EFEK cairan itu sudah lenyap ketika matahari sudah mulai naik ke atas kepala. Lereng berbatu dengan pepohonan yang saling berjauhan adalah destinasinya saat ini. Gunung hitam runcing yang ada di kejauhan juga sedikit tampak. Di kelilingi oleh pepohonan lebat yang saling berdempetan. Menurut peta, di balik gunung hitam yang runcing itu, ada Lembah Naga. Destinasi pengiriman terakhirnya.
Setiap Tarynne melihat gunung itu, senyumnya pasti akan langsung terkembang. Dia sudah tidak sabar ingin cepat-cepat sampai, tetapi perjalanan yang panjang membuatnya harus ekstra sabar.
Perjalanan ke Lembah Naga membutuhkan waktu empat hari, dan Tarynne harus benar-benar menghemat staminanya. Dia tidak ingin kelelahan hanya karena terlalu bersemangat pergi ke Lembah Naga. Selain itu, karena sadar dirinya sudah melewatkan sarapan, dia pun memutuskan untuk berhenti, dan duduk di batu bulat lumayan besar yang dia temukan di lereng ini.
Dia pun menurunkan tas kayunya, membukanya, lalu mengambil sepotong roti yang dia beli kemarin sore di salah satu toko yang ada di Pasar Penyihir. Tarynne memotongnya sebagian, lalu menggigitnya, dan menaruh sisanya ke dalam tas.
Dia pun menatap sekeliling. Melihat lereng berbatu dengan pohon-pohon yang saling menjaga jarak. Udara terasa dingin di sini, padahal sudah mau siang, dan Tarynne bahkan duduk di bawah sinar matahari. Tarynne bisa saja mencari tempat yang bagus untuk berteduh, tetapi karena perutnya yang lapar dan pepohonan yang memiliki jarak berjauhan membuatnya malas untuk mencari. Selain itu, matahari yang mulai naik juga tidak terlalu menyengat.
Beberapa menit Tarynne memakan sarapannya, dia pun mengambil botol air yang ada di dalam tas, dan meminumnya dengan cepat. Setelah semuanya selesai, dia pun kembali melangkah. Melanjutkan perjalanan.
Tarynne mendecak dalam langkahnya. Selama dia menatap sekitar saat makan, dia merasakan sesuatu yang janggal. Suara pelan yang normalnya tidak akan bisa didengar oleh orang normal, tetapi Tarynne masih bisa mendengarnya—efek dari masa pelatihannya sebelum resmi menjadi kurir. Suaranya amat pelan sekali, dan tenang. Ada yang mengikuti.
-
Menjelang sore, Tarynne masih berjalan menanjak di lereng berbatu. Matahari sudah mulai turun, memanjangkan bayangannya.
Tarynne terengah-engah. Kedua kakinya berhenti. Lereng ini seperti tanjakan yang tidak berkesudahan. Pemandangan bebatuan dan pohon-pohon berjarak masih terlihat di sini. Tarynne rasanya belum melihat apa pun di atas sana, kecuali tumpukan pohon yang berdempetan dan juga gunung hitam runcing yang perlahan nan pasti sudah mulai jelas wujudnya.
Tarynne diam sebentar, beristirahat mengatur napasnya. Dia tidak istirahat lagi setelah sarapan yang terlambat itu. Dia malah memutuskan untuk terus berjalan, demi melewati lereng yang entah kapan selesainya. Setelah napasnya teratur dan dirinya sedikit segar, Tarynne pun kembali melanjutkan perjalanannya.
Tarynne berjalan lurus selama tiga puluh menit. Selama itu pula, dia pun bertemu dengan dua batu masif yang menghalangi pandangannya. Di bagian tengah batu tersebut, terdapat lubang sebesar pintu yang bisa dilewati. Batunya persis seperti di peta yang pernah dia lihat semalam, berlumut dengan tanaman-tanaman menjalar yang menghias di sisi kanan dan kirinya.
Tanpa ragu, Tarynne pun masuk ke dalamnya. Perjalanan dari bawah ke atas lereng bebatuan pun, berakhir sampai sini.
Pemandangan yang ada di depan seolah menjadi obat penenang untuknya. Dia bahkan berhenti, menatap dengan sedikit menengadah.
Di atas sana, dengan jarak lima puluh kaki, ada tumpukan pepohonan wisteria yang berdempetan dengan bunga-bunganya yang menggantung indah. Bunganya berwarna merah muda, tngah diterpa oleh cahaya senja yang menyilaukan.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE LOST BROTHER
Fantasy[Fantasy - Adventure - Mystery] Duke Retmora Achilles menyatakan bahwa Terence Flame meninggal di Lembah Naga. Tarynne Flame selaku adik dari kurir yang baik itu tidak menerimanya begitu saja. Di usia muda, dia pun mendapat pekerjaan di Kantor Pos M...