nol delapan ; akibat ngaret

58 8 0
                                    

Kian tidak tahu sudah berapa lama ia terlelap. Setelah Jaya pamit tadi, Kian langsung terpejam. Mengistirahatkan kepalanya yang terasa pusing dengan berbaring di samping tubuh Arga. Pria itu juga ikut tertidur.

Atensi kedua matanya kini tertuju pada layar ponselnya yang menyala. Dering telepon yang terdengar mengusik tidurnya, namun tidak dengan sang kakak.

Melihat nama Aji terpampang di layar paling atas, Kian segera menggeser tombol hijau sehingga telepon tersambung. Ia segera menempelkan ponselnya pada telinga sambil menguap.

"Halo, kenapa, Ji?"

"Ki, jadi nginep di rumah kak Yogi nggak? Dia nanyain kamu, gak dijawab. Akhirnya nge-chat aku."

Kian melupakan satu hal. Ia belum memberi jawaban pasti atas penawaran Yogi tadi pagi. Untung saja Aji menelpon, membuatnya kembali teringat.

Dengan kepala bertopang pada lengan, Kian bergumam sejenak sebelum menjawab. Ia mendekatkan kepala pada tubuh Arga, seolah tidak ingin jauh darinya.

"Nggak, Ji. Tapi, kalo kamu mau ikut, ikut aja." Ucapnya.

"Loh, kenapa?"

"Mas Arga masuk rumah sakit, harus diopname lima hari."

"Hah? Kok tiba-tiba banget?"

Kian mendengus mendengar pertanyaan Aji. Ia menegakkan kembali tubuhnya.

"Bukan tiba-tiba juga. Intinya Mas kecapean, akhirnya kena anemia. Aku juga kaget pas tahu."

"Rumah sakit mana?"

Kepalanya tertoleh ke sekeliling, melihat sekitar. Lalu ia mengedikkan bahu, walau tak terlihat oleh sang penelpon.

"Mana, ya? Nggak tahu, sih. Aku belum hapal tempat-tempat di sini. Tadi aja yang nganter Bang Jaya pake mobilnya"

"Ya udah, nanti kamu share location aja."

Kening Kian mengernyit bingung. "Kamu mau ke sini? Udah, nggak usah. Kan, ada bang Jaya."

Kian dapat mendengar decakan sebal dari ponselnya.

"Bego, kamu, 'kan, besok masuk sekolah! Ya kali mau jagain Mas Arga sampe pagi."

"Iya. Nanti, kan, ijin sama gurunya."

"Udah, share loc aja. Ntar aku kesana, jangan kabur!"

Sambungan terputus tepat setelah Aji berucap. Kian tertawa geli setelah mematikan layar gawainya dan meletakkannya pada nakas.

"Mau kabur gimana? Wong jalan-jalan aja kayaknya aku bakal kesesat." Monolognya pada diri sendiri, seolah menjawab ucapan Aji tadi.

***

Arga terbangun karena terusik oleh suara obrolan orang-orang. Pria itu mengusap wajahnya dan berusaha merapikan rambutnya. Dilihatnya kini sang adik dengan beberapa orang tengah berbincang tidak jauh dari ranjangnya.

"Dek?" Panggil Arga. Sontak Kian menoleh. Ia berjalan menghampiri sambil tersenyum, dan diikuti oleh tiga orang lainnya.

"Loh, Budhe ngapain di sini?" Tanyanya keheranan, melihat Ria, Aji, dan satu anak kecil.

Ria segera berderap mendekat ke samping ranjang, menyentuh puncak kepala Arga dan mengusapnya pelan. Menunjukkan raut khawatir. "Arga, mana yang sakit, Nak?"

Arga yang mendapatkan perlakuan spontan itu berusaha memasang senyum tulus. "Aku nggak apa-apa, Budhe. Budhe kok bisa ada di sini?"

"Tadi Budhe dikabari sama Aji, katanya kamu pingsan terus dibawa ke sini gitu."

Helder Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang