Rules 3

22 11 55
                                    

Saat suara teredam, kebenaran bersembunyi dalam ketakutan

~Someone~

^•^

__________________________________________________________________________________

Keesokan harinya, Airy bangun awal seperti biasanya saat tinggal di kost. Kegiatannya menjadi lebih mudah karena persediaan yang lengkap. Airy lebih suka menyebut dirinya tinggal di hotel.

Dalam kamar itu ada dua ruangan lain yakni kamar mandi dan dapur. Semua bahan makanan sudah tersedia, serta pakaian yang sesuai dengan seleranya. Air mandi yang jernih dan bersih, serta ruangan yang harum. Airy tak perlu ambil pusing untuk memikirkan kekurangan tempat itu, kecuali tampilan luar bangunan yang seperti rumah angker.

Drrrt

Ponselnya bergetar saat Airy tengah menyiapkan sarapan. Sebuah panggilan masuk dari Aqlan membuat alisnya bertaut.

“Hallo.”

Hei, Airy. Aku di depan pintu kamarmu.”

“Benarkah? Kenapa tidak mengetuk pintu?”

Itu akan mengganggu penghuni kamar lain.”

“Aku akan membuka pintu.”

Tidak usah. Aku hanya ingin memastikan kau masih di kamarmu.”

“Apa? Maksudmu?”

Kita masih baru di sini, sebaiknya tetap bersama jika ingin keluar.”

“Emm, baiklah.”

Katakan jika kau ingin pergi ke suatu tempat. Akan ku temani.”

Tut

Panggilan ditutup secara sepihak oleh Aqlan. Airy keheranan menatap layar ponselnya. Pikirannya dipenuhi dengan keanehan dari sikap Aqlan.

Ada apa dengannya?

Airy melanjutkan memasaknya dan lekas sarapan. Perutnya sudah keroncongan karena tak sempat makan malam. Selesai makan, gadis itu lekas mandi dan berganti pakaian. Airy teringat janjinya dengan Chamila untuk bertemu. Gadis itu meraih ponselnya dan keluar dari kamar.

“Mau kemana?” ucap seseorang saat gadis itu hendak melangkah pergi. Airy menoleh dengan cepat. “Aqlan?”

“Bukankah sudah kubilang kabari aku jika ingin keluar?”

“Ee.. yaa, aku hanya ingin menemui Chamila di kamarnya.”

“Biar kutemani,” kata Aqlan melangkah mendahului Airy. Namun gadis itu lekas menahan lengannya.

“Hei, ini pembicaraan antar perempuan, kau tak perlu ikut.”

“Jika pembicaraan itu berhubungan dengan bangunan ini, maka laki-laki juga bisa ikut.”

Airy akhirnya hanya pasrah mengikuti langkah Aqlan yang sudah berjalan lebih dulu. Mereka menuju kamar dengan bernomor 5.

“Arachnophobia?” gumam Airy melihat nama fobia yang tertera di samping nomor kamar Chamila.

Pintu kamar tiba-tiba terbuka dan Chamila muncul dari dalam. Gadis berponi dora itu menampilkan senyuman hangatnya saat melihat Aqlan dan Airy.

“Hai, selamat pagi,” sapa Chamila yang dibalas senyuman dari kedua orang didepannya.

“Aku datang untuk janji semalam,” kata Airy to the point.

“Oh tentu. Emmm, Aqlan juga?” tanya Chamila menunjuk Aqlan. Pemuda itu reflek mengangguk.

Ketiganya kemudian beranjak dari sana. Mereka mengikuti langkah Chamila yang menuntun mereka menuruni tangga menuju lantai dasar. Sesampainya di bawah, mereka menuju sebuah lorong yang lumayan panjang.

Berbeda dari lantai tiga, lorong di lantai dasar nampak lebih baik dan rapi. Cat dinding yang cerah dan lampu bersinar terang. Lukisan-lukisan besar terpajang di sepanjang dinding. Ketiganya berakhir di sebuah pintu kayu dua daun berwarna kecoklatan.
Chamila memandang wajah kedua temannya kemudian mengetuk pintu tiga kali.

“Kenapa ke sini?” tanya Airy agak takut.

“Ini adalah perpustakaan pribadi Kak Varren. Kata Bu Merly, dia sering menghabiskan waktunya seharian dengan membaca buku. Jika kau ingin menemuinya maka disinilah tempatnya,” jelas Chamila panjang lebar.

Airy tersenyum tipis. Sepertinya mereka sudah cukup akrab.

Pintu dibuka dengan tiba-tiba membuat ketiganya terlonjak kaget. Sosok pemuda berambut silver dengan wajah menawan tengah berdiri sambil menatap mereka dengan ekspresi dinginnya.

“Ada apa?” tanyanya dengan nada rendah.

“Ma-maaf menganggumu, kak. Aku Chamila, dia Airy, dan di sebelahnya…”

“Ya aku tahu. Langsung ke intinya,” sela Varren membuat Chamila seketika bungkam.

“Kami ingin mengajukan beberapa pertanyaan. Bisakah kita bicara dengan serius di dalam ruanganmu?” tanya Aqlan dengan nada sinis. Pemuda itu kesal karena Varren yang berulang kali melirik tajam ke arahnya.

“Masuk!” pinta Varren kemudian berbalik masuk. Airy dan yang lainnya menyusul masuk ke dalam.

Seperti perpustakaan pada umumnya, ruangan itu dipenuhi buku-buku yang tersusun rapi di rak kayu bercat hitam. Mereka terus berjalan dan tiba di tengah ruangan yang luas. Tersedia sofa dan meja yang cukup lebar. Sebuah buku tebal tergeletak di atas meja dalam keadaan terbuka.

“Duduklah!” pinta Varren dan lebih dulu duduk. Airy dan Chamila duduk berdampingan di sofa panjang sedang Aqlan di sofa tunggal, berhadapan dengan Varren.

“Baiklah, langsung saja kami ingin bertanya-tanya tentang tempat ini dan juga pengobatannya. Apa, siapa, dan bagaimana,” kata Chamila membuka topik.

“Anda pasti tau kami adalah pasien baru di sini, jadi tentu wajar jika kami tidak terlalu tau tentang lokasi baru, yang…kurang informasi."

Time Is OverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang