Rules 4

17 5 23
                                    

Jangan percaya pada kegelapan, karena ia menyimpan rahasia yang lebih menakutkan daripada mimpi buruk

~Someone~

^•^

__________________________________________________________________________________

Airy dan kedua temannya kini menyusuri lorong setelah keluar dari perpustakaan. Sepanjang jalan, Chamila terus saja menggerutu kesal karena sikap Varren.

“Huh, menyebalkan. Padahal aku masih punya banyak pertanyaan. Tapi orang itu sama sekali tidak mau memberi kesempatan. Dasar,” gerutu Chamila.

Aqlan dan Airy hanya terkekeh. Sebenarnya kedua orang itu juga memikirkan hal yang sama. Ketiganya sampai di cabang lorong, dan Airy melirik Bu Merly yang tengah menulis di meja resepsionis. Gadis itu teringat sesuatu dan kemudian beranjak menuju meja resepsionis.

Bu Merly yang menyadari kedatangannya segera mendongak. Hal itu membuat Airy menelan salivanya takut. Tatapan kosong dari sorot mata Bu Merly benar-benar menyeramkan.

“Emm, hai bu. Aku Airy, aku ingin..”

“Sebut nama fobiamu,” sela Bu Merly. Airy terdiam sejenak kemudian menyebut nama fobianya. “Megalophobia.”

“Baiklah. Mulai sekarang tak usah menyebut namamu jika ingin memperkenalkan diri pada orang-orang di sini. Sebut saja nama fobiamu,” tegas Bu Merly. Wanita itu kemudian kembali menulis di atas lembaran panjang yang kini dipenuhi tulisan tangannya.

“Ba-baiklah. Em, aku ingin bertanya. Tentang waktu itu, saat kau mengatakan lantai tiga adalah daerah rawan. Aku tidak tau apa maksudmu, jadi bisakah kau menjelaskannya padaku, Bu?” tanya Airy hati-hati.

Bu Merly seketika menghentikan gerakan tangannya. Dia kembali menatap Airy dengan sorot mata yang sama, tapi kali ini lebih menyeramkan. Airy mundur selangkah karena tak sanggup menatapnya dari jarak dekat.

“Coba kau tebak. Kenapa lorong itu lebih buruk dari lorong lainnya, kenapa kaca jendelanya berserakan, dan kondisi lantai yang bernoda?” Bu Merly mencondongkan wajahnya lebih dekat ke arah Airy. “Dengar, setiap pukul 12 malam, setelah para spesialis keluar dari kamar pasien. Mereka akan memulai aksi mereka dan...”

“Airy?”

Panggilan Chamila seketika membuyarkan pikiran Airy. Gadis itu tengah membayangkan hal aneh yang dikatakan oleh Bu Merly. Namun wanita itu tak segera melanjutkan perkataannya, dan memilih menjauh ke belakang. Airy hendak memanggilnya lagi namun Chamila lebih dulu menghampirinya.

“Ada apa?” tanya Chamila penasaran. “Apa yang kau bicarakan dengan Bu Merly?”

“Ah, tidak apa-apa. Aku hanya ingin bertanya tentang peraturan,” kata Airy, berbohong. Dia kembali melirik Bu Merly yang terdiam sambil menatap dinding kosong.

“Kami sudah membacanya. Akan kujelaskan padamu. Ayo pergi.”
Chamila menarik tangan Airy untuk pergi dari sana. Bersama Aqlan, mereka akhirnya kembali ke lantai tiga.

Airy masih memikirkan setiap kata yang diucapkan oleh Bu Merly. Gadis itu melirik kembali kondisi lorong di lantai tiga. Dia baru menyadari keadaan lantai yang kotor dan bernoda. Seperti cairan kental yang mengering dari beberapa hari yang lalu.

Airy mengendus-ngendus tempat itu, namun tak ada bau aneh selain wangi parfum yang mereka kenakan.

“Apa yang kau lakukan?” tanya Chamila keheranan melihat tingkah Airy yang seperti anjing pelacak.

“Tidak, kupikir ada bau aneh.”

Chamila ikut mengendus, begitupun Aqlan. Namun hasil yang didapat tetap sama.

“Tak ada bau aneh.”

“Memang tidak.”

Chamila kemudian melirik pintu kamar pasien bernomor 1. Tulisan Venustraphobia tertera di sebelah nomor itu. Alisnya berkerut memikirkan arti dari fobia aneh itu.

“Venustraphobia? Fobia apa itu?”

“Hmm, sepertinya itu salah satu fobia aneh dan langka,” ujar Airy sambil berfikir.

“Aneh dan langka?”

“Venustraphobia adalah seseorang yang takut dengan wanita, seperti wanita cantik,” jawab Aqlan.

“APA!!?” teriak Airy dan Chamila bersamaan.

Jadi benar yang dikatakan Bu Merly. Pasien di sini memiliki fobia yang aneh dan langka. Kecuali kami bertiga mungkin

Gadis itu kemudian menatap Chamila yang tengah berpikir keras. “Chamila, Arachnophobia itu apa?” tanya Airy. Chamila lekas menoleh padanya dan tersenyum.

“Aku fobia dengan laba-laba,” balas Chamila.

“Hanya takut laba-laba. Kenapa kau harus ke tempat ini?” timpal Aqlan, membuat gadis berponi dora itu melotot padanya. "Fobiamu itu terlalu sepele, tempat hanya untuk pasien dengan fobia yang berat."

“Hei, seharusnya aku juga berkata seperti itu padamu. Kau hanya takut peluru, kenapa harus ke sini. Memangnya kau akan melihatnya setiap hari? Tidak kan, kecuali jika kau merampok senjata dan malah syok karena melihat banyaknya peluru di sana,” cetus Chamila tak terima.

Time Is OverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang