Sinar Inframerah
Matahari bersinar sangat terik. Perempuan itu baru tiba dari sebuah tempat. Dia pun langsung memakirkan kendaraannya. Untungnya, gedung itu berpendingin udara. Ia pun duduk di antara orang-orang yang saling berinteraksi. Sebagian besar bersandar di kursi besi dengan sebuah map di sampingnya. Perempuan itu hanya fokus dengan gawainya. Memang, dia sedang sendirian di sana. Di depannya, tampak ada satu meja dan seseorang yang berpakaian serba putih dengan sepatu pantofelnya. Speaker besar berwarna hitam dan mikrofon di atasnya, bertengger di samping sebuah meja itu.
"Zayna Karimah!"
Suara pengeras suara itu terdengar nyaring, mengagetkan orang-orang di sekitar, termasuk Zayna. Ia pun tersentak, langsung menyelempangkan tas kecilnya dan berdiri.
"Saya, kak!" seru Zayna kepada kakak perawat yang sedang memanggil pasien dengan pelantang di genggaman tangannya. Ya, dia sedang di rumah sakit. Ingin kontrol ke dokter ahli rehabilitasi untuk melanjutkan fisioterapinya.
Tok tok. Zayna langsung mengetuk sebuah pintu. Dia cukup mandiri datang seorang diri karena tidak ingin merepotkan ibunya. Benar saja, hari dengan suhu yang bisa mengeringkan pakaian dengan cepat dan jarak tempuh enam kilometer, menjadi alasan ia tidak mau mengikutsertakan orang tuanya.
"Halo selamat siang.. Gimana kabarmu dik, masih ada keluhan?" ucap dokter Bina ramah. Badannya berisi, rambutnya tergerai rapi, mengenakan jas berwarna putih berseri. Di ruangan beliau tampak banyak bingkai poster yang terpajang. Di meja, ada vas berisi bunga dan papan nama kecil dokter Bina.
"Hmm, sebenarnya keluhan Zayna sekarang ga terlalu berarti sih dok. Kadang-kadang aja kalau misalnya lagi duduk atau berdiri terlalu lama, aku ngerasa sesak." jawab Zayna kepada dokter. Huft, sebenarnya Zayna masih denial dengan hal ini. Memang, dia baru mengetahui kelainannya di usia yang ke-20. Padahal, kelainan ini sering ditemukan saat usia sekolah. Zayna sekarang sudah kuliah semester 6. Sedang sibuk-sibuknya mengerjakan skripsi. Ia mengidap skoliosis atau kelainan tulang belakang yang semakin sakit akhir-akhir ini. Baru tahu saat temannya merasa aneh dengan bahunya, kok tinggi sebelah? Zayna sebenarnya juga sudah curiga--dengan dasar ilmu kedokterannya yang ia pelajari saat perkuliahan--, tetapi saat diraba bagian tulang belakangnya, lurus-lurus aja kok.
Apa karena tahun lalu aku pernah mendaki bukit? Memikul tas carrier yang beratnya bisa sekitar 3 kilo lebih. Belum lagi badanku yang kurus, meningkatkan risiko terjadinya skoliosis. Ucap Zayna dalam hati. Ia memang berjiwa petualang, tidak hanya bukit yang didaki, tapi juga gunung. Sepatu Zayna sudah membuat prestasi menginjak tanah gunung Papandayan tiga tahun lalu. Impiannya ke gunung Merbabu dan Rinjani harus diurungkan saat mengetahui kelainannya ini.
"Coba kita periksa lagi ya, dik." dokter Bina mengarahkan badan Zayna untuk menempel di dinding ruangan. Kedua tangannya diminta ke atas. Bergantian menggapai tembok sejauh mungkin di kedua sisi. Dokter sedang mengajarkan ia terkait latihan mandiri skoliosis.
Mereka kembali duduk di kursi masing-masing. Peregangan sudah selesai. Dokter Bina sibuk menulis rekam medis Zayna, sementara ia fokus melihat apa yang ditulis dokter.
"Baik, kalau begitu. Kita lanjutkan lagi ya fisioterapinya. Tetap semangat ya Zayna, kamu cantik dan pintar. Nanti setelah ini, kontrol kembali ke ahli Bedah Tulang ya." ucap dokter Bina, sambil tersenyum dan menatap mata Zayna dalam. Ia yang mendengar, langsung terharu. Kata-kata dokter Bina menyentuh hatinya. Seperti memberi nasihat di balik kekurangan kita, masih ada banyak kelebihan yang ada dalam diri. Mencoba untuk menerima takdir yang sudah Allah berikan. Memberikan afirmasi positif, bahwa ia kuat, ia sanggup dengan ujian yang sudah Sang Maha Pencipta beri.
"Siap dokter, terima kasih banyak ya dok." lirih Zayna setelah dokter menyodorkan kartu kontrolnya. Ia pun berdiri, ke luar dan menuju ruangan fisioterapi.
Sinar inframerah menyala di atas punggung Zayna. Terasa hangat. Belum lagi nanti Zayna akan dilakukan fisioterapi kembali. Tetapi kali ini Zayna merasa, fisioterapinya cuman buang-buang waktu. Benar sih, ia merasa lebih enakan setelah melakukannya. Tetapi, dengan jarak rumahnya yang lumayan jauh, cuaca yang panas, jalan yang macet, menambah keinginan Zayna untuk latihan mandiri saja di rumah. Dengan keluhannya sekarang, ia yakin bisa survive tanpa fisioterapi.
Nanti coba aku bilang ke dokter. Ucap Zayna menggumam.
***
Tiga Puluh Lima Derajat
Hari ini jadwal kontrol Zayna dengan dokter ahli Bedah Tulang. Zayna penasaran, apa tindakan selanjutnya dari dokter untuknya?
Seperti biasa, ia datang ke rumah sakit, mendaftar, mengantri dan menunggu panggilan namanya. Dia lihat, dokter ahli Bedah Tulangnya baru saja datang. Laki-laki bertubuh tinggi semampai, dengan gaya jalannya yang tegak. Menandakan kepribadiannya yang teguh pendirian.
Hmm, nanti aku mau jadi dokter apa ya? Dokter umum saja? Lanjut S2? Lanjut spesialis? Ikut pengabdian? Pegawai pemerintahan? Atau jadi tenaga kesehatan program haji? Zayna dengan kemampuan visionernya yang tinggi masih meraba-raba masa depannya. Ia yang berkepribadian INFJ (kata orang, paling langka di dunia, tahu sih yaa sekarang..), bingung, mau pilih yang mana.
Kata teman-temannya, Zayna anak yang sangat aktif, kritis dan kelihatannya extrovert. Tapi ia gak ngaku tuh, nganggapnya introvert. Suka menyendiri. Suka me time. Ga tahan kalau lagi kumpul sama banyak orang dan sukanya berinteraksi empat mata sambil deep talk. Apalagi mikirin masa depan, terutama masalah jodoh. Semangatnya langsung membara. Hadeh, Zayna..
"Dik, kamu ya yang dipanggil?" celetuk ibu muda sambil menggendong bayi cantik nan mungilnya. Zayna yang sejak dari tadi bengong-bengong mikirin masa depan, akhirnya terbuyarkan dengan panggilan namanya yang kedua kali di speaker ruangan.
"Eh iya, bener bu. Saya ga ngeh. Terima kasih ya bu!" dengan sigap dan cengengesannya, Zayna segera masuk ke ruangan dokter. Semoga ada takdir baik, harapnya.
"Gimana? Udah fisioterapi?" dokter langsung bertanya.
"Iya dok Alhamdulillah sudah. Cuman, saya boleh ga ya dok engga lanjut lagi? Soalnya Zayna capek dok harus bolak-balik kontrol, sedangkan rumah saya jauh, di Jatibaru." protes Zayna. Bagaimana lagi, alur rujukan BPJS mengharuskan ia ke rumah sakit tersebut.
"Kamu mau operasi tidak?" tanya dokter dengan pertanyaan yang mengejutkan Zayna.
"Waduh, harus operasi ya dok? Walaupun belum 40 derajat?" Ia deg-degan. Takut dioperasi. Teringat prosedur operasinya yang pernah ia lihat di Youtube. Kemiringan tulang belakangnya 35 derajat. Tapi dokter menyarankan jika mau saja. Lumayan sih, bisa nambah tinggi badan, tapi ya takut, kata Zayna dengan 150 sentimeter tinggi badannya. Empat sentimeter menuju standar perempuan Indonesia.
"Gapapa kalau ga mau. Saya coba rujuk ke RS Sumitra aja ya. Biar nanti dikonsultasikan ke dokter ahli Bedah Tulang khusus tulang belakang. Jadi lebih tepat tindakan selanjutnya." timbang dokter berujar.
"Baik dok, terima kasih banyak dokter." tutup Zayna sambil bersiap pulang. Tidak sabar untuk kontrol di RS rujukan.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Perjalanan Mengejar Cahaya
General FictionZayna dan saudaranya, lahir dari keluarga religius dan harmonis, berjuang menggapai impiannya masing-masing. Namun, mereka harus menghadapi berbagai ujian dari Allah; kelainan, kehilangan dan keputusasaan. Akankah takdir ini menjadi salah satu jalan...