I: Adaptation

178 55 21
                                    

Welcome to chapter I
Vote dulu sebelum baca
Happy reading

Kota Ordwen adalah kota yang unik, mereka menerapkan banyak sistem untuk menghadapi pemanasan global yang sangat ekstrem. Salah satu system tersebut ialah memutuskan aliran listrik seluruh kota selama kurang dari tiga hari.

Kali ini jam malam diberlakukan. Siapa sangka tidak akan ada listrik lagi selain di jam malam. Itu artinya, disisa-sisa menuju fajar terbit hingga berangsur-angsur terbenamnya kembali tak akan ada listrik sama sekali. Awalnya kebijakan ini cukup mengganggu, namun dikeluarkannya kebijakan tambahan yaitu pembatasan watt listrik di mana tegangannya begitu rendah menjadi jalan yang dipilih pemerintah untuk menghadapi protes dari masyarakat. Pasalnya, akan ada beberapa kegiatan yang memerlukan listrik meskipun seminim mungkin.

"Ah, ini sangat gila. Malam hari pun rasanya sangat panas bagiku," keluh seorang gadis remaja dengan penampilan yang begitu kacau. Jika dideskripsikan, semua orang jelas tahu ia tak siap sekolah. Kaki baju yang dikeluarkan, dasi yang entah kemana, rambut yang disanggul asal, serta almamater yang entah bagaimana telah menjelma menjadi kipas darurat.

Tidak, tidak berhenti sampai di situ. Yang membuat gadis itu terlihat lebih menyedihkan lagi adalah bagaimana caranya berjalan. Langkah kakinya terlihat begitu berat dan dipaksakan, lebih sering ia menyeretnya. Ini bukan karena ia lelah berjalan, siapa pun yang dapat melihat wajahnya saat ini akan mengerti kalau gadis itu tampak kacau karena kurang tidur. Kantung matanya tercetak jelas, menghitam di atas kulitnya yang putih pucat. Matanya pun lelah sekali, bisa membuat siapa saja yang memperhatikannya khawatir mata tersebut akan menutup dalam beberapa kedipan lagi.

"Hawanya memang panas," balas temannya.

Saat ini mereka berjalan menuju sekolah jam malam. Klise untuk percaya bahwa ini memang fakta. Akibat pemanasan global yang entah masih lazimkah ia disebut pemanasan global sementara cuaca panas yang ditimbulkan memberi dampak tak lazim, hawa yang semestinya sejuk dan menyegarkan saat malam hari telah kurang didapatkan. Untuk saat ini, udara yang berembus dimalam hari pun seperti saat kau menyalakan penghangat ruangan di sudut rumahmu.

"Ya, ditambah aku mengantuk sekali. Apa ada hal yang lebih buruk lagi dibanding ini?"

Lawan bicaranya memandangnya iba, kemudian perlahan ikut melepas almamater yang ia kenakan. Gadis bernama Niana Grevana Mariska sesuai nametag nya itu kembali bersuara, "apa kau masih belum bisa tidur?"

Yang ditanya mengangguk saja sambil sibuk mengibas-ngibaskan kipas daruratnya.

"Bukannya biasa saja? Kenapa kau sulit sekali beradaptasi?" tanya Greva lagi.

Lawan bicaranya berhenti berjalan.

Greva meliriknya sebentar, memasang mimik wajah seakan bertanya 'apa yang kau lakukan? Mengapa kau berhenti?'

"Tidak!" teriaknya. Matanya melotot ngeri. "Apanya yang kau sebut biasa saja? aku merasa seperti ayam yang sedang dipanggang, tahu. Ide jam malam yang mengharuskan kita mengubah jam tidur kita ke siang hari itu ide gila!"

Greva abai, ia melirik arlojinya dan berdecak pelan. "Baiklah, Hania, kalau kau sulit beradaptasi jangan malah kesal padaku. Ayo kita bergegas," ucap Greva sembari menarik tangan Hania untuk kembali berjalan lebih cepat.

Di sepanjang jalan menuju sekolah, Hania terus mengeluh karena rasa kantuknya.

Hari ini hari pertama mereka masuk sekolah pada jam malam. Sebagai informasi, sekolah-sekolah di kota Ordwen telah kekurangan banyak tenaga kerja dan jumlah kehadiran siswa-siswi kian merosot setiap harinya. Hal tersebut bahkan dialami SMA Ordwen, SMA yang berada di tengah-tengah kota dan digadang-gadang sebagai SMA paling disiplin.

GLOBAL WARMINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang