Bab 1

3.7K 21 0
                                    

Sudah sekitar dua bulan berlalu dari kesalahan yang diperbuat kemarin. Waktu itu, pria yang baru saja kuketahui namanya adalah om Burhan, memberikanku uang senilai 10 juta. Bukan sedikit. Aku bahkan sampai tercengang sampai memastikan dua kali kalau isi rekeningku memang bernilai sebesar itu.

Anehnya, dia hanya menciumku satu kali alih-alih melakukan lebih. Tapi, bayarannya sungguh tidak main-main. Bukan aku jadi tidak senang atau menyayangkan kenapa justru tidak melakukan hal yang lebih, aku hanya heran saja, katanya dia ingin ditemani tapi hanya berjarak satu menit saja sudah udahan.

Ah, sudahlah. Aku juga tidak akan mempedulikannya lagi. Yang terpenting sekarang, aku sudah mulai bangkit dari sisa-sisa kemiskinan yang menggerogoti diri. Walau sebenarnya belum sepenuhnya dibilang berkecukupan, tapi amanlah kalau untuk bayar kos dan makan. Kalau untuk uang kuliah, itu tugas pemerintah. Apa gunanya kita hidup di era kepemimpinan yang mumpuni kalau tidak dimanfaatkan?

"Sayang, udah siap?" Aku terkesiap mendengar suara seseorang. Kepalaku langsung saja menoleh dan mendapati sosok jangkung Raka sudah ada di dekatku.

"Eh, udah nih. Kirain masih lama datangnya," sahutku.

"Ya nggak dong. Mana mungkin aku bikin kamu nunggu."

Aku hanya tersenyum kecil.

Laki-laki yang saat ini kunaiki kendaraan roda empatnya adalah laki-laki yang memacariku tepat setelah satu pekan kejadian bersama om Burhan. Namanya Raka Adipati Prayoga. Dia mahasiswa baru. Ya, benar. Adik tingkatku.

Aku tidak akan munafik jika ada yang bilang kalau aku memacarinya hanya untuk mendapatkan keuntungan dalam segi finansial. Dan aku juga sangat tahu, kenapa Raka gencar mengejarku, karena akan berpengaruh pada nilai-nilainya nanti. Jadi-walau tidak saling jujur, kami memang saling membutuhkan.

"Luna, kamu udah bikin tugas yang kemarin nggak? Aku masih kurang paham. Maaf ya sering ngerepotin kamu," ujarnya ditengah perjalanan.

"Udah kok. Tenang aja. Lagian, apasih yang nggak buat kamu. Tugas kayak gitu mah masih gampang. Nggak usah dibikin pusing." Aku mencoba membuat keadaan kami tampak memang pacaran karena suka sama suka.

Kulihat senyum Raka sedikit mengembang. Dia tetap fokus menyetir samapi aku menyadari kalau jalanan ini bukan jalan menuju kampus.

"Lho, ini kita ke mana? Kenapa nggak ke kampus? Kamu ada mata kuliah, 'kan hari ini?" tanyaku, heran.

"Ke rumah. Aku mau ngajak kamu ketemu sama mama papa aku. Mau, 'kan?"

Aku jadi tersedak ludahku sendiri mendengar jawabannya. Segera kembali kutatap wajahnya lekat-lekat demi meyakinkan diri kalau Raka benar-benar mengatakan hal itu. "Apa?"

Raka menyempatkan menatapku. "Iya. Kamu mau, 'kan ketemu mereka?"

"Ta-tapi kenapa jadi mendadak gini? Kok nggak bilang jauh-jauh hari?"

"Aku mau ngasih kejutan sama kamu. Sekalian sama orangtua aku. Kenapa sih? Kamu nggak suka ya?"

Ya. Aku nggak suka!

Ingin rasanya aku menjawab demikian pada Raka. Apa yang ada didalam kepalanya itu sampai bisa berencana untuk mengajakku ke rumahnya? Jujur, aku bahkan tidak punya perasaan setitik pun pada pria ini. Dan aku pikir, kami berdua memang sama-sama tahu kalau kami hanyalah sebatas dua orang yang saling membutuhkan tanpa ada unsur cita rasa sebuah perasaan di dalamnya.

Tapi apa ini?

Aku lantas mengangguk-angguk ringan dan memaksa untuk tetap tersenyum. "Aku cuma kaget aja karena kamu ngajaknya dadakan. Kan aku belum nyiapin mental."

Raka kembali menoleh. Dia tersenyum kecil lalu mengacak-acak rambutku, lembut. "Santai aja kali. Kayak udah mau lewatin jalanan penuh setan aja."

Aku tertawa kecil, dipaksa. Sekali lagi, kutatap Raka yang sudah menatap lurus pada jalanan kosong di depannya. Sebenarnya, apa niat Raka terhadapku? Dia sungguh tidak mencintaiku, bukan? Kenapa aku jadi merasa kalau perlakuannya ini memang menunjukkan sosok pacar yang seutuhnya?

Tak lama, mobil yang membawa kami pun memasuki area pekarangan rumah setelah sebelumnya melewati pagar tinggi yang dibantu dibuka oleh satpam. Tidak salah lagi memang. Raka ini anak orang kaya. Mana paling sulung lagi. Ck. Sayang, aku tidak mencintainya. Aku hanya mencoba mencari keuntungan dari hasil hubungan yang aku tidak tahu arahnya ke mana.

"Yuk? Kayaknya mama udah nunggu," ajaknya begitu mobil berhenti.

"Oh, oke. Yuk." Aku hanya berpura-pura santai. Yang sebenarnya terjadi, aku berdebar. Aku belum siap bertemu dengan orangtua apalagi dengan status pacar anak mereka.

Sungguh gila dan menakjubkan. Tak berhentinya aku berdecak kagum atas apa yang sepasang mataku ini lihat. Rumah Raka tidak ada ubahnya seperti istana. Bedanya, ini yang versi modern. Lebih terupdate seluruh fasilitasnya serta desainnya.

"Hai, Ma," sapa Raka pada perempuan yang baru saja muncul dari anak tangga.

"Eh, Raka. Udah datang? Ajak duduk dong pacar kamu. Masa berdiri terus?" sahut perempuan itu. Aku hanya bisa mengulas senyum kecil.

Raka memberikan isyarat untuk mengikuti perintah ibunya. Mendadak aku jadi tampak seperti putri malu, sedikit-sedikit hanya bisa tersenyum tanpa berbicara. Sial! Kenapa jantungku terasa jadi dua kali berdetak lebih cepat?

Kulihat seluruh isi dalam rumah dan baru menyadari kalau atmosfernya cukup sepi. Tiada siapa pun yang mengusik apalagi bunyi-bunyi tak jelas yang paling tidak menganggu pendengaran.

Jangan tanya kalau dirumahku di kampung sana. Tidak akan pernah setenang di rumah Raka ini. Tapi sedongkol-dongkolnya diusik suara yang tidak bersahabat, lebih sulit menghadapi ketenangan ini. Sudah seperti berada di sekitar kuburan.

Tak lama ibu Raka mendekam di dapur yang katanya ingin membuat minuman, seseorang datang dari pintu utama. Kulihat Raka langsung bangun dari duduknya, spontan. Refleks, aku ikut berdiri, ikut menatap ke arah sosok yang baru saja muncul.

"Pa," sapa Raka.

"Hmm," balas pria yang di sebut Raka papa.

Aku hendak menyapa, tapi yang terjadi justru aku terpaku dengan kedua bola mata yang membulat sempurna.

Astaga! Om Burhan?

Gagal Jadi Ayah Mertua Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang