nol enam ; interaksi

70 12 7
                                    

Hujan turun dengan sangat deras saat ini. Petir pun menggelegar dan menyambar apa yang ada di sekitarnya. Kian terbangun malam itu dengan perasaan panik. Dadanya naik-turun seiring peluh turun membasahi wajah hingga leher.

Nafasnya memburu. Kian ketakutan akan apa yang barusan dimimpikannya. Rasanya mimpi itu terasa sangat nyata. Membuat Kian tidak lagi ingin merasakannya, apalagi mengingatnya.

Ia meremat dada kirinya. Masih dengan nafas memburu, namun kali ini semakin parah. Rasanya sangat sesak. Rasanya seperti tidak ada oksigen yang masuk sedikitpun ke paru-parunya, membuat Kian semakin rakus untuk menghirup udara. Hingga beberapa kali ia terbatuk.

Kian terduduk di tepi ranjang sambil mengusap wajahnya kasar. Lengannya melingkar pada kakinya yang tertekuk di atas dada. Kian menunduk, lalu air matanya lolos begitu saja tanpa disengaja.

"Jangan ... Aku nggak salah apa-apa ... Sakit ..."

Lalu, ia pun mulai terisak.

•·° ◆ ■ ◆ °·•

Kini, Putra tengah menggandeng Kian sambil berjalan di lorong. Putra bersenandung riang sambil sesekali menyapa orang di sekitarnya.

Tadi, Kian yang sedang menyendiri di kelasnya tiba-tiba ditarik Putra untuk berjalan bersama. Padahal Kian sudah menolak, katanya ingin belajar sebelum pelajaran dimulai. Namun Putra tetap memaksa dan akhirnya Kian mengalah.

Memang jika dilihat dari hari pertama mereka bertemu, Putra yang saat ini sangat menempel dengan Kian. Kian tidak mengerti, mengapa pemuda itu terlihat begitu menyukai dirinya. Ia agak menjadi sedikit parno ketika Putra secara tiba-tiba memeluknya. Dan paling parah, cowok itu menciumnya. Tepat di tengah-tengah lorong yang berisikan orang.

Kian mendorong tubuh Putra pelan, "Kak, lo ngapain?"

Putra hanya terkekeh tanpa dosa. "Hehe ... Abis hari ini lo kayak wangi banget. Pake sabun apa, sih? Johnson Baby, ya?"

Kian melirik sinis lalu memutar bola matanya. "Mama Lemon."

Kian itu memang tidak suka sentuhan secara fisik. Ia tidak suka ketika orang menyentuhnya dengan intens dan memangkas jarak antar keduanya. Ia sedikit bergeser agar dapat melepaskan rangkulan Putra.

Ketika tengah asyik berjalan, Putra tak sengaja menyenggol bahu seorang siswa. Reflek ia berbalik. Putra yang niatnya ingin meminta maaf, malah urung saat melihat wajah yang disenggolnya.

"Woi! Jalan tuh lihat-lihat, dong!" Seru Putra sambil menudingnya.

"Lo yang hati-hati, anjing!" Balas pemuda itu tak mau kalah.

Putra menggeram kesal. Tangannya terkepal karena menahan emosi melihat wajah siswa itu. Ia mendekat ke arahnya, lalu menarik kerahnya.

"Lo bisa gak, gak usah belagu gitu? Jangan mentang-mentang nyokap lo kepsek jadi bisa seenaknya gitu, bangsat." Ucapnya geram. "Minta maaf, gak!? Lo nabrak gue duluan!"

Pemuda itu melepaskan cengkraman maut Putra. Sepertinya tenaganya jauh lebih kuat dari Putra. Ia hanya menatap datar tanpa emosi sedikit pun.

"Harga diri gue bisa keinjek kalo minta maaf sama orang miskin kayak lo."

Kian yang memerhatikan keduanya menjadi panik sendiri. Ia meraih lengan Putra untuk menjauh.

Ia yakin Putra tahu dan mengenal pemuda itu. Tidakkah berbahaya jika meladeninya? Mengapa Putra tampak seberani itu?

"Kak, udah, kak. Jangan diladeni." Kian membawa Putra kembali berjalan dengan memegang lengannya. "Bahaya kalo lo berurusan sama dia."

Kian sempat melirik kemana arah pemuda itu melihat. Pemuda itu melihat ke arahnya. Dengan tatapan yang sulit diartikan.

Helder Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang