"Ketakutan ibarat bara dalam sekam, diam-diam membakar dari dalam."
~Someone~
^•^
____________________________________________________________________________________
Airy meremas ujung bajunya dengan gugup. Netranya melirik takut pada seorang gadis lain yang berdiri di depannya sambil membaca sebuah berkas. Spesialis Megalophobia, seorang gadis dengan rambut putih bersinar dan netra kemerahan. Wajahnya cantik dan sedikit poni menutupi dahinya. Penampilannya elegan dengan seragam yang melekat di tubuh idealnya. Dilihat dari sosoknya, usianya sama sekali tak beda jauh dari Airy.
“Airy Charlotte, 16 tahun, mengidap Megalophobia sejak usia 12 tahun. Berarti sudah 4 tahun kau mengalaminya.” Suaranya terdengar tegas, seperti seorang guru yang sedang mengajar. Airy berusaha bersikap seperti pendengar yang baik.“Pertama-tama, namaku Christin Highter, dan aku adalah spesialis megalophobia. Jadi, mohon kerjasama ke depannya. Oh ya, mulai sekarang aku akan memanggilmu megalophobia. Kau bisa memanggilku dengan Mrs. Potts .” Gadis bernama Christin itu meletakan berkas yang dipegangnya di atas meja, kemudian duduk di sofa tunggal sebelah Airy.
“Dengar Mega, hari ini kita tidak melakukan terapi. Aku akan memberimu kesempatan untuk mempersiapkan diri, dan besok kita akan mulai terapinya. Kau tidak usah sungkan untuk bertanya padaku, tapi aku tidak bisa memberimu nomor ponselku karena memang tidak diizinkan.”
“Kenapa tidak sekarang saja?” tanya Airy setelah lama terdiam.
“Melihat dari raut wajahmu saja aku tahu kau belum siap menerima terapi. Jadi jangan memaksakan diri, karena pada akhirnya akulah yang kerepotan,” balas Christin cepat. Airy merasakan nada sengit dalam suaranya.
“Baiklah, silahkan beristirahat. Sebaiknya kau tetap di kamar, karena percuma saja kau keluar. Tidak ada aktivitas di sini.”
Christin bangun dari duduknya dan lekas keluar. Gadis itu bahkan tak menoleh sedikitpun pada Airy.
Airy mendekati pintu dan mengintip kepergian Christin melalui celah pintu. Airy kembali membayangkan wajah Christin saat bicara dengannya. Ekspresi kaku dan nada bicara yang monoton. Airy tak merasakan kesabaran dalam diri Christin. Hal yang membuatnya ragu menatap Christin adalah tatapan tajam dari netra kemerahan itu.
Airy membayangkan cahaya matanya saat berdiri di kegelapan. Mungkin seperti vampir yang kehausan mencari darah di tengah hutan. “Orang-orang di sini bukan hanya aneh, tapi juga menyeramkan. Bu Merly, Kak Varren, Aqlan, dan sekarang si Mrs. Potts itu. Christin Higther.”
Tunggu, Christin Higthter?
Tubuh Airy seketika jatuh terduduk di lantai. Airy meremas kepalanya yang tiba-tiba sakit dan pening. Sebuah rangkaian kejadian terus berputar acak di kepalanya. Seperti film yang sengaja dipercepat tanpa berhenti. Suara orang berbicara terus bergema di telinganya.
Airy merintih kesakitan sambil terus meremas kepalanya. Lidahnya tiba-tiba kelu dan Airy tak tahu harus memanggil siapa. Pintu kamarnya tertutup membuat gadis itu sulit meraih kenop pintu untuk keluar.
Dugh
Sakit yang semakin menjadi membuat Airy membenturkan kepalanya di dinding berkali-kali. Sayangnya rasa sakit itu belum juga hilang. Airy berusaha sekuat tenaga menyeret tubuhnya semakin dekat dengan pintu. Tangannya menggedor-gedor pintu kamar, berharap ada seseorang diluar sana yang dapat mendengarnya.Beberapa detik berlalu dan tak ada satupun yang merespon. Airy semakin kalang kabut. Pandangannya menjadi kabur dan Airy tak bisa bernafas, seakan kehilangan oksigen. Gadis itu menyandarkan punggungnya ke pintu dengan nafas terengah-engah.
“Tolong aku,” gumamnya merintih. Airy tak mampu menggerakkan tubuhnya lagi. Matanya perlahan-lahan tertutup dan kegelapan menyelimutinya.
~°~
“Pasien mungkin mengalami de javu ataupun sebuah kondisi dimana dia mengingat sesuatu yang tidak diketahuinya.”
“Jadi maksudmu pasien sebelumnya mengalami amnesia?”
“Tapi dilihat dari riwayat kesehatannya, pasien sama sekali tidak memiliki penyakit apapun kecuali megalophobia.”
“Mungkin saja itu terjadi baru-baru ini, dan belum sempat tercatat di riwayatnya.”
“Alibimu benar-benar absurd, Chris. Jika itu memang benar, aku pasti sudah tahu saat memeriksanya tadi.”
“Hei lihat, sepertinya dia sudah siuman.”
Seseorang mendekati tubuh Airy yang bergerak di atas brankar. Airy membuka matanya sedikit demi sedikit. Pandangan mulai jelas dan rasa sakit sudah menghilang dari kepalanya. Gadis itu menyenderkan tubuhnya sambil memandang beberapa orang asing yang berkumpul di dekatnya. Yang dia kenal hanyalah Christin dan Varren.
“Hei, pasien baru. Kau tidak apa-apa?” tanya seorang gadis berambut biru gelap yang digelung dan kacamata yang bertengger di hidung kecilnya. Gadis itu duduk di dekat brankarnya dan menatapnya penuh cemas.
“Y-ya, aku..aku baik baik saja.”
“Syukurlah. Kau pasti kaget karena terbangun di sini. Sebenarnya, tadi Varren yang membawamu ke sini,” ucap gadis itu sambil menatap Varren yang terduduk di sebauh sofa panjang.
“Merepotkan. Dengar Mega, aku hanya memberikan terapi Fobia, bukan menyembuhkan sakitmu yang lain,” tukas Christin dengan tatapan sinis.
“Diam, Chris. Kau tidak seharusnya bicara seperti itu. Dia pasienmu, apa seperti itu sikapmu terhadap pasien?”
“Ya ya ya, aku minta maaf. Maafkan aku Mega.”
Airy hanya terdiam melihat interaksi orang orang itu. Netranya sibuk menelisik setiap wajah lain yang berada di sana. Ada 3 orang pemuda yang duduk di sofa, termasuk Varren. Dan 3 orang gadis, termasuk dirinya dan Christin.
“Hei teman-teman, kurasa kalian harus memperkenalkan diri. Kasihan pasienku ini kebingungan,” ucap Christin sambil menyentuh pundak Airy. Hal itu membuat sang empunya jadi bertambah bingung.
“Baiklah, biar aku yang pertama,” kata seorang pemuda berambut hijau yang duduk di sebelah Varren. Pemuda itu berdiri melewati meja dengan gaya yang terkesan sombong. “Namaku Reynold Raymond. Aku spesialis Ballistophobia. Kau bisa memanggilku Rey, Reyn, Ray, Reygan, atau double R. Terserah yang mana.”
Airy mendelik saat pemuda itu mengedipkan mata ke arahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Time Is Over
Mystery / ThrillerAiry hanya ingin sembuh dari trauma yang menghantui pikirannya, tetapi setiap langkah yang diambil menuju penyembuhan terasa seperti mendaki gunung yang terjal. Megalophobia-ketakutannya terhadap bangunan besar-hanya sebagian dari tantangan yang har...