⿻⃕⸵Chapter XIV៚݈݇

157 47 5
                                    

Matahari kembali menampakkan batang hidungnya, menerangi seluruh Negeri Cahaya. Embun pagi membasahi rerumputan. Sekarang sekitar pukul 7 pagi, sudah banyak para warga yang memulai aktivitasnya. Begitu juga Zen. Selain sejarah, ia juga diharuskan mempelajari cara menggunakan sihir.

"Anda harus lebih fokus. Pikirkan dan bayangkan sihir apa yang ingin Anda keluarkan," ucap Alwen yang kini kembali menjabat sebagai ajudan sekaligus pembimbing segala latihan Zen, mulai dari penggunaan sihir, sejarah kerajaan, dan kekuatan fisik.

Aku bahkan tidak tau apa yang harus aku pikir dan bayangkan ... Zen mengeluh dalam pikirannya.

"Pangeran Zen!" Seseorang memanggilnya, seorang gadis berambut pirang, beriris coklat caramel, dengan gaun berenda berwarna merah muda. Cantik. Topi floppy putih berhiaskan bunga anyelir berwarna pink bertengger di kepalanya.

Zen terpukau melihat kecantikannya. Gadis itu berjalan menghampirinya dengan senyum manis yang terpampang di wajahnya. "Oh, astaga! Kau benar-benar kembali, kupikir aku telah kehilanganmu selamanya," kata gadis itu. Tanpa sadar air matanya menetes.

Zen hanya tersenyum, ia mulai paham. Mengerti bahwa dirinya adalah pangeran yang hilang, itu sebabnya orang-orang yang ditemuinya ingin melepas rindu dan seolah tak percaya akan kehadirannya.

"Pangeran," panggil Alwen. "Ini Putri Alicia, putri kedua dari Keluarga Adelphie yang merupakan Keluarga Duke sekaligus keponakan raja di Kerajaan Luminosa, tunangan Anda."

"H-HAH?! TUNANGAN?!" Kejutan apa lagi ini? Benar-benar impian seorang MC dalam cerita isekai (dunia lain). Cepat cubit atau tampar Zen untuk memastikan ini mimpi atau bukan.

Suasana menjadi canggung, perasaan kecewa menghampiri Alicia. Kabar bahwa Zen hilang ingatan ternyata benar, yang artinya pemuda itu tidak ingat apa pun tentang dirinya apa lagi hubungannya.

"Selamat datang kembali, Pangeran," ucap Alicia. Ia ingin sekali memeluk Zen, tapi sekarang ini dirinya hanya seperti orang asing bagi tunangannya.

"Terima kasih." Zen tersenyum ramah. Mungkin dengan hadirnya Alicia yang berstatus tunangannya akan memberi semangat dan motivasi sehingga ia bisa mengeluarkan sihir dari jemarinya.

Tapi sayangnya tidak. Usahanya masih tidak membuahkan hasil. "AAAAH! MENYEBALKAN!" teriaknya kesal. "Aku mau istirahat!" ucap Zen, kemudian ia pergi meninggalkan Alwen dan Alicia.

Entah kenapa tiba-tiba perasaannya kacau. Sudah lama Zen ingin merasakan bagaimana pergi ke dunia lain, ada apa di sana? Seperti kisah-kisah yang sering ia baca.Tapi jujur, ia masih tidak percaya bahwa kehidupannya selama 16 tahun di dunia manusia itu hanya mimpi dan inilah dunianya yang sebenarnya, yang benar saja? Ia harus menenangkan pikiran, atau setidaknya bisa menemukan fokus untuk latihannya.

Zen pergi ke halaman belakang istana. Sejak pertemuannya dengan Vy hari itu, halaman belakang istana menjadi tempat favoritnya, dimana di sana juga ia bertemu dengan Vy yang diam-diam menyusup ke Istana.

"Hahh ...." Zen bersandar ke pohon beringin besar, memandang sebuah kolam ikan yang tak jauh dari tempatnya sambil menggaruk kepalanya frustasi.

"Kau kenapa?" Tiba-tiba Vy muncul mengejutkannya.

"Sudah lima hari aku belajar sihir, tapi tak pernah bisa. Apa aku benar-benar orang hebat sebelumnya?" Zen mulai meragukan dirinya.

Vy tertawa kecil sambil menatap Zen. "Baru lima hari, Zen. Mungkin ingatanmu tentang sihir masih belum kembali. Lalu bagaimana dengan pestanya?"

"Oh iya, aku lupa soal pesta!" Zen menepuk jidat, lalu menghela napas panjang. "Jika sampai hari pesta tiba aku masih belum bisa menggunakan sihir, apa kata orang nanti? Mereka mungkin tidak akan percaya bahwa aku adalah orang hilang yang katanya sangat mereka nantikan." Inilah yang membuat Zen merasa tertekan. Banyak orang yang berharap padanya karena ia merupakan reinkarnasi Dewa Luce yang bisa menghentikan Kegelapan Rael. Ia takut tidak mampu memenuhi harapan-harapan itu.

NEROLUCETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang