"3..2..1.. Mulai! Gerakan pertama 30 detik dari sekarang."
Suara wanita itu menginstruksikan Zayna untuk mengawali latihan. Ia sedang exercise skoliosis dari aplikasi gawainya. Pagi hari di akhir pekan selepas shalat dan ritual ibadah lainnya, Zayna langsung menggelar matras olahraga di dalam kamarnya. Beruntung hari Sabtu tidak ada jadwal perkuliahan.
Hop. Hop. Hop.
Zayna dengan semangat melatih jasmani di atas tikar olahraga yang baru dibelinya satu bulan lalu. Kebetulan sedang ada promo di salah satu platform belanja online. Lumayan, potongan harga 30%, pikir Zayna. Ia tidak mau melewatkan kesempatan itu, apalagi sedang membutuhkannya sebagai alternatif agar punggungnya tidak "kaku".
Gerakan dari aplikasi gawai tersebut diulang-ulang hingga instruksi selanjutnya terdengar.
"Waktu Anda habis. Latihan selesai. Selamat!"
Ucap instruktur mengakhiri sesi latihan kali ini, beriringan dengan suara sorakan. Oke, saatnya rehat sejenak, terus mandi. Zayna segera ke rak buku kamarnya dan mengambil salah satu buku berjudul Atomic Habits karya penulis James Clear. Ia membaca dengan serius dan mengutip kata-kata penting dengan pena sorotnya.
"Suatu perubahan kecil dalam kebiasaan sehari-hari dapat membuat Anda tiba di sasaran yang sangat berbeda. Membuat pilihan yang 1% lebih baik atau 1% lebih buruk terkesan tak bermakna pada suatu saat, tapi dalam rentang waktu panjang, pilihan-pilihan tersebut menentukan perbedaan antara siapa Anda sekarang dan siapa Anda nanti. Sukses adalah produk kebiasaan sehari-hari--bukan transformasi yang hanya sekali seumur hidup--".
Kutipan pada salah satu halaman tersebut, membuat Zayna termotivasi untuk makin produktif. Satu persen lebih baik setiap harinya. Ia langsung memeriksa kembali to do list-nya hari ini dan memperbaruinya. Memang, Zayna mulai bangkit lagi setelah beberapa waktu sempat down karena kelainan skoliosisnya itu. Punggungnya lah yang malah membuatnya merasa lebih positif. Ia tambah rajin untuk "bergerak", terutama berolahraga, membaca buku dan bantu-bantu pekerjaan domestik di rumah. Mencuci pakaian, memasak, menyapu rumah, mencuci piring, menyetrika yang jarang dan malas Zayna lakukan, apalagi kalau udah letih sehabis pulang dari kampus. Akhirnya ia merasa kontribusinya sekarang bertambah untuk berbakti kepada umminya.
Setelah kurang lebih sepertiga jam membaca buku, segera ia bersiap ke kamar mandi. Tidak sabar untuk menemani ummi ke pasar dan memasak makanan favoritnya; ayam rica-rica. Ia sangat suka makan makanan pedas.
Sepuluh menit kemudian, Zayna sudah wangi, lalu bersiap untuk berangkat ke pasar. Saat di tengah perjalanan, ummi yang berada di belakang Zayna mengobrol soal adiknya Rumi, yang pekan depan wisuda hafalan al-Qur'an di pondok pesantrennya. Zayna asyik mendengarkan sambil fokus mengendarai motornya. Jarak yang tidak memakan waktu lebih dari delapan menit, akhirnya mereka tiba di pasar. Ummi langsung mengingatkan Zayna berdzikir agar mendapat keberkahan dan terhindar dari mara bahaya. Sedari kecil, orang tua Zayna beserta saudaranya mendidik untuk selalu mengingat Allah di manapun dan kapanpun.
"Zayna, jangan lupa baca do'a masuk pasar ya."
"Siap ummi. Bismillahirrahmanirrahim, laa ilaaha illallah wahdahu laa syariika lah, lahulmulku walahulhamdu yuhyii wa yumiit, wa huwa hayyun laa yamuutu biyadihil khoiir, wa huwa 'alaa kulli syai'in qodiir."
Selain membeli bahan masakan, Zayna tak lupa membeli serabi--jajanan tradisional khas Jawa Barat--terkenal kesukaan keluarganya. Di akhir pekan, toko serabi itu pagi-pagi pasti sudah dipenuhi antrian banyak orang yang ingin menyantap. Rasanya gurih dan legit. Gula merahnya juga tidak terlalu manis. Belum lagi harga yang murah.
"Mau beli berapa, mba?"
"Empat dibungkus, dua makan di sini ya bu. Dibungkusnya di sini aja ya bu", Zayna lalu menyodorkan wadah makanan ke penjual.
Slurrp. Zayna menghirup kuah serabi. Rupanya makanan itu sudah selesai dihabiskannya.
"Serabi di sini selalu enak ya, mi. Ummi tahu warungnya ini dari mana, sih?"
"Dulu ummi dikasih tahu ammah Nina, umminya Yanti. Waktu kami dulu berdua ke pasar mau masak bareng. Eh, nemu warung ini. Kebetulan juga udah lama kami engga makan serabi. Pas dicoba, ternyata enak. Langsung deh ummi kasih tahu abi", jelas ummi ke Zayna sambil memperlihatkan giginya yang masih rapi dan putih di usianya yang menginjak hampir kepala lima.
Sedari tadi sudah menunggu, akhirnya Zayna pun bisa membungkus serabi itu untuk abi dan adik-adiknya. Ia bawa pulang dengan wadah makanan tadi yang sudah dipersiapkannya dari rumah. Tidak aneh, Zayna memang akhir-akhir ini mencoba hidup ramah lingkungan. Memakai tisu dan kapas cuci ulang, sabun lerak, pembalut kain, membawa botol minum atau wadah makanan sendiri jika ke luar, hingga mengompos sampah di depan rumah. Katanya sih, terinspirasi dari salah satu ayat di surah Al-Baqarah, bahwa tanggung jawab manusia adalah sebagai khalifah di bumi; menjaga dan memelihara alam. Terlebih, ia juga mengikuti komunitas less waste di media sosialnya.
"Yuk nak, kita pulang. Nanti shalat dhuha dulu aja, setelah itu kita masak-masak ya." Ajak ummi pada Zayna. Mereka pun berangkat menuju rumah.
Suasana dapur cukup sibuk dibanding ruangan lain. Zayna dan ummi berbagi tugas. Ummi bagian membuat ayam rica-rica, sedang ia bagian tahu tempe kukus dan sambal.
Breeng. Breeng. Breeng.
Bunyi blender menghaluskan bumbu rica-rica. Ummi sudah selesai memarinasi dan menggoreng ayam. Saatnya menumis bumbunya. Aroma tumisan bumbu halus campuran bawang putih, bawang merah, kemiri, jahe, kunyit dan cabe keriting, tercium semerbak. Wangi sekali. Mengundang perut Zayna berbunyi keroncongan.
"Mmmm.. enak pisaaan baunya euy!" Tiba-tiba Salman, adik laki-laki Zayna yang sejak tadi sibuk di luar membersihkan pekarangan rumah, menyeletuk di dapur.
"Iya nih, sabar yaaa. Kamu mandi dulu sana! Terus bantuin aku sama ummi". Zayna segera menyuruh adiknya bebersih badan, sambil mengangkat tahu dan tempe yang dikukus dalam panci. Ia taruh di samping ulekan sambal yang terlihat merah merona dan menggiurkan bagi pecinta masakan pedas. Salman Abdurrahman, ia adalah anak kedua setelah Zayna. Kadang-kadang jahil, tapi penurut.
Zayna adalah anak pertama dari lima bersaudara. Selain Salman, adik-adiknya yang lain bernama Dila, Rumi dan Yumna.
Dila Fadzira, anak perempuan yang cuek, dingin tetapi bijak mengamati kondisi. Ahmad Rumi, anak keempat laki-laki, agak pendiam tapi sayang dan merangkul dengan adik-adiknya. Terakhir, Yumna si bungsu, aktif dan super extrovert.
Tak terasa, sekitar empat puluh lima menit di dapur, semua makanan akhirnya selesai juga. Ummi langsung memanggil abi dan anak-anaknya yang lain untuk berkumpul di ruang makan. Mereka pun melingkar dan makan bersama.
"Sore ini kalian ada kegiatan di luar?" tanya abi ke anak-anaknya.
Zayna baru ingat, sore ini, dia ada janji dengan Yanti. Ia adalah teman Zayna sejak sekolah dasar. Mereka ingin berangkat bersama untuk mengikuti kajian di sebuah masjid setelah shalat ashar. Zayna segera meminta izin kepada orang tuanya. Alhamdulillah, orang tua Zayna tentu langsung mengiyakan. Mereka sangat mengenal baik sosok Yanti dan orang tuanya.
Assalamu'alaikum Yan, sore ini jadi kan pergi ke masjid? Nanti aku jemput di rumah kamu ya. See you soon!
Tak lama, empat menit kemudian muncul notifikasi dari gawai Zayna.
Wa'alaikumussalam. Jadi insya Allah. Oke siap, fii amanillah ya say.
Zayna berkirim pesan ke media sosial dengan Yanti. Tidak sabar menambah ilmu bersama.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Perjalanan Mengejar Cahaya
General FictionZayna dan saudaranya, lahir dari keluarga religius dan harmonis, berjuang menggapai impiannya masing-masing. Namun, mereka harus menghadapi berbagai ujian dari Allah; kelainan, kehilangan dan keputusasaan. Akankah takdir ini menjadi salah satu jalan...