3. Bicara pada Sri?

1.1K 17 1
                                    

"Sayang, bangun." Suara lembut Mayang membuatku membuka mata. Pandangan ini masih samar, tapi aku masih dapat melihat sosok Mayang yang sekarang duduk di dekatku sambil menggenggam tangan ini.

"Akhirnya kamu sadar juga, Sayang. Tensi kamu rendah sekali. Pantas saja pingsan."

"Bisa-bisa pengantin lelaki pingsan. Dasar manja! Mentang-mentang punya istri dokter," ledek mamaku. Aku pun memaksakan senyum.

"Belom malam pertama udah KO!"

"Kudu minum suplemen ini, mah!"

"Jangan, nanti malah sakit yang lain. Serahkan sama istrinya saja." Semua keluarga yang ada di dalam ruangan meledekku. Entah apa saja celotehan mereka, aku hanya bisa tersenyum tipis saja. Mereka tidak tahu bahwa saat ini aku sedang tidak baik-baik saja.

"Maaf ya, Sayang, karena aku, kita cancel penerbangan." Aku menyentuh tangan Mayang yang sangat cantik dengan hiasan hena berwarna putih. Wanita itu mengangguk sambil tersenyum.

"Kamu pulih dulu, baru kita honeymoon. Meski jatah honeymoon gak bisa lama, Yank. Aku ada pelatihan ke Gorontalo dia minggu."

Semakin tidak enak hati ini pada Mayang, tetapi mau bagaimana lagi. Tubuhku benar-benar lemas.

Selama dalam masa perawatan, aku sama sekali tidak mendengar keluargaku berbicara tentang Mbak Sri. Robi yang semalam menjengukku pun biasa saja. Semoga Mbak Sri bukan hamil dan semoga dia sehat kembali.

Hari ini aku sudah diperbolehkan pulang ke rumah, setelah dua hari dirawat. Rasanya lega sekali karena di rumah sakit meski di kamar VIP, tetap saja tidurku tak nyenyak. Lebih nyaman kasur sendiri.

"Sayang, ayo." Mayang menghampiriku bersama perawat lelaki yang mendorong kursi roda.

"Aku bisa jalan, Sayang. Masa pake kursi roda? Aku belum jompo, Sayang." Mayang tertawa. Lalu memberikan kode pada perawat untuk membawa keluar kembali kursi roda itu.

"Pulang ke rumah mama ya," kataku saat kami sudah berada di dalam lift.

"Loh, bukannya ke rumah mamaku, Mas?"

"Aku tiba-tiba pengen tidur di kasurku he he he... semalam doang, setelah itu baru ke rumah mama Nindi." Mama Nindi adalah nama ibu mertuaku yang berprofesi sebagai dosen senior di Universitas Negeri terkemuka di Jakarta.

"Ya sudah, oke." Mayang mengalah. Aku meminta maaf dalam hati atas alasan yang aku utarakan. Bukan karena aku ingin tidur di kasurku, tetapi aku harus memastikan keadaan Mbak Sri. Paling tidak, aku harus tahu bahwa ia tidak hamil. Bisa kacau kalau pembantuku itu sampai hamil. Duh, kenapa aku baru tahu kalau dia janda ditinggal meninggal? Sungguh aku benar-benar bajing4n!

Begitu sampai di rumah, aku disambut mama dan Mbak Sri. Mama begitu senang kami memutuskan menginap di rumahnya. Sri membantu menurunkan tas dari dalam mobil istriku. ART-ku itu sama sekali tidak menoleh kearahku. Ia hanya sedikit tersenyum pada Mayang.

"Sri, langsung tata meja makan. Pengantin pasti lapar ini," titah mamaku.

"Baik, Bu." Sri mengangguk. Ia menaruh tas pakaian ke dalam kamarku, setelah itu berlalu begitu saja masih sambil menunduk. Satu hal yang aku syukuri, Sri sudah sembuh.

"Mas mau makan di kamar atau di ruang makan?" tanya Mayang.

"Di ruang makan aja." Mayang mengangguk. Kami berdua pun berjalan menuju ruang makan. Aneka hidangan sudah ada di atas meja. Baru matang dan terlihat begitu menggoda selera. Ada semur daging kesukaanku dan juga sayur acar kuning, wortel dan timun. Ada jus buah original tanpa gula yang pastinya untuk Mayang. Sri hapal betul karena Mayang sering datang berkunjung ke sini dan Sri yang buatkan minumnya.

"Makanannya spesial banget ini untuk pengantin baru," kata mamaku.

"Makasih, Ma. Banyak banget gini. Tahu aja kalau putranya pengantin baru belum unboxing. Masih perjak4 ting ting loh, Ma," sambung Mayang sambil tertawa.

"Waduh, masa anak Mama ting ting?" mamaku tidak percaya.

"Iya, Ma, Mayang paling tahu siapa mas David, Ma. Siapa temennya dan bagaimana lingkungan kerjanya. InsyaAllah semua menjamin bahwa anak lelaki Mama ini masih ting ting he he he... " aku menatap pada Sri yang baru saja menaruh semangkuk sop di atas meja. Ia pun tidak sengaja melihat ke arah ku juga, tetapi sekian detik itu juga, ia memutuskan pandangan.

Kami makan dengan ruang karena Mayang senang bercerita. Mayang menciptakan suasana hangat di ruang makan, membuatku merasa senang sekaligus merasa bersalah padanya.

Selesai makan, Mayang masuk ke kamar karena ada telepon penting, begitu juga mama yang memilih masuk ke kamar untuk tidur siang. Tinggal aku di meja makan dan Sri yang akan merapikan meja.

"Mbak Sri b-baik-baik saja?" tanyaku gugup. Ia hanya mengangguk.

"Maaf s-saya gak tahu kalau Mbak t-tidak ada s-suami. Itu saya.... "

"Udah terjadi, lupakan saja, Mas."

"Yang kemarin sakit, Mbak Sri b-bukan hamil'kan?" tanyaku lagi sambil menelan ludah.

"Siapa yang hamil, Sayang?" aku sontak berbalik karena tiba-tiba Mayang ada di belakangku.

Bersambung

Setelah Menonton Video Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang