3

206 30 6
                                    

Typo

***

Di perjalanan pulang menuju apartemennya―setelah turun dari bus, Danielle terus menunduk menatap alas kakinya yang menapak jalan sedikit demi sedikit.

Raganya berjalan, tapi jiwanya masih tetap berada di cafe tadi. Entahlah apa yang dia rasakan sekarang ini, namun yang pasti, ada sesuatu yang menyesakan dadanya sehingga dia suntuk untuk melakukan apa-apa.

Yang dia inginkan sekarang hanyalah segera sampai apartemen, membersihkan diri, lalu tidur agar hari ini dia bisa melupakan semua kegundahan hati.

Sesampainya di apartemen, Danielle melempar tas slempangnya dan mulai membuka satu per satu pakaian yang dirinya pakai. Rencana B, dia akan mengganti pakaiannya saja karena dia malas mandi saat ini.

Bruk!

"Hah~" Danielle bernapas lega setelah menjatuhkan tubuhnya di atas kasur yang dingin. Matanya mulai terpejam, tapi, belum sempat menembus alam mimpinya, dia harus segera membuka mata karena dering ponsel mengganggunya.

Terpaksa dia meraih ponselnya yang sedang diisi daya, melihat siapa yang meneleponnya sore-sore begini, Danielle langsung mencabut charger dan mengangkat panggilan suara tersebut.

"Hallo?"

"Danielle, apa kau sedang sibuk?"

"Sedikit," gumam Danielle sambil memegang pangkal hidungnya, antara pusing, malas, dan mengantuk yang mulai menyerang.

"Bisa datang kemari sebentar? Bibi sedang membutuhkan bantuan seseorang,"

Danielle memutar bola matanya karena sudah tahu apa yang dimaukan Bibi-nya di sebrang sana, "Baiklah. Aku akan sampai dalam 10 menit,"

"Baiklah. Bibi tunggu,"

Danielle tidak menjawab, dia langsung mematikan panggilan suara tersebut dan menjatuhkannya ke sisi kiri tubuh, "Hah~!"

-

-

-

"Oppa! Oppa!"

"Iya apa?"

"Aku ingin itu,"

Danielle mengangguk sebagai jawaban. Dia bahkan pasrah saja saat lengannya ditarik oleh sang adik sepupu yang sangat semangat akan pasar malam hari ini.

Iya, setelah membantu Bibi-nya mengantarkan pesanan catering, Danielle dirayu Bibi-nya agar mau menemani anak bungsunya itu ke pasar malam karena beliau masih memiliki banyak pekerjaan.

"Ini kembaliannya," ucap si penjual gulali sambil menyerahkan kembalian ke tangan Danielle.

"Terima kasih,"

"Sama-sama,"

Danielle dan si adik sepupu -Moka- kembali berjalan menyusuri pasar malam ramai itu. Moka asik memakan gulalinya dengan kedua tangan, jadi agar tidak hilang, Danielle merangkul pundak kecil itu dan berjalan santai.

"Kita akan ke mana setelah ini?" tanya Danielle.

"Bermain,"

"Bermain apa?"

"Terserah," Moka menatap ke sekeliling pasar malam yang ramai, "Di sini banyak wahana, dan aku ingin menaiki semuanya," ucapnya girang dan kembali makan dengan tenang.

Berbeda dengan Danielle yang memasang wajah malas, "Bilang saja begitu, jangan malah terserah,"

"Karena jika tidak ada kata terserah dalam kamus seorang perempuan, maka ketulenannya patut dicurigakan," ucap Moka sebelum menyuapkan gulali berukuran besar ke dalam mulut.

"Kau ini..." Danielle menggusak rambut Moka dengan gemas. Ada-ada saja, tapi memang ada benarnya juga sih.

Tak jauh dari sana, sepasang mata sedang menatap ke arah sepasang sepupu itu. Mungkin bagi Danielle dan Moka, mereka hanyalah saudara sepupu biasa, namun tidak bagi yang melihatnya dari kejauhan itu, mereka bagaikan pasangan romantis sedunia.

"Kau melihat apa?" tanya Sullyoon, yang tidak lain dan tidak bukan adalah saksi mata kedua setelah Hanni memergoki Haerin melamun hari ini.

"Tidak," jawab Haerin sambil menatap Sullyoon, itu dia lakukan juga agar dadanya tidak terlalu sesak melihat pemandangan barusan. Tidak sebelum aku mendapatkan penjelasan, atau mungkin tidak perlu, karena aku bukan siapa-siapa dia. Batin Haerin melanjutkan.

"Di cafe tadi sore, begini, sekarang di sini sama, sebenarnya kau ini kenapa?" sekarang Hanni lah yang bertanya.

"Tidak, Hanni. Mari, kita cari makan saja, aku lapar," Haerin mendorong kedua temannya untuk masuk lebih dalam ke dalam pasar malam tersebut dan mencari makanan, sekaligus mencoba melupakan hal tadi.

―●Beautiful Art●―

Sesak.

Itu yang Danielle rasakan sekarang. Oksigen di sekitarnya juga seolah direbut paksa oleh Haerin dan laki-laki yang tertawa bersama di meja itu. Mereka nampak bahagia.

Hal itu sangat menyakitkan bagi Danielle.

Daripada harus melihat pemandangan menyakitkan di hadapannya terlalu lama, Danielle memilih beranjak dari tempat duduknya dan pergi.

Tanpa seizin darinya, setetes air mata meluncur di pipi kiri, segera saja Danielle usap dengan kasar, karena, kenapa dia harus menangis padahal dia dan Haerin tidak memiliki hubungan apa-apa?

Kalau mempunyai hubungan ya itu wajar, kalau ini? Aih, sudahlah.

Di sisi lain...

"Astaga! Aku sampai menangis," Haerin mengusap mata kanannya dengan ibu jari; dan terasa basah di sana setelah dia usap. Perutnya masih serasa dikocok saat mengingat lelucon receh yang lelaki jangkung di depannya lontarkan.

"Haha, beruntungnya itu air mata kebahagiaan," balas lelaki yang bernama lengkap Kim Minji itu.

"Kau benar,"

Tawa keduanya perlahan mereda, namun kekehan sesekali terdengar kala mata mereka tak sengaja melakukan kontak.

"Omong-omong, ke mana kekasih bantetmu itu berada?" Haerin bertanya dan melirik jam di pergelangan tangan kirinya, "Ini sudah lebih dari setengah jam kita di sini menunggunya,"

"Entahlah. Tapi... tunggu sebentar..." Minji merogoh ponselnya dan mengotak-atiknya sebentar sebelum menempelkannya di telinga kanan, dia sedang menelepon.

"Hallo? Sayang? Kau ada di mana?" tanya Minji pada sang kekasih yang berada di sebrang sana yang entah tepatnya ada di mana.

Sambil menunggu dan tak mau menguping, Haerin memilih menyesap minumannya. Tapi anehnya, matanya itu malah melihat ke arah meja nomor 16, dimana meja yang pernah menjadi tempat dia dan Danielle duduk berdua selain di dalam bus.

Haerin agak sedikit merindukan lelaki bule itu.

―●TBC●―

anjay aku upp

maaf pendek, soalnya yg panjang itu umurnya readers muehehe- Aamiin gitu

oiya, tolong ya seyeng, klo ada nama yg typo cepet2 ditandain, soalnya aku malas re-read💋

Beautiful Art [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang