"Ketika amarah mengambil alih dan akal terbenam dalam kegelapan, setiap tindakan liar hanya mengukir jalan menuju kehancuran yang tak terelakkan."
~Someone~
^•^
_______________________________________________________________________________________
Pintu perpustakaan dibuka dengan keras. Clara masuk dengan tergesa-gesa menuju Varren yang tengah membaca buku.
“Dimana Rey?”
“Dia melakukan terapi,” jawab Varren tanpa menatapnya.
“Ah sial. Aku harus bertemu dengannya segera.”
“Memangnya kenapa?”
Clara membuka selembar kertas yang digulungnya. Kertas itu diletakan di atas meja tepat di depan Varren.
Rentetan huruf yang diketik membentuk paragraph penuh dibaca dengan seksama oleh Varren. Dalam sekejap netranya terbelalak. Varren menatap Clara dengan tatapan tajam.Keduanya lekas keluar dari perpustakaan hendak menuju lantai tiga, dimana Rey tengah melakukan terapi pada pasiennya, Aqlan.
“Sial. Bagaimana mungkin kita tidak menyadari ini,” umpat Varren dengan kesal. Kacamatanya dilepas dengan kasar dan dilempar ke sembarang tempat.
“Aku baru menemukan informasinya dari salah satu rekan kita. Kita terlambat mengantisipasi kehadirannya. Ketua sepertinya juga tidak mengetahui ini.
“Apa yang harus kita lakukan sekarang?” Clara tak bisa menyembunyikan kepanikannya. Bahkan tangannya sampai gemetar.
Keduanya tiba di lantai tiga dengan cepat. Mereka sudah berdiri di depan pintu bertuliskan Ballistophobia. Tak ada suara yang terdengar dari kamar Aqlan.
“Rey pasti sudah mengaktifkan alatnya.”
“Gawat. Apa yang terjadi di sana. Kita harus segera memperingati Rey.”
Varren mengedor-gedor pintu kamar Aqlan dengan keras. Lewat beberapa menit, takaada respon dari siapapun yang ada di dalamnya. Kedua muda mudi itu semakin panik. Ada informasi penting yang harus segera diberitahukan kepada Rey.
Cklek
“REY!!” teriak Varren dan Clara bersamaan saat pintu kamar terbuka.
Sayangnya yang keluar bukanlah Rey, melainkan sosok Aqlan dengan tangan yang berlumuran darah. “Rey?”
“Di-dimana Rey?” tanya Clara panik.
“Dia sedang tidur.” Aqlan menjawabnya dengan santai.
“VARREN!!”
Ketiganya menoleh saat sebuah suara berteriak dari kamar sebelah. Pintu kama Airy terbuka dengan kasar. Seonggok tubuh yang basah kuyup dan tak berdaya di lempar keluar begitu saja.
“CHRISTIN!! APA YANG KAU LAKUKAN!!”
“MEMBUNUHNYA!!”
“HENTIKAN!!
Clara berusaha menghentikan Christin yang menggila. Tubuh Airy sudah dipenuhi banyak memar bekas pukulan. Airy benar-benar kehilangan kesadarannya.
“Christin hentikan!!”
“Pasien bodoh! Sebaiknya dia mati saja!!”
“CHRISTIN!!”
Dalam sekejap, Christin menghentikan aksi brutalnya itu. Bentakan Varren seakan merupakan peringatan keras baginya. Tangannya yang sempat mencengkeram Airy perlahan gemetar tanpa alasan.
“Berani sekali kau!” desis Varren yang sudah dipenuhi amarah.
Christin menelan salivanya gugup sementara Varren mendekat kearahnya dengan tatapan mengancam.
Clara diselubungi rasa takut, bersamaan dengan suara tamparan keras yang bergema di lorong lantai tiga.
Christin meraba pipi kananya yang memanas. Tangan seseorang baru saja menamparnya.
“Kau kelewatan.”
“Varren, aku..”
“Jangan panggil aku Varren. Aku atasanmu!”
“Ma-maafkan aku.”
“You’re fired!”
~°~
“KELUARKAN AKU!!”
Chamila berusaha sekuat tenaga membuka pintu kamarnya yang terkunci. Sementara Beth yang berdiri di belakangnya tersenyum semirk.
“Berusahalah sekuat tenagamu, pasien. Tidak akan ada yang mendengarmu.”
“BUKA PINTUNYA!!” pekik Chamila.
Gadis itu dipenuhi dengan ketakutan. Kejadian beberapa saat lalu telah membuat traumanya kembali muncul. Chamila berusaha untuk tidak menangis. Bersikap lemah dihadapan iblis hanya akan membuat mereka senang.
“SIAPAPUN TOLONG AKU!!”
Suara gedoran pintu terdengar sangat keras dari dalam. Sayangnya, tak ada siapapun yang mendengar dari luar. Beth sudah menyalakan alat pengedap suara. Tak ada yang bisa mendengar keributan mereka.
“Sudahlah pasien. Kau tidak akan berhasil.” Beth mendekati Chamila yang tengah memberontak. Dan mengelus punggungnya dengan santai.
“Menjauh dariku, iblis.”
“Iblis? Aku spesialismu.”
“Kau Iblis!!"
“Ya terima kasih. Aku memang sudah terbiasa mendengar itu.”
Pernyataan itu membuat Chamila kalang kabut. ‘Sudah terbiasa’ itu artinya banyak pasien lain yang menjadi korban Beth sebelumnya. Chamila menangisi nasibnya dalam hati. Seandainya saja dia menyadari semuanya dari awal, dia bisa pergi dari sini dua hari sebelum terapi dimulai.
“LEPASKAN AKU IBLIS SIALAN!!”
“Tidurlah, pasien.”
Bugh Bugh
Tubuh Chamila tersungkur di lantai dengan darah yang mengucur di kepalanya. Pandangannya kabur dan kegelapan seketika menyelimutinya. Chamila tak sadarkan diri.
~°~
“Kau harus membayarnya, bodoh. Berani sekali kau memukul pasien!”
Aqlan menarik rambut Christin kuat, membuat sang empunya merintih kesakitan. Darah yang mengalir di tangannya ikut menempel di rambut putih Christin. Bau anyir menyeruak menghimpit penciuman Christin.
Sementara itu, Varren dan Clara membaringkan tubuh Airy di lantai. Clara menatap miris pada luka memar di tubuh Airy. Bukan hanya tubuhnya, wajah Airy juga dipenuhi dengan luka lebam dan sobek di bibirnya. Christin benar-benar diluar kendali.
“Lukanya harus diobati,” gumam Varren. Pemuda silver itu memeriksa denyut nadi Airy. Untunglah gadis itu masih hidup. Christin tidak pernah main-main jika ingin menghabisi seseorang.
“Ayo bawa dia ke UKS.”
“Tidak!!”
Keduanya serempak menoleh pada Aqlan. Pemuda itu menghantam kepala Christin ke dinding hingga gadis itu pingsan seketika. Dan dengan santai mendekat ke arah Varren dan Clara seakan tidak terjadi apa-apa. Aqlan menyamakan posisi dengan mereka dan bergumam pelan, “Kalian sudah tau siapa aku?”
Varren hanya berdiam diri, sementara Clara reflek mengangguk. Aqlan tersenyum senang. “Baguslah. Biar aku yang menggendongnya.”
“Tidak,” kali ini Varren yang berucap.“Biar aku saja.” Sorot mata tak suka ditunjukkan Varren saat Aqlan hendak mengangkat tubuh Airy.
“Yah baiklah. Ambil saja.” ujar Aqlan kemudian beranjak pergi.
Varren lekas menggendong tubuh Airy dan mengikuti langkah Aqlan. Clara memunggungi mereka dengan perasaan yang tak karuan.Tidak ada yang hendak memeriksa keadaan Rey sekarang, sementara tubuh Christin yang pingsan dibiarkan begitu saja di lantai.
Hari ini menjadi hari yang menegangkan di lantai tiga. Airy tak sanggup untuk memmbayangkan pukul 12 malam nantinya, karena sebelum waktu itu datang, dia sudah mengalaminya terlebih dahulu.
^•^
_______________________________________________________________________________________
Tinggalkan jejak :)
KAMU SEDANG MEMBACA
Time Is Over
Mystery / ThrillerAiry hanya ingin sembuh dari trauma yang menghantui pikirannya, tetapi setiap langkah yang diambil menuju penyembuhan terasa seperti mendaki gunung yang terjal. Megalophobia-ketakutannya terhadap bangunan besar-hanya sebagian dari tantangan yang har...