6

76 11 3
                                    

Setelah berjam-jam syuting MV di dua tempat dan tiga kali ganti outfit, kini Selena termenung di depan cermin walk in closet milik trainee perempuan. Sudah tiga puluh menit ia menghapus make-up-nya dan menghabiskan belasan kapas, sampai-sampai jerawat baru di pipi kanannya memerah—karena diusap terlalu kasar. Ia lantas membasuh muka hingga sebagian kepala, lalu menatap diri yang hanya mengenakan sport bra dan short safety pants itu.

"Shit, masih aja kepikiran," umpatnya sambil mengacak rambut.

Tidak ada yang mengira kejadian saat briefing center beberapa waktu lalu membuat Selena uring-uringan sampai sekarang. Beruntunglah ia masih bisa membedakan urusan panggung dan dunia nyata, jadi performance-nya tak ikut-ikutan kacau balau seperti pikirannya saat ini. Sulit menjelaskan bagaimana hatinya berkecamuk setiap menatap Mikha yang berada tepat di bawahnya, apalagi mereka beberapa kali terlibat eye contact. Entah, seperti ada perasaan malu yang beradu dengan egoisme tinggi dan itu membuatnya deg-degan setengah mati. Sial, ia benar-benar tak suka berutang budi!

Gadis itu lekas berganti pakaian kemudian kembali ke dorm, mengemasi beberapa barang untuk dibawa pulang sebab para peserta diberi libur satu minggu sebelum menerima misi survival yang sesungguhnya. Tidak ada yang memilih tinggal, meski harus ke luar Jabodetabek sekalipun. Well, Selena memaklumi itu, toh berada di sini rasanya seperti dipenjara karena dibayang-bayangi latihan nonstop dan susah mendapat akses informasi sekitar—jarang memegang gadget apa pun.

Saat di lorong, ia tak lagi menjumpai Mikha. Kamar lelaki itu sudah kosong, begitu pula dengan kamar lain. Selena segera turun dan pulang bersama driver ojek online yang ia pesan. Sayang, sampai rumah hanya hening yang menyambutnya. Untung ia memiliki kunci cadangan, jadi masih bisa masuk dan tidak terkapar di jalanan. Ia pun lekas menelepon nomor mamanya.

"Halo, Ma? Kok sepi? Pada ke mana?" Selena menaruh ponselnya di antara telinga dan pundak karena harus mengangkat dan memindahkan barang ke kamar.

"Udah pulang? Mama masih di pasar, Papa lagi ketemu Om Bhanu. Kamu mau nitip apa nanti?"

"Nggak usah. Selena nyusul aja."

Semula Selena dilarang datang dan diminta istirahat saja, tetapi ia menolak dengan alasan 'bosan di rumah'. Tentu, ia berbohong. Kalau boleh memilih, ia ingin bersantai sebab lelah minta ampun. Hanya saja ia tak mungkin membiarkan mamanya kesulitan sendirian saat ia mengetahui itu.

"Lagian mau bantu apa, sih, Len? Kamu lihat ikan mentah aja jijik." Begitulah komentar mamanya saat gadis itu tiba dan tertangkap menutup hidungnya, juga menangkal mual akibat bau amis yang langsung menyerang.

"Ya apa aja, lah."

Selena menerima uang dari pembeli lalu memberikan kembalian. Ia masih sempat tersenyum dan berkata "silakan datang kembali", meski rasanya ingin muntah di tempat kemudian kabur sejauh mungkin. Parfum yang ia semprot di pergelangan tangan nyatanya tak dapat mengusir aroma pasar yang bercampur baur itu.

"Anyway, how's your day, Len?" tanya Fitri, mama Selena, sambil memasukkan beberapa kerang ke dalam plastik.

"Everything's good, Mom. Mama doain aja, Selena pasti bisa menang." Terus debut dan dapat beasiswa, jadi Mama nggak perlu kerja kayak gini lagi, tambahnya dalam hati.

"Syukurlah. Mama dan Papa percaya kemampuan kamu, kok."

Selena tersenyum. Ia refleks memeluk mamanya, tetapi setelah ingat ia seketika menjauh. "Ih, Mama bau ikan."

"Kenapa? Nggak enak? Nih, nih, rasain!"

"Ampun, Ma!"

Fitri justru makin mengeratkan pelukan itu dan membuat Selena bergidik. Si anak terus berusaha melarikan diri, tetapi tetap tidak bisa karena power mamanya begitu kuat. Tawa dari pedagang di kanan-kiri mereka pun bermunculan dan menghangatkan suasana. Selena lantas bersyukur dan membiarkan Fitri berbuat semaunya. Melihat sang mama tetap riang di tengah kondisi seperti ini saja ia sudah bahagia. Ia akan lebih bahagia lagi jika bisa membanggakan mereka dengan menjadi juara Mix and Max.

Di tempat lain, dingin AC dan aroma antibiotik yang menyengat lebih mendominasi ruangan. Beberapa kali para ners berlalu lalang mendorong troli obat lalu singgah memasang infus sesuai yang dibutuhkan—rata-rata untuk kemoterapi. Lain dengan Mikha karena DMARD-lah langganannya. Ia pernah menerima terapi MTX dan injeksi metil, sebelum kini berkutat dengan tocilizumab setiap empat minggu sekali.

Lelaki berkulit pucat itu melepas topi dan maskernya. Ia lantas bersandar pada hospital bed dan membuka tirai sekat antarpasien yang kadang membuatnya sesak. Mikha lebih menyukai suasana terbuka, meski percakapan penghuni tempat ini tergolong basi dan itu-itu saja. Sayangnya sekarang ia hanya ditemani Dokter Arman, dokter spesialis penyakit dalam dengan subspesialis reumatologi yang telah merawatnya sejak kecil.

"Ngatain drip room sepi termasuk keramat nggak, Dok?"

"Kamu kira IGD?"

"Ya barangkali, kan."

Dokter Arman sontak mendengkus dan menggeleng. Ia kembali membaca jurnal pada laptopnya sambil meminum espresso secara perlahan. Mikha pun duduk bersedekap, ikut-ikutan menatap layar padahal ia tidak paham sama sekali. Yang ia tahu, dokter berkacamata itu tengah mempelajari salah satu kasus pasien anak yang serupa dengannya.

"Ada keluhan baru, nggak, selama di sana, Mikh?"

"Nggak ada, Dok. Sama aja."

"Masih tiba-tiba sakit banget dan sering kaku gitu?"

Mikha mengangguk. "Iya, kalau kecapekan."

Dokter Arman menoleh dan menutup laptopnya. "Dari satu sampai sepuluh, berapa nilai rasa sakitnya?"

"Enam, mungkin."

"Itu lumayan banyak, lho. Kamu yakin mau lanjut? Belum telat buat mundur."

Hah .... "Mulai, mulai."

Selain muak dengan obat dan jarum suntik, Mikha juga muak dengan tawaran tersebut. Sebelum ia memutuskan ikut audisi Mix and Max, Dokter Arman dan orang tuanya sudah memperingatkan berkali-kali, meremehkan kesehatannya yang dinilai mustahil untuk berkecimpung di industri hiburan semacam ini. Dulu, mereka fine-fine saja dengan aktivitas TikTok-nya karena hanya sesekali dan ia bisa beristirahat kapan pun yang ia mau. Namun, tidak dengan profesi idol yang terkenal akan schedule superpadat dan melelahkan.

"Kemarin pas aku pengen ikut survival show di Korea nggak dibolehin, sekarang ada di Indonesia mau nggak dibolehin juga? Ini impianku, Bu," tawarnya waktu itu. Akhirnya, mereka membuat kesepakatan yang Mikha usahakan mati-matian hingga detik ini. Jadi, meski ia mengaduh sakit seribu kali pun, ia tidak akan menyerah.

"Sebagai doktermu, saya hanya mengingatkan. Rheumatoid arthritis itu nggak bisa dianggap remeh. Kamu harus sayang badan. Kalau frekuensi rasa sakitnya makin menjadi-jadi, langsung istirahat dan minum obat, atau bila perlu minta kru acara buat hubungi saya atau ibumu."

"Iya, Dok. Paham."

"Halah, yang bener?"

Bukannya menjawab, Mikha justru tersenyum licik kemudian tertawa lepas. Dokter Arman seakan tahu apa yang sebenarnya ia lakukan. Boro-boro istirahat, yang ada ia terpacu untuk menghabiskan sisa-sisa energi yang dimiliki. He got nothing to lose.

"Capek itu risiko, Dok. Namanya juga lagi ngejar mimpi. Pasti ada pengorbanannya."

"Iya, tapi segala hal yang berlebihan, kan, nggak baik."

"Meskipun itu suatu kegigihan?"

"Gigih dan 'nggak sadar diri' itu ada bedanya, Mikh."

Mikha kembali tertawa. Ia memilih kalah dan menghentikan percakapan itu. Lama-lama ia merasa pusing dan mual, entah karena efek samping obat atau omongan Dokter Arman yang membuatnya kepikiran misi selanjutnya. Status unwanted sungguh menghantui masa liburnya saat ini.


Disease Modifying Antirheumatic Drugs; kategori obat yang sering digunakan untuk mengobati kondisi auto-imun, seperti artritis reumatoid dan lupus eritematosus sistemik.

Methotrexate; anti-metabolit yang paling umum digunakan dalam kemoterapi dan imunosupresan pada penyakit autoimun.

Methylprednisolone; obat untuk meredakan peradangan pada berbagai kondisi, termasuk radang sendi, radang usus, asma, psoriasis, lupus, hingga multiple sclerosis.

We Shouldn't be Together ✔ [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang