Rules 1

69 18 79
                                    

"Setiap langkah menuju yang baru bisa jadi awal, atau akhir yang tak terlihat."

~Someone~

^•^
_________________________________________
_________________________________________

Airy memasukkan pakaian terakhirnya ke dalam koper coklat besar miliknya. Hari ini adalah hari terakhirnya di kost setelah setahun lebih tinggal di tempat sana.

Vira, sahabatnya menjenguk ke dalam kamar dan tersenyum sedih. “Sepertinya aku harus bersiap menghadapi kesepian setelah kepergianmu,” katanya.

Airy menyenderkan kopernya pada kaki ranjang, kemudian menoleh kearah Vira. “Kau bisa menelfon jika butuh teman bicara,” katanya sambil tersenyum. “Aku tidak akan mengabaikanmu.”

“Rasanya berbeda jika hanya mendengar suaramu saja," rengek Vira sambil menggelayut di lengan Airy. “Bisakah kau tidak pindah sekolah? Aku tak tau harus berteman dengan siapa lagi.”

Airy menggeleng dan mendorong pelan tubuh Vira yang lebih pendek darinya. “Aku tak bisa. Lagipula, banyak sekali orang yang ingin berteman denganmu. Kau saja yang menutup diri dari mereka,” katanya mengelus pundak Vira.

Vira hanya bisa tertunduk sedih. Sementara Airy beranjak ke meja rias kecil di dekat lemari pakaian. Mengagumi pantulan dirinya yang nampak cantik di dalam cermin. Rambut coklat pendek teurai di atas bahu dengan polesan makeup tipis di wajah cantiknya. Inner knit putih yang dibalut cardigan berwarna krem, loose pants dan sneakers putih di kakinya.

“Kau terlihat cantik,” puji Vira. Airy tersanjung mendengar pujian tersebut, yang mungkin adalah pujian terakhir yang didengarnya dari Vira. Karena sebentar lagi mereka tidak akan bertemu lagi, mungkin.

Airy melirik jam tangannya, kemudian bergegas meraih sebuah totebag krem di ranjang sedang sebelah tangannya menyeret koper keluar dari kamar. Vira memunggunginya hingga mereka tiba di gerbang depan kost. Sebuah taxi berwarna kuning sudah menunggu di sana.

“Aku berangkat.” Airy memeluk tubuh Vira, kemudian dibalas pelukan erat dari sahabatnya itu. “Sampai jumpa, aku akan merindukanmu. Jangan mengabaikan pesan ataupun telefon dariku, ya.”

Sopir taxi membantu memasukkan koper Airy ke dalam bagasi mobil, sementara Airy lebih dulu duduk di bangku belakang. Vira menatap heran pada penampilan sopir itu-wajah yang nampak tua, seperti pria paruh baya berumur sekitar 40-an tahun, tapi berbeda dengan style pakaiannya yang seperti anak remaja.

Orang tua zaman sekarang memang aneh.” Batinnya.

Mobil mulai bergerak dan Airy melambai pada Vira yang mulai menangis. Raut wajah bersalah muncul di wajah Airy.

Maafkan aku, Vira. Aku berbohong lagi.” batinnya sedih.

Mobil mulai meninggalkan kompleks tempat tinggalnya dan Vira sudah menghilang dari pandangan. Airy menatap jalanan kota yang agak ramai. Kendaraan berlalu lalang dan orang-orang masih memenuhi sisi jalanan. Hari yang mulai gelap sama sekali tidak menyurutkan semangat mereka untuk beraktivitas.

Airy menghela nafas gusar dan bersandar di kaca mobil. Wajah Vira muncul di benaknya dan berhasil membuatnya kembali merasa bersalah.

“Ini kebohongan terbesarku, tidak kusangka aku akan setega ini padanya," gumamnya dengan mata tertutup. Terdengar kekehan dari arah kursi pengemudi. Sang supir melirik Airy yang sudah kembali membuka matanya.

“Itu hal biasa. Terkadang kita harus bersikap seperti itu untuk mencapai tujuan kita," katanya dengan senyum tipis. Airy kemudian berpindah ke kursi depan di samping sang supir.

“Penyamaranmu kurang sempurna. Vira sepertinya curiga padamu," kata Airy sambil meraih sebuah buku kecil di dashboard mobil.

Sang supir membuka topeng wajah yang menutupi seluruh kepalanya. Menampilkan wajah seorang pemuda tampan yang tersenyum tipis.

“Aku masih pemula dalam hal ini," kata pemuda itu, membuang topeng itu ke luar mobil.

“Aqlan Rogier, itu namamu kan?” tanya Airy dengan mata yang sibuk membaca buku di tangannya. Buku itu berisi artikel dengan tulisan tangan, sepertinya itu milik Aqlan. “Keren sekali kau bisa membujukku. Kau tahu? Aku terkenal tidak bisa diajak kerjasama semudah itu.”

“Salam kenal Airy. Kurasa kau yang mempermudah semuanya, kita punya tujuan yang sama," balas Aqlan sambil sesekali melirik Airy.

Airy mengangguk di tempatnya. Netranya kembali memandang keluar. Mobil mereka kini melintasi jalan setapak besar di area hutan. Airy tak sempat memerhatikan dari mana jalan masuknya. Aqlan tak lanjut berbicara karena fokus mengemudi. Jalanan itu penuh dengan bebatuan yang cukup besar sehingga membutuhkan konsentrasi. Mobil mereka terguncang setiap kali ban menyentuh bebatuan itu.

Cukup lama perjalanan hingga akhirnya mereka tiba di depan sebuah gerbang besi yang sangat besar dan tinggi. Area sekitar sangat gelap dan diselimuti kabut. Suasananya sangat mencekam.

Airy memandang ngeri pada gerbang yang hitam dan berkarat itu. Sepertinya sudah berdiri sejak puluhan tahun lalu. Tubuhnya gemetar dengan raut cemas dan ketakutan.

“Ayo," kata Aqlan sambil keluar dari mobil. Airy menggeleng dan meringkuk di kursi mobil.

“Megalophobia?” tanya Aqlan. Airy mengangguk lemah. “Tak apa. Kau akan segera sembuh. Itulah kenapa kita ada di sini," lanjut Aqlan sambil mengulurkan tangannya pada Airy. Gadis itu meraih tangannya dan keluar dari mobil.

Aqlan menopang tubuh Airy yang masih gemetar. Airy menutup wajahnya agar tidak melihat objek besi besar itu. Aqlan menuntunnya melewati celah gerbang yang sedikit terbuka, cukup luas untuk mereka masuk.

“Kau boleh membuka matamu sekarang," pinta Aqlan saat mereka sudah menjauhi gerbang. Airy membuka matanya dan menghela nafas lega. Keduanya melanjutkan perjalanan, menyusuri jalan setapak kecil yang dikelilingi rumput liar setinggi lutut.

“Cukup mengerikan fobiamu itu. Sepertinya akan sulit menyembuhkannya," kata Aqlan. Airy hanya mengangguk. Gadis itu menggosok telapak tangannya dan meniupnya. Hawa sekitar menjadi semakin dingin. Airy agak menyesal karena tidak memakai jaket.

“Pakai jaketku saja,” kata Aqlan membuka jaketnya. Airy bergeming saat Aqlan membungkus tubuhnya dengan jaket tebal miliknya. “Terima kasih,” kata Airy, gugup.

Aqlan terkekeh melihat tingkah gadis itu. “Tinggal beberapa langkah dan kita tidak akan merasa kedinginan lagi. Ayo bergegas.”

Aqlan berjalan lebih dulu dan Airy mengikutinya dari belakang. Gadis itu nampak waspada saat melihat pepohonan tinggi yang tak jauh dari mereka. Airy memiliki fobia takut dengan objek berukuran besar, yang disebut dengan Megalophobia. Airy sudah mengalami gangguan mental itu sejak kecil.

“Apa kau yakin dengan ini, Aqlan? Kita bahkan belum tahu banyak tentang tempat itu. Bahkan tidak ada keterangan tentang para dokter yang bekerja di sana,” gumam Airy sambil mengeratkan jaket Aqlan menutupi tubuhnya.
“Kalau tentang keyakinan, untukku masih 20%. Sejujurnya aku tidak terlalu yakin dengan pengobatan, apalagi di tempat seperti ini. Tapi, filingku mengatakan hal lain. Hanya mendengar namanya saja sudah membuatku tertarik.”

“Ngomong-ngomong, apa fobiamu?”

Aqlan seketika berhenti kala mendengar pertanyaan dari Airy. Pemuda itu menghembuskan nafasnya perlahan kemudian mendongak menatap langit yang perlahan gelap.

“Balistophobia.”

“Balis..to..phobia? Aku tidak pernah mendengarnya. Fobia apa itu?”

“Seseorang yang takut dengan peluru.”

“Pe-peluru? Aku juga takut peluru.”

“Ya aku tahu. Hampir sebagian besar orang takut dengan peluru. Tapi, rasa takutku dengan peluru berbeda dengan ketakutan pada umumnya.”

“Hmm begitu ya. Tapi..tentang pengobatan ini. Aku penasaran bagaimana cara pengobatan dan terapinya. Kuharap itu tidak menimbulkan masalah.”

“Kita tidak akan tau jika tidak mencobanya. Mungkin saja justru lebih baik dari pengobatan umum.”

“Kau punya informasi tentang mereka?”

“Hanya sedikit. Itupun dibantu dengan promosinya.”

“Promosi?”

Aqlan meraih ponsel di saku celananya kemudian menyalakannya. Pemuda itu kemudian mengetik di laman pencarian, menunggu beberapa detik dan muncullah sebuah halaman yang berisi sebuah gambar bangunan tua dengan sedikit tulisan di bawahnya.

“Lihat ini,” katanya menyodorkan ponsel pada Airy. Gadis itu meraihnya dengan raut penasaran.

“Apa ini?”

“Rumah Sakit Fobia, Potty House.”

^•^
_________________________________________
_

________________________________________

Hi, guys. This is my first story in my second account. Thanks for reading, and hope you like it :)

Please, give me vote and don't forget to comment👈

Thank you so much😊😊

Time Is OverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang