"Percuma saja, tidak usah dipanjat." Seseorang berseru, mengejutkan Zen.
"Eh? Kamu?" Zen menoleh ke sumber suara, itu Ila. "Kau adiknya Ilo, kan? Kenapa kau kemari?"
"Aku hanya ingin melihat pertandingan dari dekat," sahut Ila. Gadis kecil itu menghampiri Zen. "Aku tidak percaya Pangeran sepertimu bisa lupa lima warna kebenaran. Jelas-jelas bendera di atas sana itu berwarna ungu, dan ungu bukan warna kebenaran."
"Ungu?" Zen mendongak dengan mata yang menyipit, mencoba melihat warna bendera di antara sinar matahari yang menyilaukan. Tidak bisa, bendera segitiga itu terlalu kecil dan tinggi, sinar matahari yang menyengat membuatnya tampak seperti siluet yang hanya berwarna hitam.
"Bagaimana kau tahu warna bendera itu ungu?"
Ila lengang sejenak, berjinjit sembari menatap Zen tepat ke matanya. "Tentu saja karena aku melihatnya, Tuan Pangeran."
Zen mundur beberapa langkah, meskipun tubuhnya langsung menabrak pohon besar. "Kenapa kau melihatku begitu, Nona kecil?"
Ila menjauh sedikit, kemudian menghela napas. "Anda benar-benar hilang ingatan ya, Pangeran? Anda tidak mengingatku?"
Hanya gelengan kepala yang Ila dapat sebagai jawaban. Sekali lagi gadis itu mengembuskan napasnya panjang.
"Sudah kubilang tidak usah dipanjat!" seru Ila ketika mendapati Zen yang hendak memanjat lagi.
"Bagaiamana kau tahu benderanya warna ungu? Lagi pula, kenapa aku harus percaya padamu? Kau, kan, adik sainganku." Zen memicingkan mata, menyelidik Ila.
Ila menatapnya balik, tersenyum. "Aku tahu benda apa yang Anda inginkan sebagai hadiah kemenangan pertandingan ini," Ila menjeda sejenak, memperhatikan mimik wajah Zen yang seolah berkata 'apa?'. Tanpa melanjutkan perkataannya, Ila mengangkat permata jingga dengan bentuk tak beraturan yang tergantung di lehernya.
Zen tertegun, bagaimana Ila bisa tahu ia mengincar permata sebagai hadiah kemenangannya? Ia belum memberitahu siapa pun, termasuk Alwen, atau Xan yang serba ingin tahu. Permata itu merupakan salah satu pecahan anak panah Afetoros yang harus ditemukannya.
"Sudah, ayo jalan! Di sini tidak ada apa-apa."
Akhirnya Zen mengikuti Ila. Ini tidak termasuk curang, kan? Toh bukan Zen yang meminta bantuan, melainkan Ila sendirilah yang menyeretnya. Anggap saja agar Zen seimbang dengan Ilo yang sejak lahir sudah tinggal di sini, jelas dia lebih tahu dan hapal betul dengan hutan arena pertandingan mereka.
Mereka mencari ke sana kemari, di antara semak, di balik bebatuan, di atas pohon, di lubang-lubang tanah atau batang pohon yang menjadi sarang binatang, bahkan ke lubang semut. Namun, setiap kali Zen menemukan bendera dan hendak mengambilnya, Ila selalu berkata, "Jangan! Itu bukan warna kebenaran!"
Zen menggerutu kesal, mereka semakin kehabisan waktu, matahari terus naik ke atas kepala. Tak satu pun bendera mereka bawa. Zen mulai berpikir, apa dia sengaja mendekatiku untuk menyesatkanku agar kakaknya menang?
"Kau ini sengaja ya? Semua bendera yang mau kuambil selalu kau bilang salah, bukan yang ini, bukan yang itu. Sebenarnya warna bendera yang benar itu apa?" keluh Zen yang berselonjor di rerumputan. Kalau berjalan lagi, sakit kakinya bisa kumat.
"Ina, kan, sudah bilang hanya bendera dengan lima warna kebenaran yang boleh diambil. Selain warna itu, tidak akan dihitung poin," sahut Ila menjelaskan. Ina adalah warga Hulu yang membacakan aturan babak pertama tadi.
"Lima warna kebenaran?" Kedua alis Zen tertaut. Mana ia tahu warna kebenaran itu apa.
"Ya ampun ... sepertinya amnesia Anda sangat parah ya, Pangeran. Lima warna kebeneran adalah biru, kuning, merah, putih, dan jingga. Bahkan masing-masing Kerajaan mengambil satu warna sebagai dasar bendera Kebangsaan mereka. Seperti Kerajaan Luce dengan bendera merah yang berarti penuh dengan cinta kasih."
KAMU SEDANG MEMBACA
NEROLUCE
Fantastik[ONGOING] • • • Zen Kuroxwar, seorang siswa kelas 2 SMA yang tiba-tiba terbawa ke dunia lain, tepatnya dunia sihir, setelah keluar dari toilet di sekolahnya. Dikatakan bahwa ia adalah reinkarnasi sang pahlawan-salah satu anak Dewa. Ramalan mengharus...