First Location - Kallia

91 18 42
                                    

“OH, hei, coba lihat siapa yang datang.” Seorang ksatria berkata sambil membuka helm pelindungnya—memunculkan kepala dengan rambut pirangnya yang menawan. Mata biru cemerlangnya pun menyalang pada kurir itu, menatapnya remeh.

Dia pun menaruh helmnya di atas meja di antara gelas-gelas bir yang masih penuh, dan setelahnya, dia dan kedua kawannya pun tertawa. Menertawakan seorang kurir berseragam biru muda dengan lengan panjangnya yang tampak kebesaran.

Kurir itu juga memakai celana cokelat dengan sepatu booth cokelat tua yang mencapai lutut. Badan tukang kurir itu terlalu mungil untuk ukuran bajunya, dan dia saat ini terengah-engah kelelahan sambil memegang sisi pintu bagian kiri. Antara habis menghadapi sesuatu, atau berlari karena sesuatu. Topinya yang berwarna biru dengan ujung runcing di bagian depan, lengkap dengan hiasan bulu berwarna merah juga sukses menutup wajahnya yang kecil dan juga bintik-bintik hitam kecil di pipi dan di tulang hidungnya. Membuat rupanya jadi tidak dikenali.

“Hei, Nak, kau mau diam di situ, atau bergabung bersama kami?” Salah satu ksatria dengan rambut hitam ikut mengejek. Mana mau mereka mengajak orang asing bergabung kecuali kalau dia mau dijadikan samsak tinju? Tidak ada perang lagi setelah sepuluh tahun ini, dan Kerajaan Kallia mengalami kedamaian dengan ekonomi yang melambung pesat. Ini semua berkat Yang Mulia Raja yang saat ini sedang menjabat. Menurut para bangsawan dan rakyat, beliau adalah pemimpin yang sangat baik.

Topi runcing yang membungkus kepala kurir itu pun di lepas dengan kasar. Membuat rambut keriting merah panjangnya menjuntai ke bawah, terbawa angin. Kurir itu pun mengangkat wajahnya dan menatap sekeliling. Mencari meja bar untuk dia jadikan tempat singgah sesaat. Tiga ksatria yang semula menertawakannya terdiam. Mereka kenal betul dengan kurir itu.

“Tarynne?”

Gadis dengan rambut merah keriting itu, Tarynne, tanpa mengindahkan pertanyaan atau suara para ksatria, langsung melangkah ke meja bar. Memesan segelas susu untuk dia habiskan seraya meredakan rasa haus.

Tiga ksatria itu lalu memindahkan diri dari meja bundar ke meja bar. Mengerumuni tetangga lama atau lebih tepatnya, satu-satunya tetangga dengan rambut merah di desa mereka.

“Tarynne, kau benar-benar jadi kurir?” Sekarang, ksatria dengan rambut cokelat yang bertanya. “Tapi, kau tidak benar-benar bekerja di Kantor Pos Mariennaz, ‘kan?” lanjutnya, dengan heboh.

Susu pun telah siap dihidangkan, dan bartender pun menyajikannya pada Tarynne. Tarynne menerimanya sambil mengucapkan terima kasih.

“Sayangnya iya, aku baru diterima satu bulan yang lalu.” Dia berkata dengan bangga sambil menunjukkan lencana emas berbentuk sayap di dada sebelah kanannya. Pandangannya masih tertunduk. Menatap lencana yang menjadi benda kebanggaan sekaligus benda kesayangannya.

Tarynne lantas mengangkat kepalanya dan menatap tiga ksatria itu, berkedip. Tiga ksatria ini tampak asing di matanya. “Kalian siapa, ya?”

Satu ksatria dengan rambut pirang menawan langsung menjitak kepala Tarynne, membuat dirinya mengaduh dan memancing perhatian pengunjung lain.

Bar ini lumayan ramai, dengan mayoritas orang-orang dewasa berbadan kekar. Ada pula beberapa penyihir dengan janggut panjang dan penyihir muda yang sedang mendiskusikan buku kuno, dan beberapa Elf yang sedang berkunjung. Sisanya, hanya orang-orang biasa yang melakukan pekerjaan fisik, seperti para ksatria ini.

“Kau lupa, ya? Aku Wilson dari Desa Tarmeiz. Aku akan memaklumimu mengingat kita tidak bertemu setelah enam tahun,” terangnya. Sengaja dia menjelaskan ini pada Tarynne, karena dia juga merasa telah ditatap oleh banyak orang.

Bohong, kalau dia tidak takut dengan pasal lima ayat enam tentang kekerasan terhadap anak di bawah umur. Wilson tidak ingin masuk ke penjara. Dia sudah betah bekerja sebagai ksatria dan memiliki istri yang cantik. Hidupnya sudah damai dan permai. Jadi, buat apa dia membuat masalah?

THE LOST BROTHERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang