nol lima ; temu kangen

65 13 9
                                    

"Iya, Mas. Iya ... Oke."

Begitu sambungan terputus, Kian segera mematikan ponselnya dan memasukkannya ke dalam saku.

Tidak sulit ternyata meminta izin pada Arga. Pria itu hanya mendengar nama sepupunya saja sudah lebih dulu bersemangat.

"Apa katanya?" tanya Aji.

"Boleh. Mas bilang dia pengen ikut juga, tapi sibuk sama urusan kuliahnya."

Kini, bel pulang sudah berbunyi setengah jam yang lalu. Sekolah masih tampak ramai, dan matahari pun masih percaya diri menunjukkan dirinya. Namun walau cahaya siang hari yang terik ini, tidak membakar habis semangat Aji yang berkobar sejak Kian mengiyakan ajakannya.

"Yaudah, yuk." Ajak Aji.

"Mana motornya?"

"Ya di parkiran, lah!"

Kian mengikuti di belakang Aji yang berjalan mendahuluinya. Mereka memasuki area parkiran yang dipenuhi kendaraan yang berdempetan, sehingga membuat keduanya harus berjinjit untuk melewatinya.

Setelah mengeluarkan motor dari sekolah, Aji segera menaikinya dan disusul dengan Kian di bagian penumpang. Aji pun segera mengendarai motornya dengan kecepatan sedang.

Selama perjalanan, tak ada satupun yang membuka pembicaraan. Aji yang fokus berkendara dan Kian yang terpesona memandangi pemandangan Jakarta pada siang hari ini. Maklum, duo introvert.

"Ada yang kamu kangenin gak, Ki, di Jogja?" tanya Aji ketika mereka sampai di lampu merah. Ia sedikit mengangkat kaca helmnya agar bisa melihat wajah sang adik melalui kaca spion.

"Hah?" Kian yang tidak dapat mendengar suara Aji dengan jelas.

"Kamu, ada yang dikangenin gak, di Jogja?" Aji sedikit memelankan tempo dan menaikkan volume suaranya.

Kian ber-oh ria ketika menangkap maksud Aji. Ia terdiam sejenak-lebih tepatnya bergumam, namun, teredam oleh keramaian.

"Ada, Ji. Banyak. Kesukaanku yang ada di Jogja hampir semuanya gak ada di sini."

Lampu jalan beralih menjadi warna kuning, kemudian hijau. Aji lanjut melajukan kendaraannya.

"Berarti kalau disuruh balik kamu mau?"

Kian yang merasa pertanyaan itu tidak perlu dijawab, lantas memilih diam. Ia berpura-pura tidak mendengar, bermaksud menghindarinya. Bagi Kian, pertanyaan itu agak sensitif, karena ia tahu kemana arah pembicaraan setelah ia menjawabnya.

· ◆ ■ ◆ ·

Setelah menempuh perjalanan selama beberapa menit, Aji dan Kian akhirnya tiba di komplek perumahan tempat Aji tinggal.

Deretan rumah-rumah yang memiliki bentuk sama persis berjajar rapi dengan jalanan sebagai pembatasnya. Kian sedikit tidak menyangka seorang anak juragan ayam seperti Aji tinggal di tempat seperti ini.

Aji memarkirkan motor di garasi rumahnya yang terbilang cukup besar untuk menampung mobil maupun motor, lalu mengetuk pintu.

"Bu ... "

Lalu, pintu kayu bercorak flora itu terbuka. Aji dan Kian dapat melihat sosok wanita paruh baya di dalamnya.

"Eh, Kian?" Wanita itu tampak sedikit terkejut melihat sosok Kian berdiri sambil tersenyum manis di belakang Aji. Ia pun hampir melupakan kehadiran sang putra saking terkejutnya.

"Ini bener Kian, kan?"

"Nggih, Bude."

Ria segera meraih tubuh Kian untuk didekap. Wanita itu memeluknya selama beberapa detik, mencoba menikmati harum yang sudah lama tak ia hirup.

Helder Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang