Bab 2

2.9K 16 0
                                    

Aku belum percaya kalau yang baru saja berjalan mendekat ke arah kami memang om Burhan. Sampai di mana dia membuka suara, barulah aku benar-benar yakin kalau itu memang dirinya. Suara berat itu masih terdengar jelas ditelingaku.

"Pa, kenalin, namanya Luna, pacar Raka." Raka berujar yang membuatku buru-buru membuang ekspresi kaget.

"Oh, oke." Hanya itu tanggapan papa Raka. Setelahnya, dia pergi. Badan padatnya sudah berlalu menaiki anak tangga lalu menghilang ditikungan lorong.

"Maaf ya. Papa emang gitu orangnya. Pasti dia lagi capek makanya nggak banyak ngomong," jelas Raka tentang sikap ayahnya.

Aku yang masih berusaha menenangkan diri dari tatapan singkat om Burhan tadi, hanya berusaha mengulas senyum berharap kalau Raka tidak menyadari keterkejutanku. Dalam diam, aku melirik lagi ke atas dan seolah berharap masih bisa melihat pria itu lagi. Tapi, sudah tidak ada.

Aku buru-buru menggeleng pelan. Sial! Apa yang kupikirkan? Pun, bagaimana bisa pria itu adalah ayahnya Raka? Apa benar kata orang, kalau dunia ini sebenarnya sesempit itu.

Bagaimana ini? Bagaimana kalau om Burhan justru mengatakan pada Raka kalau aku dulu pernah ... Ah! Tidak mungkin. Kalau dia mengatakan yang sebenarnya, itu artinya dia juga akan merelakan keluarganya. Aku yakin, pasti om Burhan tetap diam. Pasti!

"Hei, kok jadi ngelamun?" ujar Raka yang membuatku mengerjap-erjap. 

"Eh, nggak. Cuma lagi mikirin sesuatu aja tadi," kilahku.

"Maaf ya, Luna. Tente nggak banyak nyiapin sesuatu." Tiba-tiba mamanya Raka muncul. Beliau membawa teh di atas nampan.

"Eh, Tante, nggak perlu repot-repot." Aku jadi sungkan. Buru-buru kubantu perempuan itu dengan merebut nampan ditangannya.

"Nggak apa-apa kok. Tante malah senang direpotin sama kamu," sahutnya kemudian.

Sambil menaruh nampan di atas meja, aku menyempatkan tersenyum ke arahnya. Dia sempat membalas, tapi entah kenapa mendadak wajahnya datar saat Raka berujar,

"Papa udah turun, Ma. Nggak sekalian buat sama Papa?"

Ibunya Raka segera menengok. Aku juga ikut menatap kembali kedatangan om Burhan yang sudah menukar kemeja hitamnya dengan yang berwarna latte.

"Mas, aku buatin teh ya?" tawar ibunya Raka segera setelah om Burhan sampai di area sofa di dekat istrinya.

Tak ada jawaban darinya. Lelaki ini entah ada yang aneh atau hanya perasaanku saja, tapi dia sangat irit dalam berbicara. Mungkin saat bersamaku kemarin bisa dibilang wajar-wajar saja karena aku hanya sebatas cewek bayaran. Tapi saat dia sedang bersama keluarganya pun dia tetap istiqomah dengan bibirnya yang bungkam.

Tak dijawab, tapi ibunya Raka bejalan lagi ke arah dapur. Sementara Raka sempat melihatku sekilas. Entah apa yang dipikirkan Raka saat ini.

"Pa, Papa belum kenalan sama Luna. Raka segan Pa kalau justru nggak ngenalin dia ke Papa," ujar Raka kemudian.

"Udah, 'kan tadi?" jawab om Burhan, singkat.

"Boleh nggak sih Raka minta waktunya, Pa? Sekali aja."

Tunggu! Apa ini? Atmosfer apa yang sedang dihadapi? Mendengar nada bicara Raka serta melihat ekspresi om Burhan, entah kenapa aku yakin ada sesuatu diantara anak dan ayah ini. Apa mereka sedang perang dingin? Apa sedang ada yang membuat keduanya justru sulit untuk berinteraksi secara lugas?

Karena kalau dipikir-pikir lagi, orangtua mana yang tidak antusias saat kedatangan–walau memang tidak mungkin–calon menantunya? Kalau ini orangtuaku, sudah habis calonku itu dicecar banyak tanya.

"Papa ada rapat. Besok aja. Kalau nggak nanti malam. Papa free di jam itu," jelas om Burhan.

"Tapi Luna datangnya hari ini, Pa."

"Papa nggak bisa prioritasin orang baru daripada pekerjaan, Papa. Udah Papa bilang, 'kan, nanti malam aja!"

"Yang mana yang Papa maksud untuk di prioritaskan? Pekerjaan atau perempuan?"

Uhuk! Aku tiba-tiba terbatuk karena ucapan Raka. Segera mungkin kutatap wajahnya yang begitu lekat menatap wajah ayahnya dengan seribu tanya.

Apa maksud Raka barusan? Tunggu, apa dia tahu kalau ayahnya suka bermain perempuan? Kalau sungguh iya, apa dia juga tahu kalau aku pernah ....

Ahhh! Tidak, tidak! Raka pasti tidak tahu menahu tentangku. Karena malam itu pun kami hanya bersama mungkin hanya sekitar dua sampai lima menit. Mana mungkin Raka tahu tentang aku. Mungkin yang dia maksud adalah perempuan lain! Ya, itu mungkin.

"Raka, kamu ngomong apa sih?" seru ibunya Raka yang mendadak muncul.

"Ma, udah deh. Nggak usah belain Papa kali ini. Emang benar, 'kan apa kata Raka? Papa itu lebih suka jajan diluar, 'kan?"

Aku sama sekali tidak pernah membayangkan akan ada di antara suasana rumit ini. Raka tampaknya semakin menjadi-jadi saat menyudutkan ayahnya. Untuk aku pribadi, aku juga mendukung sikapnya Raka. Ya, kenapa harus 'jajan' diluar sedangkan di rumah saja makanannya enak? Tentunya perbuatan ok Burhan ini salah.

Tapi, aku juga tidak bisa mendukung apalagi mengatakan yang buruk tentang om Burhan, karena pada dasarnya pun, aku salah satu dari perempuan yang katanya diprioritaskan tanpa terkecuali.

"Mas, nggak usah dengerin ya kata Raka. Nanti aku nasehatin dia," ucap ibunya Raka lagi.

Kutatap wajah om Burhan yang masih terus datar-datar saja, tapi segera kubuang wajah secepatnya manakala dia membalas tatapanku.

"Kalau kamu udah tahu, kenapa masih tanya? Jaga perempuan kamu. Takutnya Papa ambil juga. Mau?" sergah om Burhan di luar persepsi.

Uhuk! Aku hampir saja terdesak ludahku sendiri.

Apa katanya barusan?

Aku benar-benar tercengang bukan main mendengar pengakuannya itu.  Bagaimana bisa sih ada seorang ayah yang bisa dengan lugas mengatakan hal demikian bahkan langsung pad anak dan istrinya?

Buru-buru kulihat wajah Raka yang semakin memerah, geram. Aku yakin, anak ini pasti sudah menahan emosi yang meluap-luap dari caranya mengepal tangan.

"Malam ini aku nggak pulang. Jangan di tunggu!" lanjut om Burhan, lalu melenggang pergi begitu saja.

Kepergiannya mengundang atmosfer kecanggungan yang kini kurasa. Siapa yang tidak merasa aneh saat berada di antara pertengkaran keluarga?

"Ehem!" Ibunya Raka berdehem. Aku yakin, dia juga ikut merasa tidak enak. "Nak Luna, duduk dulu ya? Nggak perlu di bawa ke hati. Papanya Raka itu banyak bercandanya," lanjutnya membungkus masalah ini dengan cukup apik hingga memang tampak biasa.

Apa yang bisa kukatakan? Untuk bertanya lebih atau masuk lebih jauh ke dalam hidup Raka, bukanlah keinginanku atau mungkin hakku. Aku hanya tersenyum, ikut mengajak suasana yang beku ini agar mencair kembali.

"Luna, kamu pulang sendiri, ya? Maaf, aku mau nenangin diri dulu. Maaf sekali lagi, ya?" ujar Raka tiba-tiba.

Baru saja akan menjawab, dia sudah pergi lebih dulu. Dia meninggalkan ibunya yang sedari tadi memaksa tersenyum ke arahku.

Apa-apaan? Ini sebuah keluarga atau justru tiang listrik? Terlalu kaku.

Gagal Jadi Ayah Mertua Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang