Chapter 3

108 9 0
                                    

     Kara menyingkirkan tangan mamanya lalu melepas sepatunya dan langsung ke kamar

'klek!'
'crek!'

   Kara mengunci pintunya rapat rapat. Ia sudah bosan dengan alasan Rena yang tidak pernah berubah. Mama terpaksa, seperti itu. Alasan yang membuatnya jengkel.

   Dari ke 3 laki yang dinikahinya, hanya satu orang yang belum diceraikan, dan itu pun ayah kandungnya Kara. Ayahnya Kara tuh tipikal lelaki sejati yang menjaga tanggung jawabnya.

       Kara bernafas lega setelah memasuki kamar. Rasa penasaran tiba tiba datang saat melihat suatu kotak diatas kasurnya. Kotak hitam yang terlihat misterius.

'Tok'
'Tok'
'Tok'

     Rena kembali mengetuk pintu kamar anaknya.
"Kara... Keluar sebentar ya? Mama mau ngomong..."

Kara mendatangi kasurnya
"Mama gak ke kamar Kara kan?" Tanya nya dengan suara cukup keras
"Nggak, sayang..." Jawab sang mama

     Dibalik pintu kayu itu Rena kepikiran sesuatu yang akan menarik anaknya. Rena menghelakan nafas sebentar.
"Kara, katanya papa mau Dateng kesini"
"Kapan?'" nah 'kan benar, Kara langsung menjawab
"Gak tau, katanya Minggu ini"
"Bilangin jangan mendadak"
Rena memasang wajah khawatir "kalo itu... Kara yang harus bilang sendiri"
Kara terdiam sejenak "yaudah nanti Kara yang bilang"

      Rena tersenyum tipis. Bagaimana jika ia membahas Reno?
"Kara, ayah Reno juga mau kesini, hari ini"
"Yaudah sana!! Kara gak mau denger yang itu!!"

    Bentak Kara tanpa memikirkan perasaan mamanya. Toh, untuk apa memikirkannya? Wanita itu juga tidak memikirkan perasaan anak anaknya.

         Kara membuka kotak itu juga.
Matanya membulat melihat dalamnya. Disana ada banyak foto dirinya yang sedang kumat. Saat sedang menangis dipojokkan kamar, mem barcode lengan sendiri, memukul mukul perutnya, aibnya lengkap dalam kotak itu.

        Disana juga ada secarik kertas yang bertuliskan;

  'sayang gue lagi kumat ya?
Mau gue tambahin gak?
Mau gue kasih piso atau silet yang kecil?
Kasian kalo pake kaca mulu'

"Emang gue separah itu ya?" Kara menyimpan kotak itu di lemarinya " gabut banget yang moto in gue

'Gtak!'
      Suara benda jatuh mengenai jendela kamarnya membuatnya menoleh. Seretan darah terlihat sempurna di jendela yang baru dibersihkan kemarin.

      Kara mendatangi jendela nya dan melihat kebawah. Senyumnya mengembang heran. Seekor burung merpati terlihat sangat berantakan dan sekarat.

       Kara bergegas keluar. Akan bau bangkai jika tidak dibersihkan. Rena hanya terdiam saat anak itu melaluinya seolah tak lihat.

       Ia mendatangi burung itu lalu mengangkatnya hendak membuangnya ke tong sampah depan rumah.

'tch'
   Sesuatu jatuh dari burung itu. Jika dilihat lagi, perut burung itu terbelah. Pasti nya benda itu jatuh dari belahan itu. Benda bulat yang cukup besar membuat Kara kasian dengan burung itu.

         Kara kembali meletakkan burung itu dan mengotak atik benda itu. Ternyata bisa dibuka. Dalam sana ada cincin yang terlihat sangat mahal dan cantik. Seperti menemukan harta Karun.

         Seperti kotak yang ada dikamarnya, didalam sana ada secarik kertas.

Buat ayang gue
Athala Karasha

   Kara hanya tersenyum. Alangkah baiknya jika cincin itu dia gadaikan, dari pada memakai barang yang entah dari siapa. Untuk benda ini Kara cukup bersyukur.

"Makasih ya"

.
.
.
..
.
.
.
.
.
.
.

Kara, Lo cantik
Enak gak Jadi lonte buat sekelas?
Lobang lo enak
Besok main lagi ya

.
.
.
  
   Sorenya. Kara terbangun dengan kepala super pening. Itu wajar, ia tidur hanya setengah jam tanpa kenyenyakan. Mimpi yang mengganggunya kembali berputar.
   
     Kara beranjak turun dari kasur. Kakinya gemetar tak kuat menahan tubuhnya. Apakah mimpi bisa mempengaruhi tubuh sekuat ini? Ia terlalu sering gemetar saat mendapat mimpi itu. Kara kembali naik keatas kasurnya.

Tok
Tok
Tok

    Kara menoleh kearah pintu yang terketuk lalu menghelakan nafas. Kali apa yang mamanya katakan?

"Kara...ayah Reno Dateng loh. Gak mau keluar?"
Kara tak merespon
"Kara... Kara tidur? Maaf ya.."
Kara lagi lagi menghela nafas lalu Ter diam sejenak" mama, Kara mau kerumah Arcell"
"Iya sayang"

      Kara kali ini benar benar turun dari kasurnya, kakinya sudah tidak gemetar seperti tadi. Kara mengambil hoodie yang tergeletak disebelahnya lalu memakainya. Saat ini ia butuh sesuatu untuk membuatnya nyaman.

    Hanya sahabat sahabatnya yang bisa membuatnya nyaman. Sayangnya hanya Arcell yang dekat dengannya saat ini.  Tak lupa ia mengambil handphonenya lalu keluar dari kamar.

         Kara yang baru bangun tidur hanya melihat sekilas lalu keluar dengan memakai sandal jepit nya. Kara menyebrang jalan depan rumahnya dan berjalan beberapa meter kekiri lalu berhenti dipagar rumah seseorang. Kara terdiam sejenak.

      Tak biasa ada mobil di depan rumah itu. Ia tau Marcell punya mobil tapi sudah pasti ada di garasi. Mobil siapa? Pikirannya tiba tiba ngelag.

  Pintu rumah itu terbuka, seorang lelaki yang terlihat sangat dewasa keluar. Lelaki itu tersenyum dengan sangat manis. Kara ternganga memperhatikannya sampai orang itu keluar.

"Mau pulang sekarang?" Mulut tiba tiba mengucapkan sesuatu
Lelaki itu menoleh" eh, nggak. Gue nginep disini"
"Mau kemana?" Tanyanya lagi. Kara sudah kenal dengan orang itu
"Nyamperi lo"
"Mau ngapain?"

    Lelaki itu menyeringai. Ia tau Kara baru bangun tidur. Pertanyaan agak... Nggak nyambung mungkin?

"Gue siapa?" Tanya lelaki itu mencoba menyadarkan Kara. Kara terdiam sejenak tiba tiba lupa
"Lo siapa?" Tapi malah balik balik bertanya
"Masih ngantuk?"
Kara menggeleng
"Yaudah masuk dulu"
Kara mengangguk lalu memasuki rumah itu

     Tanpa permisi Kara melepas sandalnya dan berbaring di salah satu sofa. Arcell sang pemilik rumah hanya menggelengkan kepala. Kara masih membutuhkan waktu untuk tidur.

"Lo mau makan gak?" Tawar Arcell yang langsung mendapat gelengan kepala Kara.
"Aru gak kesini? Katanya mau jengukin gue"
Arcell terkekeh kecil "yang didepan tadi siapa? Bukan Aru emangnya?"

     Kara kembali duduk dengan mata membulat"Aruu!!!"


Crazy Love; Crazy Boyfriend [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang