nol satu ; cahaya

267 19 3
                                    

Keheningan di ruangan minim cahaya disertai aroma cappuccino itu menemani kegiatan seorang pemuda. Lelaki bertubuh jangkung itu nampak sedang membaca buku, namun, yang ia lakukan hanya membolak-balikkan halaman tanpa ada satupun kata yang masuk ke otaknya. Kepalanya sibuk mengangguk mengikuti ritme musik yang terpasang di headsetnya.

Argadana Mayudha, atau yang kerap disapa Arga, mengalihkan pandangannya pada jam analog di tangan. Kemudian ia menoleh pada pintu utama yang masih setia tertutup rapat-rapat.

Arga menghela nafas. Sudah tiga puluh menit sejak jam pulang adiknya tiba, namun sang adik belum juga terlihat.

Hari ini, adalah hari Masa Orientasi Siswa adiknya, Arziel Kiano Jinendra. Kian meminta agar Arga mengantarnya, namun, Arga berhalangan karena kendaraan yang dipakai sedang rusak. Alhasil Kian terpaksa berjalan kaki untuk sampai ke sekolah. Untung tidak terlalu jauh.

Sebenarnya, Arga agak sedikit khawatir. Pasalnya, Kian bukan anak yang mudah bergaul. Namun, ia juga bukan anti sosial. Arga tahu betul seberapa keras usaha Kian untuk mendapatkan teman ketika masih di sekolah dasar. Namun, tidak ada satupun dari mereka yang mampu bertahan pada adiknya.

Semuanya bak barang rental, yang akan hilang ketika waktunya telah datang. Begitu terus, hingga, Arga pernah mendapati Kian menangis seorang diri di kamarnya dan terus meracau. Hal itu membuat hati Arga berdesir.

Ketika ingin menyesap kopinya, Arga dikagetkan dengan suara dobrakan dari arah pintu utama. Arga segera menoleh. "Siapa?" Ia bangkit, berniat membuka pintu dan melihat siapa dibaliknya.

Begitu gagang pintu berputar, tampak lah seorang pemuda yang terlihat tak kalah terkejut dengannya. Melihat itu, Arga lantas menghela nafas.

"Kenapa, sih, Dek, kok, pake ngedobrak gitu? Mas kaget, tahu."

Pemuda yang lebih pendek hanya terkekeh tanpa dosa. "Ya habis, pintunya aku buka gak bisa. Yaudah aku dorong. Mas kunciin, ya?"

"Mana ada. Itu emang lagi rusak aja, makanya susah kalau dibuka dari luar."

"Oh, Mas nggak bilang."

"Lupa."

Arga mengambil tas Kian dan meletakkannya pada sofa, kemudian, ia menyuruh adiknya duduk.

"Duduk, Dek. Kamu pasti capek, kan? Nih, Mas buatin susu."

"Makasih, Mas." Kian meraih segelas susu coklat yang diberikan Arga, kemudian meminumnya.

Keduanya sempat hening sejenak. Hingga, si sulung membuka suara terlebih dahulu.

"Kok lama?"

"Lama kenapa?"

"Ya, lama. Kamu balik, kan, udah setengah jam yang lalu. Mas tungguin gak dateng-dateng."

Kian menggaruk tengkuknya yang tak gatal, meringis karena sedikit malu untuk menjawab. "Itu ... Aku takut nyebrang, Mas" ucapnya seraya terkekeh.

"Nyebrang aja kok takut. Makanya, kalo Mas ajak ke pasar, itu, ikut."

"Males."

Merasa kakinya gerah, Kian membungkuk untuk melepaskan kaus kakinya. Lalu dilempar ke sembarang arah. Tak apa lah, toh, Arga tidak akan memarahinya.

"Gimana, MOS-nya? Seru?" Tanya Arga dengan senyum yang merekah.

"Capek, Mas. Mereka kalau baris dempet-dempetan, bikin sesek." Kian memberi jeda sejenak setelah meneguk habis susu coklat itu. "Mas waktu SMA gitu juga, nggak, sih? Disuruh minta tanda tangan kakel gitu?"

Arga berdehem, "Enggak, sih. Soalnya, dulu Mas SMA MOS-nya nggak ada kakak kelas."

"Enak banget."

Setelahnya kedua jantan itu terdiam. Sibuk dengan pikirannya masing-masing.

Helder Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang