𝑲𝑬𝑳𝑰𝑴𝑨

67 9 0
                                    

Jangan lupa tinggalkan jejak!!💐💐

***

Di saat itu, saat Anara dengan pikirannya tak terkontrol. Moodnya sungguh di buat berantakan oleh temannya tadi, ia ingin pergi menuju ruang yang terlihat sepi dari orang-orang kampus. Ya mungkin minimal tak dikenalnya.

Berkali-kali ia berjalan menyusuri lorong kampus yang ramai, perempuan itu tidak menemukan tempat yang pas untuk meluapkan segala sesuatu yang ada di pikirannya.

Anara menatap kanan kiri, semoga saja ada satu ruang yang tepat untuknya kali ini. Semoga tuhan memihaknya sekali saja untuk sekarang.

Perpustakaan. Tempat yang pas, sepi, tenang, dan sejuk. Ia merasa lega.

Anara membuka pintu perpustakaan dan mencari bangku kosong untuknya, beruntung siang ini perpustakaan sedang minim mahasiswa yang berada di sana, jadi ia tak perlu khawatir.

Ia memilih untuk berada di ujung perpustakaan dan duduk tanpa alas lantas menyandarkan punggungnya di tembok polos yang membuatnya nyaman. Dia ingin menangis hari ini.

Anara meringkuk di sana, ia memukul kepalanya berkali-kali. Takut jika ketakutannya benar-benar terjadi saat itu juga.

Anara bergumam serak, "Kenapa jadi gini sih? Gue ga mau, gue takut..." Paraunya. Ingin sekali rasanya menangis, tapi tidak bisa, air matanya tak ingin menetes barang satu tetes pun.

"Gue harus gimana, kali ini berat banget, tuhan." Ujarnya semakin menjadi-jadi.

Anara sesenggukan berkali-kali, namun mengapa tidak ada tanda-tanda air matanya menetes.

"Gue takut, gue sama sekali ga pantes buat dia nanti."

Seperti dugaannya. Benar saja, apa yang ia takutkan telah terjadi, sesaknya kembali muncul kala itu. Ia berusaha bernapas, tetapi sangat susah untuknya menghirup udara di dalam sini.

Dalam keadaannya yang masih meringkuk. Tak ada angin tak ada hujan, tiba-tiba saja ada yang menepuk pundaknya pelan, Anara terkejut saat merasakannya.

"Anara?" Tanya lelaki itu.

Anara mendongakkan kepalanya walaupun itu terasa sangat berat. Saat melihat siapa itu, air matanya jatuh tanpa diperintahkan olehnya.

Ia menangis sejadi-jadinya tatkala tiba-tiba lelaki dihadapannya ini memeluk tubuhnya.

"Gapapa, nangis aja." Ucapnya yang masih berada di posisinya.

Anara melepaskan pelukan itu dan mengusap air matanya menggunakan punggung tangannya bergantian.

"Shaka? Kenapa bisa lo disini?" Tanya Anara sesekali menetralkan nafasnya yang kembali normal dari sebelumnya.

"Awalnya sih niat gue mau cari buku disini, tapi pas gue mendekat kok denger suara seseorang nangis. Eh ternyata lo yang nangis." Jelasnya di sela-sela ia terkekeh saat mengingatnya.

"Jangan ketawa!" Bentak Anara membuat Shaka gemas sendiri melihatnya.

"Lo tau ga, kalau lo nangis nambah keliatan jeleknya." Ujar Shaka yang membuat Anara ingin memukul lelaki di depannya ini dengan panci di rumahnya.

"Iya gue tau gue jelek, gausah jujur banget apaan." Penuturan Anara semakin dibuat rasa bersalah Shaka.

Shaka menatap lamat Anara terkalut akan kesedihan yang tak ia ketahui kini. "Ya udah, hapus dulu air matanya. Tenangin diri lo dulu baru kita keluar dari sini." Titahnya dibalas anggukan dari Anara sembari menyeka air matanya yang masih saja menetes.

Namun, tanpa keduanya sadari bahwa ada seseorang yang sedang melihat keadaan mereka saat itu. Entah apa yang terlintas di benaknya hingga di perlihatkan situasi macam ini. Sungguh hal yang paling ia sesali sekarang.

Hey! Prof. NantaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang