⿻⃕⸵Chapter XXIII៚݈݇

86 26 14
                                    

Padamnya api unggun yang tiba-tiba membuat penglihatan menjadi gelap, butuh waktu beberapa saat untuk membiasakan mata dalam kegelapan.

Helene mengangkat tangan kanannya, memutar pergelangan tangan seperti sedang menari. Secercah cahaya berwarna kehijauan mengitari jemari Helene. Cahaya itu memanjang, turun hingga ke tanah, membentuk tongkat. Sebuah tongkat kayu betulan muncul bersamaan dengan redupnya cahaya. Tongkat itu setinggi pemiliknya, dengan bagian atas yang melengkung seperti gagang payung, tongkat itu dililit tanaman merambat berbunga kuning.

Alwen masih dalam posisinya, siap menyerang ataupun membuat sihir pelindung kapan pun sesuatu yang mengincar mereka itu menyerang. Padahal matanya hanya dua, berada tepat di depan wajahnya, tapi ia seolah ada mata lain di belakang kepalanya, ia bisa mengetahui apa yang ada di belakangnya.

Untuk pertama kalinya, Roen menarik tombak yang selama ini selalu tergantung di belakang punggungnya. Tombak kayu sepanjang 1 meter dengan bilah perak sebagai kepala tombak. Tombak itu bisa dibagi menjadi dua bagian untuk mempermudah penyimpanan, dan bisa disatukan lagi jika hendak digunakan.

Xan juga siap dengan pedangnya. Pelatihan dan hobi berburunya selama di Istana menjadikan Xan sebagai petarung yang kuat. Begitu pula Agie. Ia diam-diam melakukan latihan sihir secara otodidak. Agie mengerahkan sebagian kekuatannya ke pedang kayu peninggalan ayahnya, kini pedang itu dibalut bara api. Akan tetapi kayunya sama sekali tidak terbakar, api itu justru memperkuat efek serangannya.

Lain halnya dengan Gain. Gain seorang tabib, keahliannya adalah menyembuhkan, bukan bertarung. Bahkan kemampuan bertarungnya di bawah 30%. Meski begitu, ia mengambil sebuah ranting kayu yang cukup besar dan kuat untuk dijadikan senjata.

Zen? Tenang, dia juga berdiri gagah dengan pedangnya. Ia cukup yakin dengan kemampuannya setelah banyak latihan yang ia lakukan. Bahkan dalam perjalanan ini pun Alwen tetap menyuruhnya latihan pedang di pagi hari dan latihan memanah di sore hari, tapi kemampuan memanahnya masih buruk. Karena itu untuk sekarang ia memiliki menggunakan pedang.

Zen tersentak mundur ketika makhluk aneh melompat keluar dari semak, berdiri di depannya dengan mulut menganga yang meneteskan air liur.

Makhluk itu berdiri dengan dua kaki seperti manusia, akan tetapi jari-jarinya hanya ada empat di masing-masing tangan disertai cakar yang tajam. Sedangkan jari di masing-masing kakinya ada tiga, lengkap dengan cakar tajam seperti di tangannya. Seluruh kulitnya berwarna merah tua, tinggi makhluk itu sekitar 2 kaki. Terdapat sayap besar menyerupai sayap kelelawar di punggung makhluk itu, ekornya panjang meruncing seperti kalajengking. Juga terdapat dua tanduk kecil di kepalanya, kiri dan kanan.

"Makhluk apa itu?!" tanya Zen pada siapa pun yang mendengarnya. Ia tidak berani mengalihkan pandangan dari monster itu, takut-takut kalau ia lengah, monster itu akan menerkamnya.

"Imp," jawab Alwen, "Jangan bergerak sampai mereka bergerak duluan, tahan serangan, lalu serang balik. Imp tidak terlalu kuat, tapi mereka sangat lincah. Jangan sampai kena ekornya, itu beracun. Tidak mematikan, tapi bisa membuatmu lumpuh selama beberapa jam."

"Da ... ging ... daging!" Kumpulan Imp itu menggeram sambil terus mengulang kata 'daging' dengaan suara serak. Imp termasuk golongan karnivora. Kemampuan bertarung mereka tidak terlalu kuat-tapi bukan berarti lemah-mereka lebih suka mencuri makanan hewan lain ataupun orang-orang yang melintasi wilayah mereka.

Masing-masing orang menghadapi satu Imp, termasuk kucing tunggangan mereka juga menjadi sasaran. Burung Helene membantu para kucing. Namun, ada satu ekor yang menunggu di atas pohon, ukuran tubuhnya lebih besar, tatapannya tampak lebih buas dan liar. Sepertinya itu pemimpin mereka.

"Gggrrr ...." Monster-monster bernama Imp itu menggeram sebelum akhirnya mengayunkan ekor yang beracun.

Zen berhasil menangkis serangan pertama, kedua, ketiga, dan seterusnya. Ia menepis serangan-serangan itu dengan pedang meskipun tangannya gemetar. Monster itu meraung marah karena serangannya selalu gagal.

NEROLUCETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang