Slrppp.
Bapak menyesap kopi panas dari cangkir yang asapnya masih mengepul. Biasanya malam setelah shalat isya dan makan, Tita, Riri dan Mas Dewa berkumpul di teras depan bersama Bapak. Mereka bergantian bercerita tentang keseharian mereka. Sedangkan Ibu masih asyik di dapur untuk mempersiapkan menu masakan di warung besok pagi.
"Bapak kadang kasian sama Ibu kalian. Capek sekali lho jualan di warung begitu. Istirahat kalau sore aja. Tapi dilarang nggak mau. Katanya karena Ibu suka masak."
Bapak menatap kosong lurus ke depan. Memandangi lampu jalan yang remang-remang juga bendera merah putih yang dipasang di tiang depan rumah, berkibar tertiup angin. Hari kemerdakaan dirayakan dua hari lalu.
"Pak, sudahlah. Berkali-kali hal ini sudah dibicarakan kan pak. Selain karena Ibu suka masak, pasti Ibu bosan kalau nggak ada kegiatan apa-apa." Mas Dewa yang duduk di kursi sebelah Bapak mengelus pelan pundak Bapak, berusaha menenangkan. Bapak tersenyum. "Sebentar lagi kamu menikah, Dewa. Nggak nyangka anak sulung Bapak mau berkeluarga. Bapak sudah semakin tua ya ternyata?" Senyum Bapak berubah sedikit jahil. Mengundang gelak tawa tiga bersaudara itu.
Itu adalah percakapan tiga tahun yang lalu, saat Mas Dewa masih tinggal bersamanya di rumah ini. Kini Mas Dewa sudah bersama keluarga kecilnya. Meskipun tinggal tidak terlalu jauh, tapi kesibukan Mas Dewa membuat mereka tidak sering bertemu. Ah, Tita jadi rindu dengan Bima keponakannya yang berpipi gembul itu. Sedang apa ya dia? Tita segera membuka ponsel dan mengetik di kolom chat, setelah dia menemukan nama kontak "Kak Fitri" kakak iparnya, Tita dengan cepat mengetik sebuah pesan.
Kak Fitri, Bima lagi ngapain? Kangen deh tiba-tiba.
Sent.
"Ta, kadang bapak bersyukur kamu belum dapat kerja sampai hari ini. Jadi kamu punya banyak waktu luang. Masih bisa ngobrol sama Bapak di sini." Bapak membuka percakapan. Diambilnya sepotong brownies coklat buatan Tita tadi sore.
"Tapi Tita juga lama-lama kepikiran, Pak. Kenapa ya Tita tuh susah banget dapat kerja? Padahal teman-teman Tita yang lain sekarang udah jadi pegawai kantoran." Tita selalu paham cara Bapak memancing anaknya untuk bercerita.
Selain Riri, Bapak adalah salah satu pendengar yang baik baginya. "Lagipula Tita juga pengennya kerja dekat rumah, nggak mau jauh dari Bapak sama Ibu. Kerja ataupun belum, Tita tetap bisa ngobrol di teras malam-malam begini kan sama Bapak."
"Beda dek, Bapak yakin. Tugas Bapak mendoakan yang terbaik. Bapak udah bangga sekali melihat usaha kamu selama ini. Sabar sedikit lagi dek."
Begitulah Bapak. Selalu punya cara untuk menenangkan hati anak-anaknya.
Meskipun Bapak selalu dibandingkan dengan saudara-saudaranya yang berkelimpahan materi itu, tapi bagi Tita, Bapak yang paling kaya. Kaya hati, kaya ilmu dan kaya hikmah. Mungkin yang membuat Tita kuat selama ini juga karena dukungan dari Bapak.
Tita tidak bisa menahan senyumnya. "Besok jam 9 Tita interview user, Pak. Doakan ya."
"Alhamdulillah. Bismillah dek. Kalau rejeki pasti nggak akan melewatkanmu." Bapak mengelus pelan kepala Tita. Membuat Tita kini memiliki keyakinan dan keberanian seratus kali lipat dari sebelumnya.
Tita merasakan getaran kecil di rahangnya, gemas yang tiba-tiba menghampiri saat ia melihat foto yang dikirimkan oleh Kak Fitri, kakak iparnya. Di dalam foto itu, Bima sang keponakan berusia dua tahun, terlihat begitu polos dan menggemaskan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Arcadia: Perjalanan Menemukan Peta Mimpi
FantasyTita dan peta mimpinya yang hilang. Mengantarkan gadis itu ke Arcadia, dunia yang sebelumnya tidak pernah dia temui. Semua berawal dari pertemuan tak terduga dengan Nala, seekor kucing magis yang menjadi kuncian Tita untuk menemukan peta mimpinya ke...