VI: La la land

109 28 7
                                    

Welcome to chapter VI
Vote dulu sebelum baca
Happy reading

Greva tak tahu mengapa rencananya berburu jajanan di taman kota setelah keluar dari bioskop diikuti oleh empat orang yang saat ini tengah mengekor di belakangnya.

Jarak mall store and cinema yang beberapa menit lalu mereka kunjungi hanya terhitung kurang dari sepuluh menit berjalan kaki ke taman di pusat kota.

Fadhel, Martin, dan Hania mengisi kekosongan perjalanan mereka dengan banyak sekali celotehan yang cukup mengocok perut. Frezy yang berjalan paling belakang menyimak dengan sesekali berkomentar, sementara Greva sendiri hanya diam-diam cekikikan dan menuntun jalan paling depan. Ia hanya tak percaya bagaimana hatinya merasa lebih hangat dengan keakraban teman-temannya- lumayan lucu, batinnya.

Sangat disayangkan bahwa Eris tak dapat ikut serta bersama mereka saat ini, sebab, menurut kesaksian sopir pribadinya, bahwa nyonya Franda, yakni ibunya tengah menunggu anak gadis semata wayangnya itu pulang segera- tepat ketika film yang mereka tonton selesai.

Hal pertama yang Greva lakukan saat menginjakkan kakinya di area taman ialah mencari tempat peristirahatan yang bisa ia gunakan bersama teman-temannya. Matanya menjelajahi seluruh penjuru taman, menyisir segala sudut-sudut taman kota yang cukup padat, sementara kakinya terus melangkah tanpa berhenti.

"Kalian mau duduk di mana?" tanya Greva akhirnya menoleh ke arah teman-temannya yang asik mengamati tenda-tenda serta outlet makanan yang mereka lalui.

"Aku melihat tempat duduk kosong di sana," jawab Martin, dagunya maju menjadi isyarat penunjuk.

"Ah, yang di situ juga bisa!" seru Hania menunjuk bangku yang lebih dekat dari mereka.

"Kalian suit dulu kalau begitu," ungkap Fadhel.

"Hei, kau ingin bangku kosong itu jadi milik orang lain saat mereka sedang suit?" protes Greva.

"Yang kalah traktir yang menang, bagaimana?" tawar Martin tak menghiraukan protes Greva pada Fadhel.

"Kalau begitu aku juga akan ikut!" seru Fadhel semakin bersemangat.

"Jadi begini, ya, rasanya orang gila bertambah satu," keluh Greva.

Sebelum mereka bertiga menjulurkan tangan ke depan, Frezy dengan sigap menampar satu-persatu punggung tangan mereka. "Kita duduk di sana saja," finalnya.

Frezy memimpin ke tempat di mana Hania menyarankan bangku tersebut beberapa waktu lalu yang disetujui oleh semuanya.

"Baiklah! Jadi, Martin, kau akan mentraktirku?" tanya Hania mendudukkan bokongnya dengan sempurna.

"Eh? Kenapa jadi begitu?" tanya Martin heran.

"Frezy memilih tempat yang aku tunjuk, itu sama saja dengan kemenanganku yang mutlak."

"Kesepakatannya, kan, kalau kita suit!"

Hania pun tertawa ringan, ia kini memiliki teman baru yang bagus untuk diusili. Di sisi lain, Martin memikirkan bagaimana bangku taman itu mampu menampung mereka berlima tanpa duduk berdempetan.

Seolah membaca pikirannya, Hania melepaskan scarf yang ia kenakan dan menghamparkannya di rumput segar tepat depan bangku mereka. "Setidaknya itu cukup bagi satu atau paling banyak dua orang," ujarnya melihat Martin dan yang lain terus saja berdiri.

"Aku tidak akan membiarkan kalian, teman-temanku tersayang, untuk langsung duduk di atas rumput yang cukup kotor seperti yang orang-orang lakukan," tambah Hania sambil mengibas-kibaskan tangannya.

GLOBAL WARMINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang