Aku menekan kenop pintu kamar Robi. Adikku yang berusia dua puluh tahun itu sedang duduk bersandar di kepala ranjang. Ia tersenyum di depan ponsel, lalu ia menoleh ke arahku sebentar.
"Kenapa, Mas?" tanya Robi. Aku melangkah masuk dan ikut duduk di ranjang ukuran single miliknya.
"Kamu kenapa?"
"Gak papa. Pasti Mas David ada di tim mama ya?" aku tertawa pelan.
"Gak ada di tim siapa-siapa. Emangnya mama kenapa? Soalnya tadi mama gak cerita. Mama suruh aku tanya langsung sama kamu."
"Robi kehilangan banget mbak Sri, Mas. Robi rasa, Robi naksir mbak Sri. Emangnya gak boleh?" aku menghela napas. Otak Robi sepertinya sedang tidak baik-baik saja.
"Ini Robi lagi wa-an sama mbak Sri. Nanya kabarnya dan tanya kapan bisa kembali kerja."
"Katanya apa?" aku mendadak kepo.
"Katanya gak tahu. Nunggu bener-bener sehat dulu. Hari Minggu nanti, Robi mau ke sana."
"Mau apa? Jangan!" Robi mengernyit.
"Kenapa jangan?"
"Namanya orang lagi sakit, butuh istirahat. Kamu gak usah ke sana. Nanti saja kalau Sri bilang udah enakan. Jangan ganggu dulu. Lagian kamu ini, segitu banyak cewek cantik di kampus, masa gak ada yang kamu taksir? Masa sama pembantu, sih?"
"Pembantu hanya identitas, Mas, aslinya kan sama-sama manusia dan makan nasi. Apalagi nyari perempuan sederhana kayak mbak Sri itu, susah. Pernah saya ajak makan baso, mbak Sri malah ---"
"Kamu pernah makan diluar sama Sri? Sri itu kan ada cowoknya. Kamu gak tahu ya? Udahlah, Robi. Kamu fokus kuliah aja. Kalau jodoh gak akan ke mana. Gak usah manyun. Ya sudah, Mas balik dulu ya. Inget, jangan nekat ke kampung Sri, nanti pacarnya Sri marah!" Aku langsung keluar dari kamar Robi. Rasanya sungguh tidak nyaman mendengar Robi menyukai Sri. Masalahnya aku sudah pernah tidur dengannya dan aku gak mungkin membiarkan Robi dekat dengan Sri. Mustahil!
"Kamu tumben ke rumah Mama, malam gini? Ada perlu?" mama menghampiriku yang saat ini tengah duduk di sofa ruang tengah.
"Iya, Ma, gini, tapi Mama jangan ceritakan ini pada Robi, apalagi Mayang." Mama menelisik wajahku.
"Ada hal penting apa rupanya? Kamu bikin Mama deg-degan aja." Aku menarik napas panjang.
"Robi kirim uang untuk Sri, Ma. Katanya kan dia perlu untuk berobat. Tapi tiga kali bayar. Nah, Mayang tahu nih, karena notifikasi M-banking masuk ke nomor Mayang. Robi bilang, itu uang dari mama untuk biaya berobat Sri. Begitu, Ma. Jadi kalau ----"
"Mama kamu suruh bohong?" aku mengangguk sambil menggaruk rambut yang tidak gatal.
"Ada apa dengan dua anak lelakiku? Yang satu tiba-tiba ingin melamar, yang satunya tiba-tiba minjemin duit. Kamu beneran minjemin Sri duit?" aku mengangguk.
"Sri bilang, jangan tahu Mama karena gak enak. Dia akan tiga kali mencicil. Gitu, Ma. Bantu David ya, Ma!" wajah mama masih terlihat bingung, tetapi akhirnya mama mengangguk juga. Aku pun bisa bernapas lega.
Jam sembilan malam aku sudah sampai di rumah mertuaku. Hanya ada papa yang tengah bercakap-cakap dengan tamu di teras, saat aku tiba di rumah.
"Assalamualaikum, Pa," sapaku sambil mencium punggung tangannya. Sekaligus aku menyalami tamu dari papa.
"Wa'alaykumussalam. Lembur, Vid?"
"Sedikit, Pa. Tadi mampir ngopi sama temen kantor. Mari, Pa, saya masuk dulu." Aku pun berjalan masuk menuju kamar. Aku mandi dan berganti pakaian. Aku mencoba menghubungi Mayang, tetapi ponselnya tidak aktif. Riwayat online terakhir pada jam dua tadi siang. Apakah istriku itu benar-benar sibuk sampai tidak bisa diganggu? Ini sudah jam sepuluh kurang lima belas menit, tetapi ia tetap tidak bisa dihubungi.
Tanpa sengaja, aku melihat kontak Sri yang sedang online. Begitu juga Robi. Apa mereka sedang chat? Apa jangan-jangan Sri juga menyukai Robi? Jelas tidak mungkin karena Robi masih kecil. Usianya beda jauh dengan Sri. Aku dan Sri saja, masih lebih tua Sri, dua tahun.
Sri, kamu udah sehat?
SendPesanku langsung ceklis biru. Aku menunggu dibalas olehnya, tetapi pesanku hanya dibaca saja.
Sri, kamu udah sehat? Chat aku dibaca doang. Kenapa gak dibalas?
SendLagi-lagi hanya ceklis biru, tetapi tidak ada balasan.
Orang kalau nanya itu, dijawab.
SendSial! Kontakku malah ia blokir.
Aku akhirnya memutuskan tidur saja. Mungkin besok pagi, Mayang akan kembali meneleponku seperti tadi pagi.
Aku terbangun jam enam pagi dan mata ini langsung mencari panggilan dari Mayang, tetapi sepi. Pesanku pun masih ceklis satu saja. Aku memutuskan mandi dan bersiap ke kantor.
"Pagi, Ma, Pa." Aku menyapa kedua mertuaku.
"Pagi, David. Tidurnya nyenyak?" ibu mertua tersenyum.
"Lumayan, Ma, meskipun tidurnya sambil nahan rindu. Oh, iya, Ma, Pa, barangkali ada telepon dari Mayang. Soalnya sejak kemarin HP-nya gak aktif. WA juga hanya ceklis satu aja."
"Mayang sempet WA Mama kemarin pagi jam sepuluh. Sinyal di sana susah karena Mayang ada kerjaan ke pedalaman. Gak ada sinyal."
"Oh, alah, pantesan, Ma. David udah cemas aja. Mudah-mudahan urusannya lancar dan ceper pulang ke rumah."
"Aamiin." Kedua mertuaku mengaminkan. Selesai makan, aku langsung pamit pergi ke kantor. Seperti hari kemarin, Heru masih saja masam dan tidak bersemangat kerja. Ia bilang, kepalanya juga sakit. Mungkin karena urusan wanita malam itu. Beruntung sekali aku, karena Sri tidak minta aku nikahi.
Pembantuku itu sadar bahwa hal itu jelas tidak mungkin bagi kami. Lagian itu hanya sebuah kesalahan satu siang saja dan aku sudah transfer uang tiga puluh juta untuk Sri. Aku rasa kami impas. Sri juga langsung berhenti bekerja karena mungkin tidak enak hati denganku dan juga Mayang.
"Udah, jangan terlalu dipikirkan. Lo tetap harus menjalani hidup Lo, Her. Lagian mungkin emang jodoh lu, cewek itu. Mau gimana lagi? Untung itu cewek datang, sebelum lu nikah, coba kalau sesudah lu nikah, pasti akan lain urusannya. Anggap aja ini emang bagian dari ujian Lo."
"Ya, emang salah gue juga, Vid. Ternyata gak semua yang enak itu bahagia. Buktinya gue blangsak." Aku hanya bisa menepuk pundaknya memberikan semangat. Dibalik kesulitan masalahku, ternyata ada masalah orang lain yang lebih rumit dan menyedihkan.
Kring! Kring
Aku berharap dering ini adalah panggilan dari Mayang, tetapi malah nama mamaku yang muncul di layar.
Apa masalah Robi lagi? Apa jangan-jangan adikku itu kabur ke kampung Sri? Jika tebakanku benar, maka Robi benar-benar harus gue jitak!
"Halo, Ma, assalamualaikum."
"David, Mama minta kamu segera pulang ke rumah Mama ya. Ada tamu penting dan kamu harus ketemu." Aku mengernyit. Tamu siapa?
"Siapa, Ma? Temen arisan Mama? Gak kenal, ah!"
"Bukan temen arisan, tapi ibunya Sri."
"Hah, apa? I-ibunya mbak Sri?"
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Setelah Menonton Video
RomanceDewasa (21+) Setelah Melihat Video Dewasa, ART-ku yang jadi pelampiasan. Padahal minggu depan aku mau menikah.