16. Amarah Wijaya

17 2 0
                                    

Suara-suara perwira Jepang bertabrakan umpatan berbahasa Belanda menyumpah serapahi Soekarno saat ditayangkan film Propaganda ditertawai Perwira KNIL, Tapi mataku terbelalak lebar melihat salah satunya mirip Jan Pieter..

Tidak, Tidak mungkin! Batinku mengelak keras hal itu bersamaan cahaya lampu menusuk iris mataku..

Dadaku sangat sesak nafasku tersengal-sengal mataku perih berusaha keras meraba-raba sekeliling dan menemukan bahu kokoh Tirto yang langsung aku cengkram erat-erat..

"Tirto.."

"Ya, Rania? Kau mengingatnya segala tentangku, tentangmu dan tentang Laskar Djava?" Tanya Tirto mengusap rambutku lembut menarik daguku agar menatapnya.

Aku mengangguk lemah "Aku mengingat segalanya tentang diriku, dirimu dan mereka berdua.."

"Aku gagal menuntaskan janjiku untuk menjadi dokter, Nyatanya aku hanya beban bagimu dan mereka." Tuturku melepaskan jemariku dari genggamannya..

Tirto tersenyum hangat menangkup pipi Rania yang semakin basah karena air mata, Dalam pikirannya tidak memikirkan status profesi gadis itu bagaimanapun pertemuan mereka nanti, Kehadiran Rania tumbuh sehat selamat dari maut sudah cukup tidak ada yang lain..

"Apa aku memintamu untuk mendapatkan gelar dokter? Tidak Rania, Ucapanmu saat itu aku amini karena melihatmu tersenyum bersungguh-sungguh dalam menggapainya.. Gadis manis itu sudah berhasil menjadi penulis kritis yang mampu membuat pemerintah Belanda kocar-kacir sudah membuatku berdebar.." Tirto mendekatkan dirinya semakin dekat mengikis jarak antara kami.

"Jangan menggodaku seperti itu, ya?" Peringatku.

"Aku tidak sedang menggodamu Rania, Hatiku berkata jujur.."

"Diamlah To! Apa kau tahu keberadaan Mada sekarang seperti kau memata-mataiku dengan perantara Notono dan Wijaya.. Sewaktu aku berada di Ambarawa." Tanyaku serius padanya dengan bermaksud mengalihkan topik pembicaraan.

"Mada lulusan AMS Bandung mungkin sekarang ia kembali dikampung halamannya Magelang, Ada apa? Kau ingin bertemu dengannya?" Tanya Tirto menatapku ada sorotan netra lembutnya yang mengatakan sesuatu tapi aku tidak dapat membacanya.

"Tidak aku hanya bertanya."

"Maaf aku tidak tahu menahu keberadaan Jan sekarang, Tapi aku yakin hidupnya justru berjuang sendiri disana bersama saudara-saudara bangsa kita."

Berjuang sendiri? Aduh feelingku kok mengarah kesana sih, Pak kumis tipis itu pernah ingin menginvasi Belanda dan mungkin bisa saja dia ikut perkumpulan rahasia yang menjluntrung kearah Tentara KNIL.

Ah Tidak-tidak! Hentikan pikiran bodohmu itu Rania..

"Ada apa, hmm?"

"Enghh—Tidak-tidak!"

"Kau mengkhawatirkan Jan, ya?"

"Tidak To! Aku hanya berpikir saja."

"Kau pasti bertemu kembali dengan mereka setelah waktuku menghabiskan segalanya denganmu, Ada waktunya Rania.. Kau hanya perlu menunggu sabar.."

Menghabiskan waktu bersamanya ya? Pikiranku selalu ambigu menghabiskan waktu bersama melakukan hal-hal positif kan Rania? Merasa peka akan raut mukaku Tirto menggenggam erat jemariku mengusapnya lembut tatapannya benar-benar membiusku.

"Aku tidak akan melakukan sesuatu padamu sebelum waktunya Rania, Percayalah padaku.. Jika aku kehilangan kendali atas diriku tolong sadarkan aku.."

Pipiku memerah padam mengalihkan wajahku kearah lain, Aku mulai melupakan semua tentang Harsa ataupun Zidan dalam pikiranku entah itu karena terbiasa atau tergantikan.

A Past Rania Van Java [ MERDEKA ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang