"Sayang, aku bisa jelaskan. Ini gak seperti apa yang kamu pikirkan. Aku dan Sri gak ada apa-apa. Kenapa kamu malah bilang aku terlalu berlebihan pada Sri?" aku berusaha menggenggam tangan istriku, tapi ia menepisnya dengan kasar.
"Sayang, jangan begini. Aku minta maaf kalau udah buat kamu cemburu. Tadi itu aku---"
"HP kamu gak aktif, Mas. Kamu gak ada kabar sejak jam lima lewat tiga puluh menit. Sampai aku tiba di rumah dan mamaku nanyain kamu. Aku capek banget hari ini pasien full dan aku malah harus lihat kamu berada di rumah mama kamu dan begitu khawatir pada Sri. Istri mana yang gak cemburu! Jujur aku kesal dan kecewa sama kamu!" Mayang memuqul lenganku berkali-kali. Ya, kami pulang dengan mobil Mayang karena gak mungkin aku biarkan. Mayang menyetir sendiri. Motor aku tinggal di rumah mama agar aku bisa mengendarai mobil Mayang.
"Puqul aku yang kenceng, Sayang. Aku ikhlas, kamu mau aku lakukan apa, biar kamu percaya? Aku beneran gak ada hubungan dengan Sri. Sri itu sakit lambung, makanya dia pucat. Mama dan papaku ke Tasik sampai besok. Sri mau pulang ke kampungnya besok untuk berobat. Kamu harus percaya." Aku benar-benar memelas, tetapi Mayang sepertinya masih sangat marah.
Begitu tiba di rumah mama Nindi, Mayang langsung masuk kamar. Untung saja orang rumah sudah pada tidur semua, sehingga tidak ada yang menginterogasiku. Mayang langsung masuk kamar mandi. Ia menangis, tetapi kali ini tangisnya cukup keras.
"Aku benci kamu, Mas! Aku gak percaya kamu begitu perhatian sama Sri! Bisa-bisanya aku mengkhawatirkan lelaki yang sama sekali gak inget kalau punya istri! Aku benci kamu, Mas! Aku capek! Terserah kamu aja!"
"Sayang, kamu bicara apa, sih? Beneran aku gak ada apa-apa dengan Sri. Coba saja tanya mamaku, Robi, papa, dan sodara lainnya. Mereka pasti jawab aku gak ada apa-apa dengan Sri. Aku cuma----"
"Kamu terlalu fokus pada Sri. Apa ini yang bikin kamu gak bisa tidur semalam, hah? Kamu mikirin Sri yang sakit?" jika aku terus saja menjawab atau membalas kalimat Mayang, maka sampai pagi akan terus seperti ini.
"Aku udah jujur, terserah kamu mau percaya atau tidak!" Kali ini aku yang kesal. Aku pun naik ke ranjang dan memilih tidur. Mayang, jika sedang marah, gak akan bisa dibujuk. Itu sudah sejak jaman kami pacaran masa sekolah. Ia akan mereda sendiri setelah pikirannya tenang.
Ah, sial! Aku baru menyadari kalau ponselku tertinggal di kamar. Besok aku harus ke sana untuk mengambilnya.
Keesokan paginya, aku terbangun saat azan subuh berkumandang. Mayang masih tidur dengan lelap, tetapi ia memunggungiku. Ia masih marah, aku tahu itu. Pelan-pelan aku mengecup pipinya. Merapikan anak rambut yang berserakan di keningnya yang mulus. AC kamar suhu normal, tetapi kenapa Mayang malah berkeringat? Sekali lagi aku menciyum pipi Mayang, setelah itu, barulah aku mandi.
"Kamu dari mana semalam David? Mayang sampai marah banget HP kamu gak aktif?" tanya mama Nindi saat kami sedang menikmati sarapan. Aku melirik Mayang, istriku masih cemberut, tetapi sudah lebih tenang. Mungkin karena ia akan pergi ke Gorontalo nanti sore.
"Saya ke rumah mama, Ma. Ada flashdisk yang ketinggalan."
"Emang harus ngambil sendiri? Gak bisa pakai ojek online aja?" tanya mama mertuaku lagi.
"Gak bisa, Ma, yang tahu tempat menyimpannya itu saya." Aku berusaha tetap tenang dan tersenyum.
"Terus kenapa HP kamu gak aktif? Sengaja?" aku kembali tersenyum. Jujur aku sedikit shok dengan ucapan mama Nindi. Ternyata mertuaku bisa ketus juga.
"Ma-ti total, Ma. Terus saya charger dan saya malah ketiduran. Kalau gak dibangunkan Sri, mungkin----"
Prang!
Mayang membanting sendok. Ia berdiri dengan marah. Ya, ya, kali ini aku teledor karena menyebutkan nama Sri, padahal maksudku hanya bercerita saja.
"Ceraikan aku atau kamu pecat si Sri itu!"
"Hah, apa?!"
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Setelah Menonton Video
RomanceDewasa (21+) Setelah Melihat Video Dewasa, ART-ku yang jadi pelampiasan. Padahal minggu depan aku mau menikah.