Welcome to chapter II
Vote dulu sebelum baca
Happy reading"Apa yang seharusnya aku pesan?" tanya seorang remaja yang kini menuntun langkahnya secara tidak sabar menuju salah satu meja di Cafetaria.
Frezy yang mengekorinya sedari tadi menjawab acuh, "mana aku tahu seleramu."
Remaja itu pun mendadak berhenti, membuat Frezy hampir saja menubruknya dari belakang.
"Apa?" tanya Frezy.
"Yang benar saja, apa kau tak punya rekomendasi makanan untukku yang notabanenya masih murid baru ini?!"
Frezy menghela napas. Sebetulnya ia tipe orang yang tak suka direpotkan. Ia juga jarang sekali bergaul dengan teman-teman sebayanya. Frezy pikir sulit menemukan seseorang yang akan membuatnya keluar dari zona nyamannya saat ini. Ia lebih suka menyendiri menyibak tirai perpustakaan sambil membolak-balikkan halaman buku sejarah yang hampir lapuk dimakan usia.
Jika para remaja saat ini kecanduan video game, ia justru memanfaatkan ponsel pintarnya sebagai salah satu alat penimba ilmu dengan mengaktifkan aplikasi pengatur schedule harian dan lebih banyak menggunakannya untuk menonton video tutor pembelajaran.
Kini berdiri sosok Martin di hadapannya, sibuk mengetuk pintunya yang selama ini selalu menarik diri, menolak segala bentuk ajakan, dan berakhir menjadi orang yang anti sosial.
Martin adalah teman kecilnya sejak di taman kanak-kanan hingga sekolah dasar, sebelum Frezy memutuskan untuk pindah ke kota Ordwen. Tak disangka takdir mempertemukan mereka kembali di sini, di tengah-tengah bencana ekstrem yang melanda dunia.
Yang lebih lucu lagi dari takdir ini ialah seolah Cupid melesatkan panahnya untuk mereka berdua. Martin dan dirinya mendapat satu ruangan kelas yang sama, pun dengan pembagian kelompok secara acak.
Alam bawah sadarnya mengingatkan untuk tak perlu terlalu peduli pada orang lain. Namun, beberapa pertahanan yang Frezy bangun itu goyah, tak lama lagi runtuh dengan kehadiran Martin yang berisik.
Teman masa kecilnya ini menyalakan alarm dalam tubuhnya, suara-suara Martin akhir-akhir ini memenuhi isi kepalanya setelah sebelumnya hanya berisi perang dalam dirinya sendiri.
"Coba aku pikirkan dulu," ucap Frezy, dahinya sepersekian detik mengkerut. "Aku tidak memiliki menu tetap. Setiap harinya aku memakan makanan di mana antreannya paling sedikit dari yang lain," aku Frezy.
Martin ingin sekali menepuk jidatnya, pertanda ia lelah dengan segala hal tentang Frezy yang membosankan. "Ya, aku tak seharusnya bertanya kepada orang kuno sepertimu."
Frezy yang mendengarnya ingin sekali tertawa. Kuno? Dia tak bisa menampik. Mungkin kedepannya dia sangat butuh belajar cara menjadi orang yang supel dan ramah.
"Kita akan mengantre di kantin yang antreannya paling banyak!" putus Martin.
"Eh? Maksudnya? Tadi kubilang padamu aku sering makan di kantin yang antreannya paling sedikit."
"Iya aku dengar," ucap Martin membalikkan tubuhnya berjalan ke arah meja yang kosong. "Kalau antreannya banyak, itu artinya makanannya enak, bukan?" lanjutnya.
"Kau akan mengantre sampai jam istirahat habis?" tanya Frezy yang lagi-lagi mengekorinya.
"Persetan dengan bel masuk kelas nanti. Siapa yang bertanggung jawab jika muridnya mati kelaparan di tengah bencana dunia ini?"
"Dramatis sekali."
"Kau tunggu di sini, aku akan pergi ke kantin sebelah sana." Martin menunjuk salah satu kantin yang menjual gyoza hot pot sebagai menu utamanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
GLOBAL WARMING
RandomPernahkah kalian membayangkan keadaan kota sangat sepi, sunyi, dan tidak ada seorang pun yang berani menampakkan dirinya di luar rumah saat matahari mulai terbit? Global Warming. Dua kata sederhana yang berhasil mengurangi populasi manusia secara dr...