Jangan lupa tinggalkan jejak!!💐💐
***
Sepanjang menyusuri jalan beraspal, hanya terpaan angin yang terasa. Dengan beberapa bunga tengah menari-nari diantara mereka berdua yang berbincang.
"Aku sangat berterimakasih kamu sudah menerima ajakanku untuk berjalan-jalan di kampus ini." Ujar perempuan berambut sepinggang dan jepit kelinci putih yang menempel di rambut sebelah kanannya.
"Hanya karena diriku sedang tidak sibuk saja. Tak lebih dari itu." Singkatnya. Iya tak ingin memperpanjang percakapannya diantaranya.
Claire menghela napas panjang, iya memaklumi, "Apapun itu, kamu kembali ke Indonesia saja aku sudah merasa senang."
Lelaki yang lebih tua 3 tahun itu hanya membalasnya dengan dehaman, "Ya, hanya tugas."
Kini, keduanya diam membisu. Entah topik apa yang akan diucapkannya kali ini. Seakan akan tak mengenal satu sama lain, sehingga pembicaraan santai pun terasa canggung.
Taman bermain, perosotan kuning yang licin, ayunan, jungkat-jungkit tinggi, istana pasir yang roboh, dan tatkala dedaunan kering berjatuhan mengenai wajah anak kecil yang polos.
Kejadian masa lalu yang memorinya masih setia menempel di sela-sela pikiran mereka. Alih-alih teringat masa lampau, kejadian kelam yang takkan terlupakan.
Perasaan yang tak dapat dipungkiri, ingatan samar yang bisa memenuhi memori antara rasa dan lara melukainya. Masa kelam yang kembali menyembuhkan hanya kebohongan, namun masa kelam yang kembali menenggelamkan itu justru akan menumbuhkan lara itu trauma.
Pada dasarnya, hati yang selalu lurus akan berpikir jalan itu akan lurus. Padahal di tengah jalan, bebatuan sudah merencanakan kegagalan untuk hati yang berpikir keberhasilan tanpa halangan.
Persahabatan tanpa cinta adalah hal yang langka, cinta tanpa paksaan dan pergi tanpa pamitan. Ada hal yang seharusnya diungkapkan, tetapi keduanya tak bisa meluapkannya dan masih tenggelam dengan kejadian yang sulit dilupakannya itu.
"Apa kamu masih ingat dengan kejadian 12 tahun yang lalu?" Tanya Claire membuka topik untuk mematikan kecanggungan diantaranya.
Ananta menoleh sejenak, "Ya, sangat. Waktu itu kamu yang ingin menjadi teman pertamaku." Claire tak terkejut, melainkan muak berkali-kali mendengarnya.
"Aku tau, tapi entah kenapa kamu bisa menolong anak seperti aku yang dibully." Ungkap perempuan itu jujur.
Ananta tersenyum tipis hingga tak terlihat, " Karena diriku merasa, bahwa anak bodoh yang diam saja jika itu kesalahan yang fatal. Dimana akibatnya akan perasaan yang terus menerus dihantui rasa bersalah." Ucapnya dengan kata-kata yang dikeluarkannya.
"Ngga ada habis habisnya kata-kata yang kamu keluarkan dari masa kecil. Entah apa isi otaknya itu." Candanya disela-sela dirinya terkekeh saat tiba-tiba mengingat masa-masa yang keduanya masih berpikiran dangkal, "Kenapa jadi ingat itu, sih?" Gumamnya pada dirinya sendiri.
Pria di sampingnya itu menautkan kedua alisnya heran, "Kamu bicara apa?" Tanyanya saat mendengar gumaman Claire yang tak ia dengar.
"Hah? Bukan apa, salah bicara." Elaknya. Ia tak ingin membuat Ananta heran, "Hanya tiba-tiba mengingat kenangan kita bersama saja."
Ananta mendecih sarkas, "Kenangan pilu mana yang pantas diingat." Perkataan Ananta seakan-akan membuat Claire tercekat, senyumnya tiba-tiba memudar saat itu.
"Kenapa kamu bilang seperti? Apa maksudmu?" Tanyanya ingin mendengar penjelasan dari pria yang ia sebut tunangannya itu.
Ananta menghela napas, lantas kepalanya mendongak menatap indahnya langit biru dihiasi awan-awan yang berjalan. "Hari dimana tiba saat pemakaman mama dimulai. Aku sungguh sangat hampa, papa yang sibuk menyambut keluarga, sedangkan diriku berdiam menyendiri di dalam kamar mandi. Karena aku tau, hal yang ramai tak membuatku bisa tenang, yang ada aku semakin sedih usai mendengar bahwa mama mengalami kecelakaan saat bertugas di Indonesia." Suara Ananta menelan, sejenak ia mengatur napasnya setelah berbicara panjang. Dirinya sudah tak dapat menahan beribu-ribu rasa sakit yang telah menghantamnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hey! Prof. Nanta
Fiksi RemajaAwalnya acara sambutan berlangsung di gedung utama saat itu, namun salah satu mahasiswi disana enggan untuk menghadirinya. Ia lebih memilih berada di kelas, berpikir jawaban apa yang akan diungkapkan olehnya di depan sang papa. Sebenarnya ia ingin b...