Semilir angin malam begitu menyejukkan. Lampu remang jalanan menyinari mengantikan peran sinar bulan yang tertutup awan. Suasana sepi malam memang membuat sebagian orang merasa tenang dan nyaman.
Tak terkecuali Senja,saat ini ia duduk memeluk lututnya di balkon kamarnya. Seragam sekolah masih melekat pada tubuhnya karena terlalu malas untuk berganti pakaian, bahkan ia tidak membersihkan diri setalah seharian bergelut dengan cuaca panas.
Jujur ia tidak peduli dengan penampilannya saat ini, walaupun bisa dikatakan sekarang ia seperti vampir dengan jejak air mata di pipinya.
Ia bahkan sudah tidak bisa menangis karena saking lamanya ia meratapi nasib.Banyak rasa kecewa yang ia rasakan. Kecewa pada bundanya yang berkhianat, sang kakak berusaha menutupi masalah dan terus membohongi dirinya. Dalam hati terdalam ia berharap semoga ayah kesayangannya tak seperti dua orang itu,dia tidak ingin satu-satunya orang terpercayanya ikut berkhianat.
Namun daripada sang bunda atau kakaknya,Senja lebih kecewa pada dirinya sendiri. Kenapa ia terlalu lemah? Kenapa selalu saja ia merepotkan orang lain? Kenapa ia selalu mengecewakan bundanya? Kenapa ia harus sakit seperti ini? Dan kenapa ia terlahir dengan takdir yang membuatnya putus asa?
Berbagai pertanyaan selalu muncul di kepalanya tanpa jawaban pasti. Ia merasa sangat buruk hati,raga,jiwa dan pikirannya hancur karena rasa kecewa teramat dalam.
Beberapa kali ia memukul dadanya yang terasa nyeri dan akhirnya Isak tangis kembali terdengar, padahal sebelumnya ia kehabisan air mata.Pintu kamar terbuka lalu masuk pria tegap dan rahang tegasnya menghampiri Senja yang sedang terpuruk. Jovan dan Ibam tahu jika ujungnya pasti begini jika Senja mengetahui perihal sang bunda. Maka dari itu mereka berusaha menutupi masalah yang ada dan selalu merasa baik-baik saja,tanpa tahu ternyata Senja sudah mengetahuinya.
" Nak..."
Ibam mengelus punggung Senja yang bergetar. Entah sudah berapa kali ia menangis sampai-sampai matanya bengkak dan hidungnya memerah. Bajunya sudah kusut tak mulus seperti tadi pagi padahal Senja sangat suka kerapian,rambut lembutnya berantakan dan bisa dikatakan Senja itu seperti korban kekerasan padahal ia hanya mengurung diri menangis.
" Kakak,hiks... Kakak nakal yah hiks... Kenapa kakak bohongin Senja?hiks..."
" Iya ayah tau... Udah ya nangisnya,jangan sedih terus..."
" Gak bisa yah,hiks... Air matanya gak mau berhenti,Senja kecewa sama bunda hiks... Tapi kak Jovan juga hiks,Senja kecewa... Hiks kenapa kayak gini yah? Hiks,huwaaa..."
Tangisan Senja makin keras dan air matanya yang enggan berhenti. Dengan ketulusan hati Ibam langsung memeluk anak bungsunya. Sebenarnya ia takut Senja terlalu berlarut dalam kesedihan,tapi memang seharusnya kesedihan dikeluarkan dengan emosional maka Ibam hanya dapat memeluk, menenangkan dan memberikan penyemangat untuk Senja.
" Senja masih mau sendiri yah,hiks..."
" Tapi jangan lama-lama ya nangisnya..."
Jawab Ibam iba, padahal dia tahu bahwa Senja sudah menangis sejak pulang sekolah tadi. Bi Isah langsung menceritakan kejadian yang terjadi pada kedua anaknya saat ia baru saja tiba di rumah.
" Habis ini ayah mau kalian saling minta maaf ya,gak boleh loh saling benci kayak gini..."
" Iya,nanti Senja yang minta maaf sama Kak Jovan..."
" Kakak juga lagi ngurung diri di kamar,kalian ini kayak anak perawan aja marahannya..."
" Anak perawan,anak perawan dikira kita cewek..."
" Habisnya kalian ngambek di kamar, cemberut terus nangis sampe bengkak matanya udah persis kayak anak perawan..."
" Nggak! Tau ah,kesel juga sama ayah..."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sepi dan Kesendirian
Teen FictionTerlalu takut untuk sendiri tapi lupa apa itu keramaian. Terlalu asing untuk saling mengenal walaupun dengan aliran darah yang sama.