Demam dan Efeknya

1K 66 1
                                    

"Lebih baik lo pulang dulu dan pikirin, apa aja yang mau lo masukkan ke surat kontrak kita. Masalah pengacara sama rencananya, biar gue yang urus."

Rentetan kata itulah yang melepas kepergian Keana. Jika boleh jujur sebenarnya Keana tak ingin meninggalkan Virgo seorang diri, terlebih saat wajah remaja itu kian bertambah pasi. Tapi apa mau dikata. Virgo telah mengusirnya secara halus, bahkan menolak bantuan yang ditawarkannya. Entah apa alasan lelaki berkalung salib itu menolak bantuannya, namun Keana merasa resah dibuatnya.

Karena alasan itu pula dia hanya diam, membisu di depan unit apartemen Virgo yang terkunci. Bila melihat dari watak Virgo, dia tak akan mudah meminta tolong, dan lebih memilih menghandle semuanya sendiri. Karena itu Keana rela menanti, jika sekiranya Virgo akan pergi ke rumah sakit untuk memeriksakan diri.

Memandangi pintu apartemen Virgo dengan tatapan menyipit. "Nih bocah mau ke rumah sakit nggak sih?" Gerutu Keana, berkacak pinggang.

Detik berganti menit, dan menit berubah menjadi jam. Satu jam lamanya Keana menanti tanpa kepastian. Kapasitas kesabarannya pun terkuras di tengah lorong panjang itu.

"Nggak bisa, gue nggak bisa dianggurin gini!!"

Membulatkan tekad. Keana menekan bel apartemen Virgo dengan tak sabaran. Tapi berbeda dari sebelumnya, lima bel yang ia lepas tak sekalipun mendapat sambutan. Panik. Keana mencari kontak Virgo dalam ponselnya, dan hasilnya nihil.

"Sialan, gue lupa kalo si botak Samuel belum ngasih kontak Bang Virgo!!"

Menggigit ibu jarinya yang membeku. "Aduh, kalo gini gue harus minta tolong ke siapa?!" Keana bergumam.

Memandangi satu persatu nama dalam kontak ponselnya, tujuan Keana akhirnya jatuh pada satu orang.

"Halo Ke..."

"Bang Raven punya nomor Bang Virgo nggak?!" Sergah Keana, memangkas sapaan Raven hingga membuatnya menautkan alis bingung.

"Ada apa sih, kok kaya panik gitu?"

Tersadar, Keana lekas meluruskan eskpresi wajahnya, lantas terkekeh. "Nggak ada apa-apa sih. Kea cuma kesel doang, soalnya Kea udah pencet bel, tapi nggak di respon!" Adunya.

"Pencet bel?"

"Iya!"

"Virgo?"

Sedikit gemas, namun Keana tetap berdeham sebagai balasan. "Hm."

"Kamu lagi di apartemen Virgo?"

"Iya Abang ku, sekarang Kea lagi ada di apartemennya Bang Virgo, buat tantangin dia main game!" Alibi Keana sekenanya.

"Abang punya sih nomor Virgo, tapi..."

"Nah bagus tuh. Langsung kirim ya, Kea tunggu!"

Panggilan terputus sebelum Raven sempat membalas. Bukan apa-apa, karena prinsip Raven yang terbilang lurus, melanggar aturan dan privasi orang-orang meski didesak oleh adik tercintanya pun tak akan pernah ia lakukan. Dan demi menghindari penolakan, Keana lebih dulu mematikan ponselnya guna menumbuhkan perasaan bersalah Raven.

"Apa gue coba lagi aja?"

Getaran singkat mengalihkan perhatian Keana yang hendak memencet bel. Di sana nama Raven bertengger. Pria yang mengiriminya pesan singkat berupa peringatan agar tak mengusik Virgo, juga kontak yang sebelumnya ia minta. Tersenyum senang. Setelah mengetik kata terima kasih, Keana berlanjut menghubungi nomor Virgo.

Namun tak ada sahutan sama sekali. Tak hilang akal, Keana berlanjut mengirim pesan singkat dengan menekankan kekhawatirannya. Tapi sama seperti sebelumnya, jangankan balasan, hanya centang dua saja yang bisa Keana saksikan.

LAST CHANCE (HIATUS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang