BAB XII

627 78 6
                                    

Paul tersenyum sambil mengangguk, meyakinkan Nabila untuk percaya diri karena kini sudah waktunya ia tampil pertama kali di depan banyak orang secara langsung. Mereka sudah berada di restoran milik Damar, tepatnya di belakang panggung, menunggu penyanyi sebelumnya menyelesaikan lagu terakhirnya.

Tidak perlu ditanyakan seberapa gugupnya Nabila sekarang, pikiran-pikiran negatif tiba-tiba saja muncul memenuhi kepalanya yang dibalut pashmina cream. Bagaimana jika para pengunjung restoran tidak menyukai suaranya? Bagaimana jika penampilannya nanti justru mengganggu mereka? Bagaimana jika--

"Nabila," panggil Paul lembut. Kedua tangannya menyentuh pundak Nabila, menatap sepasang mata cokelat itu dalam. "Saya yakin kamu bisa dan kamu pantas berada di panggung itu. Bahkan kamu pantas dan layak untuk menyanyi di panggung yang lebih besar dari ini. Trust me, you're enough and you deserve more than this."

Senyum cerah itu terbit seketika. Entah mengapa ucapan Paul berhasil membuat hatinya tenang dan yakin saat itu juga, kalimat itu bagai mantra penenang bagi Nabila yang sebelumnya diliputi rasa takut yang berlebih.

Paul mengusap pucuk kepala Nabila, masih dengan senyum manisnya, "saya mau dengar suara penyanyi cantik nan hebat ini secara langsung, boleh?"

Nabila mengangguk, "boleh." Jika kalian bertanya bagaimana keadaan Nabila saat ini, jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya dengan senyum yang tak lagi bisa ditahan.

"Saya duduk di sana, ya," ucap Paul menunjuk salah satu meja tak jauh dari panggung.

Nabila mengikuti arah tangan Paul lalu mengangguk, "Kak Paul bakal lihat aku perform sampai selesai 'kan?"

"Pasti."

---o0o---

"Terima kasih ya, Ina, sudah repot-repot jemput om sama Tante di bandara." Wanita setengah baya itu membuka kaca mobil agar lebih leluasa mengucapkan terima kasih pada Ina yang kini sudah keluar dari mobil.

Perempuan bernama Ina itu mengangguk dengan senyum, "nggak repot ko, justru aku yang makasih banyak karena udah diizinin pinjam mobil."

"Kalau memang butuh, dan kebetulan mobilnya nganggur, pakai aja. Nggak usah sungkan ya,"

"Siap, om." Ina melambaikan tangannya pada mobil hitam milik keluarga Adhitama yang kini sudah meninggalkan rumahnya.

Setelah memastikan mobil tersebut tidak lagi terlihat, Ina masuk ke dalam rumah yang terasa sepi. Ibunya sudah meninggal saat ia masih duduk di bangku sekolah dasar, sedangkan ayahnya selalu sibuk dengan pekerjaannya hingga jarang pulang ke rumah. Ina hanya ditemani oleh asisten rumah tangga yang sudah bekerja dari sebelum ibunya meninggal. Jadi, tidak heran jika Ina sudah menganggap Bi Ani seperti ibunya sendiri.

Hari ini ia memang merasa bahagia karena janji temu dengan teman lamanya akhirnya terjadi setelah beberapa kali batal. Tapi ada satu hal yang begitu mengganjal dalam hatinya, ia merasa tidak tenang sampai sulit untuk memejamkan matanya. Kepalanya dipenuhi oleh kejadian yang sama sekali tidak ia harapkan terjadi di hidupnya.

---o0o---

Kedua mata Paul tak lepas memandangi satu objek yang membuatnya tak ingin berpaling. Senyum bangga tercetak jelas pada raut wajah seorang lelaki berdarah campuran itu. Bahkan matanya sudah berkaca-kaca melihat penampilan seorang gadis yang sedang bernyanyi di mini stage.

Jika ada kata yang lebih dari indah, Paul pasti sudah mengatakannya berkali-kali untuk menggambarkan sosok Nabila. Gadis itu terlihat percaya diri membawakan lagu-lagu yang sudah disiapkan sebelumnya.

Tidak hanya Paul yang menghentikan semua aktivitasnya dan hanya fokus pada penampilan Nabila, sebagian pengunjung restoran pun ikut fokus pada gadis bersuara merdu itu. Banyak juga diantara mereka yang mengeluarkan ponselnya untuk mengabadikan momen dan membagikannya lewat akun media sosial.

SEMESTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang