Pagi yang gaduh dalam kediaman Jooheon selalu menjadi warna dalam keseharian mereka. Bocah kembar yang sudah berusia tiga tahun itu menjadi warna baru dalam keluarga. Entah yang lucu, bahkan yang mengesalkan sekalipun mereka begitu menggemaskan.
Di kursi bayi mereka, si kembar Dal dan Byul juga sarapan bersama dengan orangtua dan kakak-kakak mereka.
"Bubu~"
"Ndak!"
"Jangan berebut."
"Ibu, Dal melempar sendoknya!"
"Byul, jangan seperti itu."
Jika bisa, kepala Changkyun akan pecah mendengar kegaduhan tersebut. Pelipisnya serasa berkedut setiap suara anggota keluarganya terdengar.
"Dal, Byul, makan dengan benar. Yang lain juga makan dengan tenang. Sarang dan Areum kalian akan terlambat sekolah, ini hari pertama kalian masuk sekolah."
Benar. Hari ini adalah hari pertama masuk sekolah mereka, Sarang memasuki high school dan Areum yang sudah naik kelas 4 sekolah dasar. Dan Jooheon, tentu sibuk dengan perusahaan.
Nah, jika Changkyun sudah bersuara dengan tegas maka mereka menurut. Dal dan Byul juga menurut, meskipun mereka masih balita tapi mereka tahu suara ibu mereka sudah terdengar lain.
Jooheon juga meringis, Changkyun lebih galak saat sudah mempunyai si kembar. Ia sendiri pun tidak bisa menentang Changkyun sama sekali.
"Papa, Sarang akan langsung latihan nanti. Tidak apa-apa kan?"
Changkyun menatap sulung Lee, "Tentu saja, tapi jangan berlebihan sayang." Changkyun tersenyum kecil saat Sarang tersenyum mengerti.
"Baik, Papa."
Jooheon menatap Sarang sekilas yang sedang mengunyah dengan khusyuk. Anak sulungnya ini, dua setengah tahun yang lalu tiba-tiba meminta pindah sekolah dengan alasan tidak nyaman di sekolah tersebut.
Sebagai orangtua tentu saja Jooheon menyetujui permintaan Sarang dengan pertimbangan Changkyun.
Yang pada akhirnya Sarang pindah sekolah dengan mengenal lingkungan baru, teman baru meskipun Sarang sendiri tidak memiliki teman dekat.
"Sayang/ibu/Papa kami berangkat."
Changkyun dan si kembar mendapatkan kecupan pagi dari Jooheon,Sarang, dan Areum. Changkyun sendiri sudah terbiasa, ia hanya tersenyum dan memberikan kalimat semangat kepada mereka.
**
Sarang, dia tidak tau akan menjadi seperti ini. Harapan yang sudah lama mati perlahan tumbuh tunas baru dengan sangat tiba-tiba. Kedua tangannya hanya bisa terkepal di atas meja saat tau jika teman yang tidak pernah hadir dalam orientasi sekolah ternyata adalah orang lama yang sudah ia kenal dengan baik.
"Halo, Sarang bagaimana kabar mu?"
Itu adalah kalimat pertama yang Sarang dengar dari bibir tipis itu, bibir seorang Elesh Nelson.
"Apa kita kenal?"
Juga respon acuh Sarang yang menunjukkan secara terang-terangan bahwa dia tidak ingin di dekati.
"Hey Sarang, ayolah...haha" Elesh tertawa begitu canggung melihat Sarang yang benar-benar terlihat berbeda dari yang terakhir mereka bertemu.
Ada banyak perubahan yang terlihat pada Sarang, dari fisik dan sikap yang menjadi lebih dingin. Dulu memang cuek, tapi tidak acuh seperti sekarang.
"Jangan berlagak seolah kita saling mengenal, aku benci orang sepertimu."
Sarang kemudian berdiri untuk pergi dari kelas sebelum bel sekolah berbunyi. Sungguh ia tak tahan jika harus melihat wajah itu lebih lama lagi.
Tujuan Sarang tidak lain adalah kantor guru, ia ingin di pindahkan dari kelas tersebut. Terserah di kelas manapun asalkan bukan bersama Elesh.
"Guru, bisakah aku pindah kelas?"
"Kenapa? Apakah ada masalah?"
"Hanya tidak suka dengan suasana kelasnya, mereka berisik guru, aku tidak suka."
Sang guru hanya tersenyum, "Setiap tahun akan ada siswa seperti dirimu, meskipun tidak suka kau harus menerimanya. Hubungan sosial itu sifat manusia, itu akan bagus untuk orang introvet seperti dirimu. Kelak, di kemudian hari lingkungan seperti ini melatih hubungan sosial mu dengan yang lainnya. Menjadi dewasa, dan bekerja lebih berat daripada lingkungan sekolah. Pelan-pelan saja dan kau bisa beradaptasi, lagipula semua kelas itu berisik, jadi guru harap kau baik-baik saja dengan ini."
Gagal total, Sarang sudah tidak bisa memberikan alasan lain. Dengan sopan ia pamit undur diri untuk mencari tempat yang lebih tenang. Sejujurnya jika bisa ia ingin pindah saja, tapi ia tidak ingin merepotkan orangtuanya terutama sang Papa yang kini lebih sibuk karena mengurus banyak hal, dan ia tidak ingin membebani Papanya.
Saat melangkah lebih jauh, bel berbunyi. Sarang terpaksa kembali ke kelas. Ia tidak ingin membuat masalah di hari pertamanya.
Saat duduk pun, ternyata Elesh berada di belakangnya. Tepat di dekat jendela, barisan paling belakang di sanalah Elesh duduk, sementara Sarang di depan meja Elesh.
Elesh menatap punggung Sarang dengan perasaan yang sulit di artikan. Awalnya ia senang begitu bertemu dengannya lagi, tapi saat di sapa respon Sarang begitu menakutkan dan menyakiti hatinya. Kenapa Sarang berubah? Apa bisa manusia berubah secepat itu? Jika iya, maka apa yang telah Sarang lalui sehingga berubah menjadi seperti sekarang?
Hingga akhirnya hari ini terlewati begitu saja tanpa banyak hambatan. Elesh dengan kebingungannya dan Sarang dengan keengganannya.
Saat semua orang pergi, Sarang baru saja mengemasi peralatan tulisnya. Ini seperti kebiasaan, lebih suka pulang saat koridor sudah sepi karena tidak harus berhimpitan dengan yang lainnya.
Tapi siapa sangka jika Elesh menunggu Sarang sampai temannya itu keluar dari kelas.
"Sarang, ada apa dengan mu?"
Awalnya Sarang mengabaikan Elesh dengan melaluinya begitu saja, tapi berhenti saat Elesh bertanya demikian.
"Jangan memanggil nama ku seenaknya." Suara Sarang begitu dingin, kesan anak baik padanya entah menguap kemana. Tanpa repot-repot menatap lawan bicara, Sarang kembali melanjutkan langkah kakinya yang tertunda.
"Sarang, kita berteman bukan? Kau adalah satu-satunya temanku kan? Sarang! Tunggu Sarang!" Elesh mengejar Sarang yang semakin ia kejar semakin menjauh. Seolah-olah larinya ini seperti kura-kura kecil yang berjalan.
Meskipun secara kasat mata Elesh sudah dalam jarak Sarang, tapi entah mengapa Sarang terlihat begitu jauh dalam jangkauannya.
Keterdiaman Sarang begitu menyakitkan, dinginnya Sarang juga menyesakkan dada Elesh saat ini. Bahkan setelah bertemu pun, ia tak bisa bertanya alasan Sarang pindah sekolah saat itu.
"Sarang! Tunggu Sarang! Ku mohon dengarkan aku. Lima menit saja, tolong!"
Akhirnya Sarang berbalik, tapi raut wajahnya nampak tidak senang. Elesh mengabaikan itu, ia hanya ingin bertanya, ingin mencari tahu jawabannya tentang perginya Sarang.
"Sarang—"
"Dasar pengganggu."
Sarang lagi-lagi meninggalkan Elesh begitu saja, jujur saja hatinya juga sakit saat melihat Elesh. Rasanya marah dan kesal. Perasaan yang begitu menyebalkan sangat menyiksanya. Kalimat "halo" yang seharusnya ia jawab dengan "hai" itu kini hanya sapaan tidak berharga sama sekali seperti dulu.
"Kau! Aku benci dirimu, Elesh Nelson!"
Detik itu juga air mata Elesh tidak terbendung lagi, Sarang kenapa berubah?
"Sarang, kenapa? hiks..... Tolong jangan benci aku."
Jangan tinggalkan dengan sebuah kebingungan, tolong jelaskan.
TBC.
Anak bujang ku udah gede. Btw, update chapter sebelumnya rapih gak? Soalnya pas di publikasikan kemarin chap 10 ketinggalan 😞 takutnya gak berurutan 😔