tapi terlalu sarkas menurutku. Apa dia tidak punya kalimat yang lebih halus? Haruskah membuat hati mungilku ini tersindir besar-besaran layaknya diskon di mal?

Aku berdehem sebentar upaya menenangkan diri. "Bukan seperti itu, Pak. Saya murni mencintainya. Jangan anggap saya ini murahan," sahutku membela diri.

Biarkan fakta itu tetap menjadi berita hoax dalam lidahku. Karena kalau aku mengaku pada pria ini, hilang sudah harga diriku.

"10 juta bagi saya tidak seberapa," celotehnya tanpa pikir dulu.

Siapa yang tidak kaget? Laki-laki ini benar-benar sialan! Aku sudah berupaya keras melupakan tentang kejadian itu, dia malah terang-terangan membahasnya. Apa dia senang mencoba bermain-main dengan Aluna Maharani? Jika iya, habislah dia!

Aku geram lantas menutup laptop sebelum pekerjaanku selesai. Kutatap lekat-lekat pria ini walau dia enggan menatapku. Tapi aku tahu, dia menyadari kalau aku saat ini membuat tatapan penuh kekesalan padanya.

"Tujuan Bapak bicara seperti ini apa sih, Pak? Bapak emang berniat belain anak Bapak atau Bapak berniat menyewa saya lagi?" serangku tak tanggung-tanggung. Biarkan saja aku terlihat murahan di matanya. Toh, dia tidak akan bisa berbuat apa-apa.

Entah dia terkejut karena langsung terbatuk begitu aku selesai berujar. Selama jantung berdetak satu kali, selama itu pula dia melirik ke arahku yang lantas kembali menatap jalanan. "Kerjakan tugas kamu! Kenapa kamu berhenti?" tegasnya.

"Saya tiba-tiba malas, Pak," sungutku, tak peduli.

"Kamu pikir saya mempekerjakan kamu buat leha-leha? Kamu punya otak atau tidak? Jangan buat saya benar-benar buang kamu di tempat ini!" Suaranya meninggi terasa penuh penekanan.

Ck! Bapak-bapak ini cerewet sekali. Lagian dia yang memulai kenapa jadi dia yang marah-marah? Sudah baik tadi moodku bagus-bagus saja, malah dirusak begitu saja.

Entahlah, aku merasa panas dada meladeni ucapannya. Untung punya wajah tampan, kalau tadi pahatan wajahnya seperti temannya Spongebob si introver itu, aku yang sejak awal lari dari posisiku ini!

"Kalau gitu Bapak diam dong! Kenapa malah bahas-bahas kejadian lampau? Mau ngulangi lagi atau apa? Lagian, sok-sokan ngomongin kepercayaan tentang hubungan, orang Bapak aja curang sama istri sendiri," cerocosku tanpa rem.

Aku tahu ini keterlaluan, makanya segera aku meringis kecil, merutuki diri. Harap-harap pria tampan ini tidak marah. Kalau dia sampai tersinggung, habislah aku. Mana sudah dijalan yang aku sudah tidak hapal. Jauh lagi. Butuh uang banyak kalau aku harus menggunakan taksi untuk pulang sekiranya dia membuangku sekarang. Astaga! Aku kuga kadang ingin menyatukan bibirku ini agar tak terbuka lagi. Tapi bagaimana? Bicara memang seperlu itu untuk setiap manusia.

Ya Tuhan! Apakah ini akhir hidupku?

Hitungan detik saja mobil yang dikendalikan Om Burhan ini menepi dengan cepat lalu berhenti. Sudah kemana agaknya bergelinding jantungku? Entahlah. Rasanya sudah tiada di tempat lagi apalagi menyadari kalau tatapan Om Burhan satu jurus mengarah padaku.

"Kamu mau turun sendiri atau saya turunkan?" katanya dengan suara berat.

Aku meneguk ludah, getir. "Sa-saya belum selesai mengerjakan pekerjaan yang Bapak kasih. Sayang lho, udah ditengah jalan," ucapku berharap bisa menenangkannya.

"Turun!" gertaknya, tak terima penawaran apa pun.

"Maaf-maaf! Maaf, Om. Eh, Camer. Eh, Pak. Tolong maafkan saya satu kali ini. Saya janji, saya bakalan nurut. Tolong, Pak. Ini rejeki yang saya kejar-kejar sampai makan teman sendiri. Kalau Bapak turunin saya, alih-alih untung saya malah buntung, Pak." Aku memelas sebisanya, tak peduli jika sekiranya lelaki matang ini semakin gusar.

Yang terpenting aku sudah berusaha untuk tetap menjaga puing-puing rupiah yang belum kudapatkan ini.

"Saya tidak suka bercanda!" katanya lagi. Matanya membulat seiring dia mencengkeram kuat setir kemudi.

"Saja juga, Pak. Makanya saya minta maaf. Saya janji, saya bakalan diam. Lagian, kenapa Bapak bilang saya cuma manfaatin anak Bapak? Kan sakit rasanya, Pak. Apalagi Bapak bilang kalau harga saya cuma 10 juta. Bapak kayak nggak punya hati banget," imbuhku yang berujung memelas dengan wajah kesal.

Aku segera membuang wajah darinya sambil menurunkan bibir bawahku untuk memamerkan kalau aku tidak suka dengan pernyataannya.

"Siapa yang percaya pada omongan perempuan sepertimu? Hobi kamu saja sudah ketebak," sahutnya lagi, malah semakin menjadi-jadi.

"Hobi apa, Pak? Bapak tahu arti kepepet nggak? Saya itu kepepet, Pak. Saya nggak punya uang makannya saya ambil jalan lintas. Sumpah, itu pertama kali, nggak ada yang kedua atau yang ketiga! Lagian, Bapak kok orang yang nyewa saya, kalau gitu kita sama-sama murah dong?"

"Kamu cerewet sekali! Bisa tidak kalau saya bicara kamu terima saja? Mau saya lempar kamu rasanya!" tukasnya. Kulihat kerutan keningnya semakin tajam.

"Cuma orang bodoh yang mau diam pada saat disebut murah layaknya kuaci, Pak. Saya mah nggak bodoh!" Aku semakin menantangnya, ya karena memang benar. Aku bukan orang bodoh!

Dia mendesis, lalu membuang napas cukup besar. Sebentar dia terlihat memejamkan matanya sambil memijat aslinya yang tebal.

Setan apa lagi yang muncul di dalam kepalaku ini Tuhan? Kenapa aku malah terpesona melihat bapak-bapak ini? Melihat dia mengacak-acak rambutnya, serasa hatiku yang berantakan. Arggg! Dia terlalu gagah untuk jadi suami orang! Sial!

Seleraku terlalu rendah atau malah ketinggian?

"Kalau gitu buat anak saya bahagia. Jangan sakiti dia. Dia cukup berarti buat saya," pesannya sebelum mobil kembali melaju.

Hatiku lagi-lagi terketuk. Dibalik bibirnya yang memang cerewet, dia juga sangat penuh kasih sayang dan perhatian. Padahal kalau diingat-ingat lagi, perkataan Raka waktu itu amat sangat sarkastik pada ayahnya ini. Tapi, kenapa om Burhan malah tidak mempermasalahkan itu justru ingin anaknya itu bahagia.

Apa sebenarnya kesalahan Om Burhan lebih dari suka 'jajan' diluar yang membuatnya tunduk dihadapan anaknya?

Kalau benar, sayang sekali. Iya sayang. Sayang kenapa tidak denganku saja dia 'jajannya'.

Astaghfirullah! Sadar Luna!

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 27 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Gagal Jadi Ayah Mertua Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang