9

96 21 4
                                    

Aku tidak langsung dikaruniai anak begitu menikah dengan Law.

Kami menunggu cukup lama. Saat itu aku ada di penghujung usia 19 tahun, hanya hitungan bulan usiaku genap 20 tahun.

Ketika tiba-tiba aku merasa mual begitu bangun tidur, lalu aku lemas setelah muntah-muntah, Law memanggil tabib istana Kerajaan Barat.

Benar, Kerajaan Barat. Raja sebelumnya memutuskan langsung mengangkat kami sebagai Raja dan Ratu baru setelah pernikahan kami. Karenanya, aku kini tinggal di Kerajaan Barat.

Secara aturan, aku dan Law akan menjadi Kaisar dan Permaisuri Kekaisaran Selatan saat ayahanda dan ibundaku turun takhta. Jika begitu, maka sudah kesepakatan kedua wilayah untuk menyatukan wilayah Barat dengan Selatan.

Namun, itu tidak akan terjadi karena aku meninggal di usia 20 tahun.

"Selamat, Yang Mulia. Yang Mulia Ratu tengah mengandung." Ucapan tabib itu bagai pemercik kebahagiaan kami.

Saat itu, aku langsung memeluk Law, menangis keras, dan Law balas memelukku, menciumi pucuk kepalaku. Dia juga menangis bahagia. Kondisiku yang selalu suram karena dihantui perkataan selir seakan lenyap.

Aku melupakan percakapan 10 menit itu hingga kandunganku memasuki bulan kesembilan.

Bagai air yang mengalir, aku kembali mengingat sejak pertemuan pertamaku dengan selir itu hingga pesan di perkamen mencurigakan.

Mentalku terguncang. Kondisiku mendadak menurun. Cemas berlebihan.

Law berkali-kali bertanya apa yang aku pikirkan, tapi aku adalah seorang pengecut. Tidak ada keberanian untuk mengungkapkannya pada suamiku.

"Luffy-ya, jika begini, kau juga bayi kita bisa dalam bahaya. Kumohon, hm? Katakan. Aku ingin membantu meringankan beban pikiranmu." Law mengelus pelan punggung tanganku dengan ibu jarinya, lalu perlahan mengangkatnya, menciuminya.

Aku menggeleng lemah. Kini aku hanya bisa bersandar di ranjang, berjalan-jalan sebentar, tidak kuat untuk beraktivitas lain.

"Sayang...." Iris emas Law terlihat sedih.

Aku menggigit bibir, merasa bersalah. Namun, lagi-lagi tidak berani kukatakan padanya. Memang perkataan selir itu tidak memiliki bukti, belum tentu terjadi, tetapi bayangan Law yang akan menderita saat tahu aku harus dikorbankan menciutkan nyaliku.

"Hei... jangan menangis...." Dia mengusap setetes air mata yang jatuh. "Apa itu sungguh sulit dikatakan?"

Aku mengangguk pelan, menatapnya khawatir. "Aku... aku sudah bisa membayangkan ekspresi Torao jika Torao mendengar ini. Itu ekspresi yang tidak ingin kulihat."

"Bukankah itu karena Luffy-ya terlalu cemas? Aku belum tentu akan berekspresi seperti bayangan Luffy-ya." Dia tersenyum, perlahan mengusap kepalaku.

Aku kembali menggigit bibir. Sebelah tanganku refleks mengelus perut besarku.

"Torao, jika Torao harus memilih satu di antara dua, yang mana yang akan Torao pilih? Jika Torao harus memilih aku atau kemakmuran Kerajaan Barat, yang mana yang akan Torao pilih?"

Law terdiam. Matanya menyiratkan bingung dan kaget karena pertanyaan mendadakku.

"Seandainya aku juga harus memilih, antara diriku dengan Kerajaan Barat, aku akan memilih Kerajaan Barat, Torao...." Aku tersenyum sendu. "Lebih baik aku saja, satu orang saja yang--"

"Aku akan memilih Luffy-ya." Sorot mata Law bersinar tegas. "Tidak perlu dipikirkan dua kali, aku akan memilih kekasihku."

Sontak aku menggeleng. "Torao tidak boleh mengorbankan kehidupan yang ada di Kerajaan Barat untukku."

My UniverseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang