11. Pertama Kalinya

202 7 1
                                    

Air mata permohonan yang turun dengan deras tidak menyurutkan gerakan mas David. Lelaki itu terus melakukan apa yang diinginkan h4sratnya. Aku berteriak berhenti, tetapi mas David tetap meneruskannya. Tu6uhku yang memang sudah kelelahan, tidak bisa lagi melaw4n dengan tenaga ekstra. Aku benar-benar lemas dan merasa kesakit4n.

"Luar biasa rasanya," gumam lelaki itu.

"Mas, sudah, s-sakit." Aku tidak tahu apa yang terjadi, setelah setengah jam, akhirnya mas David berhenti setelah gerakan bola mata li4rnya perlahan meredup. Lelaki itu menjatuhkan diri ke samping dengan tubuh berpeluh, sedangkan aku sudah tidak tahu lagi apa yang terjadi selanjutnya.

Aku terbangun saat merasakan beban berat pada p3rut. Perlahan aku membuka mata dan melihat tangan kiri mas David ada di atas p3rutku. Aku menggeser tangan itu dengan hati-hati agar ia tidak terbangun. Namun, harapanku musn4h, karena saat itu, mas David bangun dan menatap ke arahku dengan tatapan bingung.

"Sri, k-kamu --- ini tadi kita --- saya ----" aku menyibak selimut putih tebal itu. Sekuat tenaga aku menahan tangis karena rasa perih yang luar biasa sedang aku rasakan.

"Mbak gak papa? Saya minta maaf, ini j-jangan sampai mama dan papa tahu. Apalagi Mayang. Saya minta maaf karena hal ini harus terjadi, tapi ---- Mbak Sri, i-ini sudah terjadi dan tidak bisa dikembalikan lagi. Maafkan saya ya. Oh, iya, ini ada sedikit untuk Mbak Sri kirim ke kampung." Lelakiku itu merogoh tas ranselnya, lalu mengeluarkan banyak uwang merah dan biru, kemudian ia berikan padaku. Memangnya aku wanita malam? Tentu saja aku mengabaikan uwang itu dan berjalan susah payah untuk memunguti pakaian yang berserakan di pantai kamar. Aku memakainya dengan asal, lalu aku pergi begitu saja dari kamar mas David yang tadi terkunci.

Aku menangis sesegukan di kamar mandi. Harta yang aku pertahankan sejak lama, kini harus direnggut oleh anak majikanku. Apa yang sekarang harus aku lakukan? Bagaimana jika aku sampai hamil? Aku tidak punya suami dan... membayangkan hal buruk yang terjadi di kemudian hari, membuatku sesak napas. Aku sudah memutuskan untuk segera pergi dari rumah bu Mona. Aku harus kembali ke kampung sesegera mungkin.

Waktu berlalu, hari pernikahan mas David pun tiba. Sejak kejadian waktu itu, aku selalu menghindari mas David. Ia sesekali seperti ingin bicara padaku, tetapi aku abaikan. Aku juga pernah mendapati dirinya sedang memperhatikanku. Untuk apa? Semua sudah terjadi dan majikanku itu tetap harus menikah dengan pujaan hatinya. Yang terjadi di antara kami, anggap saja sebuah kesalahan yang amat fatal bagiku, tetapi sepertinya bagi mas David, sebuah petualangan baru.

"Mbak, masih gak enak badan?" tanya Robi yang berkunjung ke kamarku. Anak muda itu berdiri di depan pintu sambil membawakan segelas teh.

"Udah enakan. Ini udah keringetan. Orang lagi sibuk semua di depan, masa saya rebahan terus dari semalam."

"Gak papa, Mbak. Ini, minum lagi tehnya. Kata mama, Mbak Sri harus sehat dulu. Di luar udah banyak yang bantu-bantu." Aku tiba-tiba merasa mual kembali.

Uek!

Robi menggelengkan kepalanya.

"Mbak Sri itu sakit serius. Nanti biar aku anter ke rumah sakit saja setelah acara akad mas David selesai ya," katanya penuh simpati. Robi memang cukup dekat denganku karena ia anak bontot yang manja. Sering ia bilang, bicara denganku, seperti ia sedang bicara dengan kakak. Ia ingin punya kakak perempuan katanya.

"Saya gak papa, Mas Robi. Ini cuma masuk angin, jadinya kena maag. Maaf saya malah merepotkan di acara yang lagi sibuk begini." Aku menerima teh pemberian Robi, lalu meneguknya perlahan.

"Robi, ayo, berangkat!" Suara bu Mona menangis Robi, anak muda itu pun bergegas meninggalkanku. Kini, keadaan rumah sudah lebih lengang. Acara pernikahan yang dilangsungkan di Taman Mini seharusnya bisa aku ikut hadiri, kini hanya bisa menjadi ratapan karena sebuah kesalahan fatal.

Semakin aku pikirkan semakin aku ingin muntah. Hingga dua jam kemudian, Robi datang lagi dan membawaku ke rumah sakit. Singkat cerita, aku pamit resign karena aku ingin menyembuhkan sakitku. Untunglah bu Mona menyetujui, bahkan beliau memberikan uwang padaku untuk berobat. Beliau juga sempat minta maaf karena sudah curiga padaku karena mengira aku hamil tanpa suami karena terus saja mual dan muntah.

Aku terpaksa bungkam karena aku tidak mau merusak rumah tangga orang lain. Bu Mona pasti akan marah besar padaku dan bisa saja menurutku sengaja untuk merusak kebahagiaan putranya. Meskipun aku tahu, bu Mona tidak sejahat itu, tetapi aku tidak yakin dengan dokter Mayang. Dokter itu begitu overprotective pada suaminya dan sering melirikku dengan ekspresi tidak suka. Ia cemburu.

Aku pulang dengan membawa perasaan dan masa depan yang hancur.

"Kamu kenapa, Nduk? Sakit apa sih, dari kemarin gak bisa bangun?" tanya ibuku.

"Kemarin Ibu ke ATM, mau ambil uwang untuk bayar tukang yang masang ubin kamar mandi, terus Ibu kaget, kenapa di rekening kamu, uwangnya banyak sekali?" aku mengerutkan kening. Pasti mas David yang mentransfer.

"Oh, itu simpanan Sri, Bu. Sama gaji Sri yang bulan lalu sempat ditahan bu Mona. Bukan ditahan, tapi bu Mona lupa kasih," jelasku terpaksa berboh0ng. Ibu manggut-manggut, tetapi alisnya mengerut dalam.

"Beneran itu?" Ibu jelas tidak memercayaiku.

"Iya, Bu, tanya saja bu Mona. Udah ya, Bu, Sri mau tidur dulu." Aku pun langsung berbaring di kasur kapuk yang ada di kamarku. Meski lebih empuk kasur di rumah bu Mona, tetap saja lebih nyaman, kasur sendiri.

Langit malam pun menyapa, aku keluar dari kamar karena ingin makan. Tu6uh ini sudah lebih segar setelah tidur sejak jam dua siang.

"Udah enakan?" tanya ibu sambil menyibak tirai ruang tengah.

"Udah, Bu."

"Ibu minta tolong, anterin kue ke rumah Nek Liyah."

"Oh, iya, Bu. Sri makan dulu." Aku pun makan dengan cepat. Setelah itu, aku pergi membawa rantang tiga tingkat ke rumah Nek Liyah. Bisa jalan kaki saja karena rumah Nek Liyah tidak begitu jauh. Nek Liyah terkenal sebagai warga paling dituakan di kampungku. Beliau sering membantu persalinan tetangga atau mengurut keseleo. Semua itu ia lakukan tampan minta bay4ran.

Tok! Tok!

"Nek Liyah!"

"Ya, masuk." Aku pun membuka perlahan pintu rumah Nek Liyah yang sudah mulai lapuk dimakan rayap.

"Nek, ini Sri." Aku menghampiri nek Liyah yang sedang duduk di atas kursi plastik, sambil makan sirih. Nek Liyah memperhatikanku dari kepala sampai ujung kaki.

"Sri anaknya Asih?" Asih adalah panggilan ibuku di kampung.

"Iya, Nek. Ini Sri anaknya Widiasih." Aku menciyum punggung tangan nek Liyah.

"Kamu gak papa?" tanya Nek Liyah.

"Emangnya kenapa, Nek?" aku menelan ludah. Tatapan nek Liyah membuatku tidak nyaman. Tangan tua keriput itu menyentuh pipiku dengan perlahan. Nek Liyah tiba-tiba bahkan mengangkat baju kausku. Telapak tangannya berada di atas perutku.

"Kenapa, Nek?" tanyaku heran.

"Kamu dirusak siapa?" aku terbelalak begitu mendengar pertanyaan nek Liyah.

"M-maksudnya, Nek?"

"Kamu sudah tidak peraw4n. Kamu dirusak dan siapa lelaki itu? Apakah majikan kamu?"

"Sri, apa-apaan ini? Nek Liyah bilang apa tadi? Kamu sudah tidak peraw4n? " belum lagi reda rasa terkejut dengan pertanyaan nek Liyah, kini tiba-tiba saja ibuku sudah berada tepat di belakangku.

Bersambung

Setelah Menonton Video Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang