Terhitung sudah beberapa menit sejak keduanya menjalani hukuman yang diberi oleh Pak Inyop. Terhitung sudah cukup lama pula keduanya berjemur di bawah teriknya matahari pagi.
Aji masih setia di tempatnya. Menengadah ke atas tanpa menurunkan tangan sedikitpun. Kakinya masih tegak seperti sejak menit pertama.
Wajar saja pemuda itu tahan. Topi berwarna abu-abu berlambang Garuda yang ia kenakan menutupi sebagian wajahnya. Sehingga, cahaya matahari tidak menghalangi penglihatannya. Walaupun Aji yakin setelah ini kulitnya pasti akan menggelap di beberapa area.
Sementara Aji yang masih fokus, Kian rupanya sudah merasa mengambang sejak tadi. Kedua tungkainya bergetar, tangannya memberat, peluh membasahi bukan hanya seluruh wajahnya, namun juga tubuhnya.
Ringisan berkali-kali keluar dari mulut Kian. Dadanya terasa sesak. Beberapa kali tangannya memijat dada dari tadi. Rasa pusing terus membebani kepalanya, Kian seperti akan kehilangan kesadaran.
Detik bertambah, menit pun berubah. Kian tidak dapat lagi menahan kakinya. Tubuhnya meluruh begitu saja saat hukuman yang mereka jalani hampir selesai.
Bruk
Aji memekik tertahan begitu mendengar suara tubuh Kian yang menubruk tanah. Ia segera menoleh. Melihat Kian yang tergeletak tak sadarkan diri dengan bibirnya yang pucat.
"Kian!"
Dengan cekatan, Aji segera berjongkok agar dapat mendekat dengan Kian.
"Ki, bangun, Ki! Kamu kenapa, sih?" Aji bertanya frustasi.
Rasa panik semakin memuncak ketika Aji mencoba membangunkan Kian, namun pemuda itu tidak memberi reaksi sedikitpun. Aji menepuk pelan pipinya, menggoyangkan bahunya, namun usahanya sia-sia.
Ia bangkit, celingak-celinguk mencari seseorang yang bisa dimintai bantu. Namun nihil, sekolah terlihat sepi karena semuanya sedang beraktivitas di dalam kelas. Tidak ada yang berkeliaran di sekitar mereka.
Aji kembali menoleh pada Kian. Ia tidak tahu Kian akan seperti ini. Ini benar-benar di luar perkiraannya. Tidak ada tanda-tanda kesadaran saat Aji menatap lamat sepupunya.
Karena tidak tahu siapa yang bisa dimintai tolong, Aji inisiatif mengangkat tubuh Kian dan membopongnya.
Ia mengalungkan lengan Kian pada bahunya. Aji sedikit terkejut karena ia tidak perlu menaruh banyak usaha untuk mengangkat Kian. Rasanya sedikit berbeda dengan yang dulu.
"Kamu jadi lebih ringan gini sejak kapan, sih?" heran Aji dalam hati.
***
Saat Aji tengah tiba di depan ruang UKS, ia menghentikan langkahnya untuk mengatur nafas sejenak. Bagaimanapun, Kian tetap memiliki tubuh yang lebih tinggi, sehingga membuat Aji terasa mungil ketika berada di sampingnya.
Namun yang membuat Aji sedikit heran sejak tadi, tubuh Kian terasa lebih ringan dari biasanya. Padahal, Aji tidak menemukan sedikit perubahan pada tampilan fisik anak itu. Semuanya terlihat sama. Itu adalah hal kecil yang disadari olehnya sedari tadi, namun, ia memilih acuh untuk saat ini.
Beberapa kali karbondioksida ia hembuskan melalui mulut. Setelah dirasa sudah cukup tenaga, Aji mulai melanjutkan langkah tungkainya.
Belum dua langkah ia berjalan, suara halus namun berat dari seorang pemuda terdengar membuat Aji spontan menoleh ke belakang.
"Aji!"
"Kak Elang?"
Elang berjalan dengan mengayunkan kedua kaki jenjangnya. Dengan setangkai permen di mulut yang membuat pipinya menonjol, seragamnya dikeluarkan membuat kesan sangar pada dirinya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Helder
Fiksi Penggemar[2HO] Tentang Kian dan keinginan kuatnya yang terus melaung demi mempertahankan keberadaan dirinya di dunia. *** ⚠️shipper bxb/yaoi/shounen ai/gay jauh-jauh, di sini bukan lapaknya⚠️