MTTS #5

350 25 2
                                    

"Kamu sendiri gimana, Mi?" ucap Feiza kemudian. "Apa termasuk orang yang berpandangan kalau pacaran itu seperti taaruf kayak yang kamu bilang tadi?" lanjutnya.

"Hm. Mungkin?" jawab Fahmi.

"Wah." Feiza langsung berseru. "Kamu pernah pacaran?" tanyanya.

Fahmi menatap lekat mata Feiza. "Jujur, bisa dibilang iya."

Feiza kembali berseru 'wah' lantas membekap mulutnya. Bukannya ekspresi antipati, wajah terkejut Feiza malah seperti menatap tidak percaya, tidak menyangka, sekaligus takjub kepada Fahmi. Semuanya campur baur.

"Cuma cinta monyet. Pacarannya pun nggak aneh-aneh kok, Fe. Cuma SMS-an sama Inbox-an di jaman itu. Waktu itu aku SMP. Nggak pernah jalan berdua, pegangan tangan, ataupun lainnya," jelas Fahmi tanpa diminta.

"Emm." Feiza mengangguk kecil. "Temen sepondok kamu?" tanyanya.

"Iya."

"Seangkatan ... atau adik tingkat?"

"Seangkatan."

"Sekelas?"

"Enggak."

"Ohh."

Tercipta keheningan.

"Fe," panggil Fahmi setelah beberapa lama.

"Iya?" sahut Feiza yang kini tampak kembali menyuap pentol goreng yang sudah dibumbui miliknya ke dalam mulut dan mulai mengunyah.

"Aku ada pertanyaan lagi."

"Hm, apa, Mi? Tanya aja." Feiza kembali mengisi mulut dengan pentol gorengnya.

"Kalau spek kamu laki-laki salih, kaya, penyayang, cerdas, perhatian, dan yang gantengnya jiddan jiddan, kenapa Wisnu Tamami kamu tolak perasaannya? Kurasa dia mencakup semua kualifikasi cowok idaman kamu. Paham agama? Iya. Kaya? Iya. Pinter, iya. Ganteng? Iya juga. Lalu kenapa, Fe?"

"Yah, gimana, ya." Feiza menjeda. "Kalau nggak tertarik, hati nggak bisa dipaksakan." Gadis itu menghela napas. "Juga perlu dicatat! Paham agama sama salih itu sesuatu yang berbeda. Berapa banyak orang paham agama tapi nggak ngamalin pemahamannya? Sama aja bohong."

Fahmi mengangguk.

Di sisi lain, Feiza melanjutkan sesi makan pentol gorengnya.

"Spek anak ustaz ditolak sama Feiza yang katanya nggak mau pacaran. Kalau aku ... gimana, Fe?"

Uhuk uhuk!

Feiza langsung tersedak mendengar kata-kata Fahmi. Tergesa, ia mengeluarkan air minum dari tasnya lalu tanpa babibu menenggaknya. Feiza sama sekali tidak menduga jika Fahmi akan bertanya seperti itu kepadanya.

"Duh, Fahmiii." Gadis itu mengeluh. "Jangan aneh-aneh deh pertanyaannya, Gus ...!"

Fahmi memasang senyum lebarnya.

"Bercandanya nggak lucu!" tambah Feiza.

"Loh, aku nggak bercanda, Neng Feiza," jawab Fahmi. "Kalau aku mengutarakan perasaan sukaku ke kamu, diterima nggak kira-kira?"

Feiza meminum sedikit air mineralnya lagi. "Jangan panggil aku neng!" pintanya.

Fahmi langsung tertawa. "Kamu duluan yang manggil aku gus."

Feiza pun mendengkus. "Tapi emang kenyataan, kan? Gus Fahmi?"

Fahmi terkekeh sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Hm. Dan aku nggak salah kalau manggil kamu neng."

"Ya, jelas salah. Aku bukan anak kiai seperti kamu. Yang punya pondok pesantren itu pamanku, bukan ayahku."

"Tapi kakek kamu juga kiai, Fe. Dan ayahmu juga putranya."

Menikah Tapi Tak Serumah ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang