Pagi yang hangat ini, biasa digunakan orang-orang untuk berolahraga, atau setidaknya berjalan kaki mengelilingi komplek untuk mencari keringat. Tapi, itu tidak dilakukan oleh kedua pemuda yang kini tengah melakukan aktivitasnya di rumah.
Suara kertas yang terlipat mengisi kesunyian kediaman kecil dua bersaudara itu. Si sulung Arga, menyesap kopi sambil membaca novel favoritnya yang kemarin sempat terpotong.
Kicauan burung tetangga terdengar. Membuat suasana pagi ini makin terasa damai. Apalagi udara yang sejak malam tetap terasa sejuk.
Suara derap langkah kaki terdengar. Namun Arga tetap bergeming. Sepertinya tidak menyadari kehadiran sang adik. Hingga, sebuah suara dentingan keramik yang beradu membuatnya mengangkat kepala.
"Awal banget, Ki?" Tanya Arga.
Kian tidak menjawab. Ia sibuk mengambil nasi dan lauk ke piringnya untuk sarapan.
"Mas, motornya udah?" Kian balik bertanya.
"Belum. Katanya bannya bocor. Nanti siang baru bisa."
"Oh."
Dengan langkah yang terasa sunyi, Kian menarik kursi di depan Arga dan mendaratkan bokongnya di atas permukaan. Kedua tangannya terkatup rapat, matanya memejam. Setelah merapalkan doa, barulah Kian menyantap hidangannya.
"Kok dikit banget, Dek, makannya. Mas tambah, ya?"
Kian menggeleng, menghentikan pergerakan Arga yang hendak bangkit. Setelah menelan makanannya, ia membuka mulut.
"Nggak usah, hari ini hari pertama. Jadi, aku nggak boleh telat."
Arga hanya manggut-manggut. Ia pun kembali pada kegiatannya.
Tak butuh waktu lama, Kian menyantap sarapannya hingga bersih lalu membawa piringnya ke tempat cuci. Dengan buru-buru, ia meraih tas dan menghampiri sang kakak.
"Mas, Aku pergi, ya." Ucapnya mengambil tangan Arga untuk disalami.
"Hati-hati, ya, Dek." Arga menjawab tanpa mengalihkan pandangan. Pagi ini, Arga terasa sedikit cuek. Kian tidak tahu mengapa. Tetapi, Kian tidak terlalu ambil pusing. Ia merasa lebih bersemangat menjalani kehidupan di sekolah barunya kali ini.
Maka, dengan langkah yang terkesan buru-buru, Kian mengambil sepatunya dan mulai berjongkok. Ia mengikat tali itu hingga membentuk sebuah pita. Lalu, kakinya melangkah. Kian membuka gerbang, dan kembali menutupnya ketika sudah berada di luar.
Kian berjalan tanpa beban. Kedua tungkainya melangkah bergantian bergesekan dengan tanah. Menghasilkan bunyi yang terdengar kasar di telinga. Suara kicauan burung terdengar.
Kian memperlambat langkahnya. Matanya memejam, berusaha menghirup udara Jakarta yang terasa baru baginya. Ia melihat sekeliling.
Ketika di Jogja, Kian belum pernah melihat pemandangan semacam ini. Gedung-gedung tinggi, kendaraan yang lalu lalang dengan laju, serta polusi yang terkadang membuatnya tersedak. Berbeda saat sebelum ia pindah, dulu, bangunan-bangunan berukuran besar tidak banyak yang berbentuk gedung. Paling-paling hanya restoran, mall, atau rumah makan mewah yang kerap beberapa kali ia lewati bersama sang kakak. Kian agak terkejut melihat perubahan ini.
Langkahnya terhenti. Kepalanya menengadah ke langit-langit. "Pak, Bu. Aku mungkin akan bahagia di sini." Gumamnya, lalu menarik nafas dalam-dalam seraya memejam. Lalu Kian kembali melanjutkan perjalanannya.
***
Bel berbunyi ketika Bu Herlina, wali kelas 10-3 melakukan pemilihan pengurus kelas. Ada lima orang yang mengajukan diri untuk menjadi kandidat. Yang pastinya, diantara lima orang itu, tidak ada Kian. Atau lebih tepatnya Kian tidak terlalu peduli.
KAMU SEDANG MEMBACA
Helder
Fanfiction[2HO] Tentang Kian dan keinginan kuatnya yang terus melaung demi mempertahankan keberadaan dirinya di dunia. *** ⚠️shipper bxb/yaoi/shounen ai/gay jauh-jauh, di sini bukan lapaknya⚠️