12. Apa Lagi Ini?

181 8 0
                                    

PoV David

Aku sudah sampai di rumah jam tujuh malam. Mama dan papa mertuaku sedang tidak ada di rumah. Hanya ada bibik dan juga Meta; adik iparku yang masih SMA, tapi remaja itu pun sudah berada di kamarnya.

Aku makan sendirian di ruang makan sambil terus memikirkan jawaban apa yang akan aku berikan untuk istriku, perihal uwang yang aku transfer.

Kring! Kring

Nomor Sri memanggil. Langsung saja aku mengangkatnya karena aku memang perlu bicara dengan Sri.

"Halo, Sri."

"Halo, Mas David kirim uang lagi? Untuk apa? Saya udah bilang gak usah kirim saya uang. "

"Iya, i-itu honor. Eh, bukan, itu pesangon yang diberikan mama untuk kamu. Kata mama buat nambahin biaya berobat."

"Oh, gitu, jadi uangnya dari Bu Eva ya."

"Iya, kamu GR sekali saya kirim uang terus! Oh, iya, nanti kalau Mayang telepon kamu, bilang uangnya dari mama untuk kamu berobat. Paham'kan? Istriku soalnya cemburu sama kamu."

"Oh, iya, Mas, makasih. Sampaikan salam saya untuk ibu."

"Iya, oke, kamu udah sehat? Halo, halo!" sambungan sudah diputuskan oleh Sri.

Makanan sudah habis, tapi Mayang belum juga menelepon.

Sayang
Send

Pesan yang aku kirimkan hanya ceklis satu saja. Ponsel istriku belum aktif lagi. Aku menguap berkali-kali karena mengantuk dan akhirnya aku pun tertidur menunggu telepon dari Mayang.

Dering ponsel membuatku tersentak. Langsung aku menyambar benda pipihku yang layarnya saat ini berkelap-kelip. Istriku Sayang

Ternyata Mayang yang menelepon.

"Halo, Sayang."

"Halo, kamu baru bangun, Mas?"

"Iya, aku ketiduran nungguin kamu nelepon. Udah beres kerjaannya?"

"Udah sejak semalam selesai. Ini sudah jam tujuh pagi. Aku mau lanjut jam sembilan. Sekarang coba jelaskan soal lima belas juta yang kamu kirimkan pada ibunya Sri?" aku menelan ludah. Semoga intonasiku saat menjelaskan tidak dicurigainya.

"Oh, itu, begini, Sayang. Itu pesangon yang diberikan mama untuk Sri, sebagai tambahan biaya berobat Sri karena Sri harus diperiksa lebih intensif."

"Baik, nanti aku akan telepon mama untuk memastikan."

"Kamu gak percaya aku?"

"Ya, aku gak percaya pada suami yang mengirimkan uang dalam jumlah besar untuk pembantunya. Aku mau siap-siap, Mas. Udah dulu ya." Aku tahu bahwa Mayang marah. Mungkin, jika ia tidak sedang ada urusan pekerjaan di Gorontalo, pasti kami sudah bertengkar hebat. Tugasku sekarang adalah memberitahu mama dan minta bantuan pada mama agar mau bekerja sama padaku.

"Ma, hari ini saya pulang terlambat ya," kataku pada mama Nindi saat aku menciyum punggung tangannya. Aku tidak berselera sarapan di rumah mertua karena masalah yang saat ini aku hadapi.

"Mau ke mana?" tanya beliau.

"Mau mampir ke mama. Gak lama, sebentar saja."

"Oh, gitu, emang udah jadwalnya mampir?" aku tersenyum canggung.

"Jadwal apa maksudnya ya, Ma?"

"Jadwal jenguk mama kamu. Kata Mayang, kamu baru boleh ke sana jika bersama Mayang."

"Ya, masa mau jenguk orang tua, harus dijadwal, Ma. Lagian saya hanya sebentar. Sebelum jam sembilan saya sudah di rumah. Oke, Ma. Saya pamit ya." Aku pun bergegas keluar dari rumah.

Meja Heru masih kosong saat aku tiba di kantor. Biasanya aku yang terlambat, kali ini Heru. Apa yang terjadi dengannya? Jam sembilan lebih lima belas menit, Heru akhirnya tiba di ruangan. Aku menatap wajah sendunya.

"Tumben lu telat?" tanyaku. Heru tidak menyahut, ia mengeluarkan laptop dari dalam ransel dengan wajah kusut. Apa ia putus? Aku menggeser kursi agar bisa berbisik padanya.

"Lu kenapa? Ada masalah?"

"Iya, Vid."

"Tasya membatalkan tunangan kami." Heru menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Aku terdiam karena terkejut.

"T-tapi kenapa? Bukannya kalian udah cetak undangan?"

"Wanita malam yang tidur dengan gue, datang ke rumah gue semalam dan semalam ada Tasya dan kedua orang tuanya."

"Apa?!" aku tidak bisa berkata-kata lagi. Nasib Heru lebih apes dari nasibku. Jika aku masih bisa menikah dengan pujaan hatiku, tetapi Heru, malah gagal menikah.

"Mau apa cewek itu datang?" tanyaku masih dengan suara berbisik.

"Mau minta pertanggungjawaban." Aku kembali menelan ludah.

"Bukannya udah dibayar? Wanita malam kenapa minta tanggung jawab?" aku masih belum mengerti dengan masalah yang tengah dialami Heru.  Namun, Heru tidak mau cerita apapun lagi. Ia hanya diam, tetapi wajahnya mengeras. Aku yakin ia tengah menguasai emosi dan rasa kecewa. Apa akhirnya Heru akan menikahi wanita malam itu? Waduh, bisa gawat kalau hal itu terjadi juga padaku? Bagaimana kalau tiba-tiba Sri datang dan meminta pertanggung jawaban? Bisa-bisa rumah tangga ku berantakan.

Jam makan siang pun dilewati oleh Heru. Aku akhirnya berinisiatif untuk membelikan satu porsi somay di kantin, lalu aku berikan pada Heru.

"Makan dulu," kataku sambil menepuk punggungnya. Heru menoleh sekilas, lalu berusaha tersenyum.

"Makasih, Vid."

"Sama-sama." Aku pun duduk dan membuka bungkusan mi ayam. Ya, aku membeli mi ayam untuk makan siang.

"Semalam gue nikah siri dengan gadis itu. Lebih tepatnya dipaksa nikahi."

"Apa!?"

***
Berkali-kali aku menggelengkan kepala. Mulutku komat-kamit berdoa sepanjang jalan, berharap kesialan Heru tidak menular padaku. Apa yang terjadi pada kami sebenarnya hampir sama, tapi --- semakin dipikirkan, kepalaku semakin berat.

Aku tiba di rumah mama jam enam kurang lima belas menit. Azan magrib belum berkumandang, baru suara sholawat Nabi saja yang diperdengarkan lewat pengeras suara masjid.

"Assalamu'alaikum, Ma." Aku membuka pintu. Rumah sepi, Robi tidak terlihat. Begitu juga pembantu baru. Apa mama belum dapat pembantu baru?

"Ma!" Aku mengetuk pintu kamar mama dua kali.

"Wa'alaykumussalam." Mama membuka pintu kamar dengan memakai mukena. Tidak lama, Robi pun keluar dari sana dengan wajah masam. Adikku melewatiku begitu saja, tanpa menyapa. Aneh sekali, pikirku.

"Kenapa Robi, Ma?" tanyaku. Mama menghela napas.

"Punya permintaan aneh." Mama menutup pintu kamarnya. Lalu mama berjalan menuju sofa ruang tengah. Aku pun mengebor mama sampai ke ruang tengah. Aku melonggarkan dasi, lalu membuk4 dua kancing kemeja abu-abu yang aku pakai.

"Kenapa lagi anak itu? Kesel karena belum ada pembantu?" tanyaku lagi. Mama masih diam saja.

"Udah Mama telepon yayasannya?" tanyaku. Mama mengangguk.

"Belum ada yang sesuai kriteria Mama. Nyari pembantu sekarang susah. Apalagi yang tahu kerja dan baik seperti Sri. Sayang sekali Sri sakit-sakitan beberapa minggu ini. Padahal sebelumnya gak pernah sakit."

"Iya, Ma."

"Itu tadi, adik kamu, si Robi barusan minta Mama melamar Sri untuknya?"

"Hah, apa?! R-robi, m-minta Mama----" aku sontak berdiri karena sangat terkejut.

"Iya, Robi cinta berat dengan Sri." Aku ternganga mendengar pernyataan mama.

Bersambung

Setelah Menonton Video Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang