nol tiga ; obat

115 12 1
                                    

Ketika langit hampir berubah warna, jalan-jalan semakin ramai dan macet, Kian bersama tiga kakak kelasnya berhasil sampai dengan selamat di rumah. Kian dibonceng oleh Elang, lelaki itu memaksanya. Sejujurnya, Kian sedikit merasa tidak enak, ia takut merepotkan. Tapi, tidak mungkin juga jika ia berjalan seorang diri dengan kondisi seperti ini.

Kian turun dari atas motor. Senyumannya merekah, begitu tulus. Bibirnya mengucap terima kasih.

"Makasih, Kak. Maaf kalo gue ngerepotin." Ucapnya.

Elang menggeleng, "santai aja cil, gue gapapa kok."

Kian hanya tersenyum kikuk. Meski Elang telah berkata demikian, tetap saja perasaan aneh mengganjal di hatinya. Tidak enak rasanya. Ia menoleh, berusaha melihat dua anak lainnya.

"Kak, makasih, ya." Ucap Kian pada Putra dan Yogi.

Putra di balik helm full face-nya memasang wajah masam. Sebenarnya sedari tadi cowok itu tengah berusaha menahan kantuknya. Ia berkendara dengan kesadaran yang hanya setengah. Untung saja ada Elang di depannya yang dapat digunakan sebagai patokan.

"Woi, curut. Jangan diem bae lo." tegur Elang, merasa temannya hanya diam.

Putra mengangkat kaca helmnya. Matanya menyipit, menandakan bahwa ia tersenyum. "Sebenarnya gue udah cape banget tadi. Tapi kalo soal Kian, apapun gue lakuin deh. Hehe."

"Gapapa, Ki. Kalo ada apa-apa gak usah malu-malu gitu, kita seneng kok bisa berguna buat lo." Ucap Yogi.

Setelah membalas semuanya dengan senyuman, ketiga lelaki itu kemudian melenggang dari pekarangan rumah Kian. Kian menatap kepergian kakak kelasnya dengan mata berbinar.

Padahal baru hari pertama sekolah, tetapi Kian sudah diperlukan sebaik ini. Kian tidak tahu harus bereaksi seperti apa, rasa bahagia terlalu menyelimuti dirinya.

Lalu, dengan langkah sedikit terseot, Kian berjalan ke teras rumah. Kakinya ditegakkan di depan pintu, mulai mengetuk.

"Mas Arga ... " Panggilnya.

Kemudian pintu terbuka, menampakkan pemuda jangkung dengan raut cemasnya.

"Kian, kok lama pulang-"

Kian tidak mempersilahkan sang kakak merampungkan kalimatnya. Ia lebih dulu berjalan ke dalam dan meninggalkan Arga yang kini tengah melongo.

Sungguh, tubuhnya sudah sangat diminta untuk diistirahatkan. Kian tidak mau berinteraksi dengan siapapun dulu. Ia ingin menghemat tenaga.

Maka, Kian sedikit melajukan langkahnya, berjalan gontai ke arah kamar lalu mulai menutup pintu.

* * *

Suara dentingan sendok yang beradu dengan piring menghiasi malam dua bersaudara itu.

Kini, Arga dan Kian tengah melakukan makan malam bersama berdua. Arga sedikit dibuat keheranan dengan sikap adiknya.

Ia sempat setengah mati memaksa anak itu turun, sebab entah mengapa Kian menjadi sedikit lebih diam kali ini. Ia juga belum mengatakan apapun sejak sore tadi.

Arga ingin bertanya, namun urung karena takut salah bicara. Akhirnya ia menunggu sampai waktunya tepat. Barulah ia berani bertanya.

"Dek," panggilnya.

Kian tidak langsung menjawab. Ia merampungkan dulu makanan yang dikunyah, lantas mengangkat kepala.

"Hm?"

"Kamu kenapa kok dari tadi diem aja?"

"Nggak pa-pa."

"Beneren?"

Helder Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang