Kamu tidak bisa menghentikan ombak, tetapi kamu bisa belajar menaikinya (Jon Kabat-Zinn)
Sore ini Kelana merebahkan tubuhnya ke hamparan pasir. Ditatapnya lekat lekat langit biru yang memberikan kedamaian. Begitu juga dengan ombak di laut ini, memberikan ketenangan dari aromanya yang khas dan lembutnya deburan ombak yang berderu bersahutan. Sama halnya dengan suara hati Kelana yang semakin riuh bersahut sahutan. Tentang bagaimana Ia akan mengambil keputusan-keputusan untuk masa kini sementara luka lamanya masih deras membekas. Tak dapat dijelaskan, bagaimana luka ini masih terus hadir karena jelas dalam ingatan memori masa kecilnya yang menemani Kelana hampir seperempat abad perjalanan hidupnya.
Untuk sebuah keputusan, memiliki seorang anak adalah impian setiap pasangan yang sudah melangsungkan bahtera kehidupan berumah tangga. Konon anak-anak dilahirkan dalam sebuah keluarga bagaikan perhiasan indah yang membuat hati menjadi berbunga. Anak-anak mampu mewarnai keluarga dengan celoteh suaranya, tangis, juga tingkah polah yang menyenangkan.
Namun bagi Kelana, anak dilahirkan untuk mewujudkan mimpi-mimpi tak sampai para orang tua. Mereka adalah api penyucian untuk menebus kegagalan-kegagalan menyakitkan di masa lalu. Pemberian yang paling menakutkan dari Tuhan dalam hidup. Sejak seorang anak itu dititipkan dalam rahim seorang wanita hingga ia melahirkannya, kesaksian perjalanan hidup wanita tersebut dipertaruhkan pada kedua mata dan telinga anak itu.
Ketakutan dari luka masa lalunya menjadikan Kelana memilih untuk menunda kehamilannya sejak tahun pertama pernikahannya. Keputusan berat yang harus Ia diskusikan bersama suaminya, Sakti. Karena tekanan dari keluarga untuk segera memiliki anak mengingat usia Sakti sudah tidak muda lagi.
Pengambilan keputusan yang tak mudah itu membawa perjalanan Kelana dan Sakti penuh lika-liku, Kelana yang harus berdamai dengan luka masa lalunya berjuang untuk menghadirkan cinta dan kasih sayang demi merengkuh takdir yang baik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Riuh Kelana
RomanceDua puluh lima tahun dalam hidupnya, Kelana habiskan untuk membenci sang Ayah. Sewaktu kecil, Kelana pun sempat membenci ibunya karena sebuah kondisi keluarga. Kepada ayahnya di titik ini dia sudah mati rasa, menganggap sosoknya mati dan tak perna...