"Di balik senyum ramah, kadang tersembunyi jarum yang siap menusuk tanpa suara."
~Someone~
^•^
________________________________________________________________________________________
Dalam ruangan yang sepi dan suram, seorang gadis tengah meringkuk di sudut ruangan dengan penampilan yang berantakan. Rambut yang acak-acakan dan wajah yang kusam. Tatapan kosong dan air mata yang masih mengalir tanpa adanya isak tangis.
Tok tok tok
Suara ketukan pintu sama sekali tidak mengalihkan perhatian gadis itu. Pendengarannya seakan tidak berfungsi. Seseorang membuka pintu perlahan-lahan agar tidak mengusik gadis itu.
“Airy? Syukurlah.”
Aqlan mendekati Airy dengan cepat. Raut cemas begitu nampak dari wajah pemuda itu. Aqlan mengguncang pelan bahu Airy untuk menyadarkannya.
“Hei, kau baik-baik saja?”
Tak ada jawaban selain tatapan sayu dari Airy. Aqlan seakan memahami gadis itu, kemudian lekas keluar ruangan. Aqlan kembali dengan segelas air putih dan diberikan pada Airy. Gadis itu meneguk habis air tanpa sisa.
“Terima kasih,” gumam Airy yang hampir tak terdengar.
“Bagaimana keadaannya?” tanya seseorang yang menyusul masuk ke dalam ruangan. Varren berdiri di dekat pintu dengan alis yang saling bertaut.
“Dia sudah mulai tenang. Aku akan mengantarnya ke kamar,” balas Aqlan.
“Tidak!!”
Aqlan yang hendak menggendong Airy seketika berhenti. Pemuda itu kembali berdiri dan menatap Varren dengan raut bertanya-tanya.
“Kenapa?”
“Kau juga pasien,” Varren menghela nafas dan mendekati Aqlan. “Sudah kubilang, seorang pasien tidak boleh mengunjungi kamar pasien lainnya.”
Sementara mereka berdua bicara, Airy bangun dari duduknya kemudian mengebas-ngebas celananya yang terkena debu. “Aku bisa sendiri,” katanya lirih dan beranjak keluar dari sana, meninggalkan Aqlan dan Varren yang kini saling berpandangan.
Airy keluar melalui pintu perpustakaan dan berjalan cepat di lorong yang sepi. Pikirannya sedang kalut. Airy mempercepat lantainya menuju kamarnya. Sesampainya di sana, Airy lekas masuk dan mengunci rapat pintu kamar.
Airy membersihkan wajahnya di wastafel dan bercermin di sana. Matanya masih merah akibat menangis tadi. “Sosok itu benar-benar nyata. Sial, bagaimana aku bisa sembuh jika terus seperti ini.”
~°~
“Dia pergi begitu saja?” tanya Christin. Suaranya bergema diruangan yang luas itu. Tak ada perabotan lain selain lantai kosong dan sebuah lampu yang menyinari.
“Awalnya kupikir dia pingsan, tapi saat aku masih berbicara dengan Aqlan, dia tiba-tiba bangun dan pergi begitu saja.”
“Dia pasti hanya berakting saja. Astaga, kenapa aku selalu saja mendapat pasien yang merepotkan.”
“Dia tidak mungkin berakting. Aku melihatnya saat dia sedang kambuh. Dia terlihat sangat ketakutan.”
“Lalu bagaimana sekarang, kita tidak mungkin membiarkannya seperti itu,” timpal Edrick.
“Apalagi? Tentu saja Chris harus mulai melakukan terapi. Gadis itu bisa depresi jika tidak segera ditangani,” balas Rey cepat.
“Huh, menyebalkan. Tidak bisakah aku bersantai untuk beberapa hari lagi. Aku benar-benar lelah menghadapi pasien seperti itu.”
“Jangan banyak bicara, kau bahkan tidak pernah bekerja selama ini. Dia adalah pasien pertamamu, jangan membuat kericuhan,” ucap Rey ketus.
Kekesalan menghampiri Christin saat itu. Berbicara dengan Rey adalah hal yang paling dia benci. Keduanya selalu berdebat jika disuruh berdiskusi.
“Aku akan mulai nanti malam saja.”
“Dasar pemalas.”
“Lakukan yang terbaik Chris, kasihan gadis itu,” ujar Clara berhasil mendapat tatapan geli dari Christin.
“Ayolah Clara, hilangkan rasa ibamu itu. Lagipula dia itu hanya...”
“CHRISTIN!!” semua orang serempak membentak Christin. Namun gadis itu tidak terkejut sedikitpun, justru menampilkan wajah jahil.
“Ya ya ya, maaf. Hampir saja yaa...”
“Dia pasienmu Chris, ingat itu.”
“Terserah. Baiklah aku pergi dulu.”
Christin mendekati pintu kayu ruangan itu. Sebelum keluar, gadis itu berbalik menatap teman-temannya dan tersenyum semirk. “Aku suka aktingmu Clara, Ups.”
“Ck, anak itu,” geram Rey saat Christin sudah menghilang dibalik pintu.
“Tenanglah, jangan terpancing emosi. Chris tidak mungkin berniat membocorkannya.”
“Aku tidak khawatir tentang itu. Aku takut ada yang mendengar saat dia sedang bercanda seperti tadi.”
“Tidak ada yang akan tahu, Rey. Kita masih aman untuk sekarang. Intinya jangan bertindak mencurigakan.”
“Dan juga, hati-hati dengan pemuda itu,” kata Varren membuat suasana semakin tegang.
“Maksudmu, Aqlan?”
“Ya, dia terlihat tenang, tapi pergerakannya sangat cepat. Salah satu buktinya, dia langsung muncul saat Airy kambuh.”
“Aqlan sudah mengawasinya sejak kau membawa Airy ke uks. Pemuda itu sepertinya sengaja duduk di kursi tunggu di dekat meja resepsionis. Aku melihatnya saat kami keluar dari perpustakaanmu,” kata Edrick mulai bercerita. “Dia langsung masuk ke perpustakaan saat kita sudah melewatinya. Aku kembali untuk bicara dengan Bu Merly, dan pemuda itu sudah masuk ke perpustakaan.”
“Ya, dia masuk ke perpustakaan beberapa menit setelah kalian keluar,” timpal Varren.
“Kurasa, dia hanya khawatir pada Airy.”
“Dari tatapannya? Kau yakin?” kata Varren sambil terkekeh. “Jika aku Airy, aku akan lebih peka jika itu adalah sikap yang terpaksa. Maksudku, Aqlan melakukan itu karena tujuan lain, bukan karena Airy.”
“Sial, dia sudah sedekat itu.”
“Baiklah, sekarang kita bubar. Pembahasan kita sekarang hanya sampai di sini. Kedepannya kita hanya perlu hati-hati. Aku akan terus mengawasi Aqlan.”
Rey, Edrick, dan Clara serempak mengangguk pada Varren. Mereka akhirnya keluar dari ruangan lebih dulu. Varren masih merenung di dalam ruangan sambil duduk menyender di sisi tembok. Tatapan dinginnya perlahan berubah menjadi tatapan cemas dan khawatir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Time Is Over
Mystery / ThrillerAiry hanya ingin sembuh dari trauma yang menghantui pikirannya, tetapi setiap langkah yang diambil menuju penyembuhan terasa seperti mendaki gunung yang terjal. Megalophobia-ketakutannya terhadap bangunan besar-hanya sebagian dari tantangan yang har...