7

109 19 15
                                    

Usiaku 17 tahun saat aku bertemu dengan penghuni baru salah satu paviliun di Kerajaan Barat.

"Torao, ada yang baru pindah?" Aku bertanya, menunjuk saat melihat kesibukan di paviliun itu. Dayang-dayang, prajurit hilir mudik mengangkut kotak-kotak, peti, dari kereta kuda.

Kami sedang berjalan-jalan sekitar Istana Putra Mahkota Kerajaan Barat.

Law di sebelahku terdengar menghela napas kasar. Dia mendadak menarikku menjauh dari sana. "Jangan dilihat, jangan temui penghuninya, dan jangan bicara dengannya. Dia adalah selir baru ayahanda."

Mataku membulat, refleks menoleh ke belakang, melihat siluet seorang pria berpakaian menor. Tapi hanya sedetik, Law sudah menangkup wajahku, menolehkan ke arahnya.

"Luffy-ya, dengar aku?"

Aku melihat mata emasnya yang terlihat kesal, mengangguk pelan. Tanganku berpegangan kokoh pada lengannya. "Torao benci pada selir itu?"

Dia memutar bola matanya. "Tidak juga. Hanya saja aku tidak mengerti keputusan ayahanda mendadak mengangkat selir baru ketika anaknya sudah berusia 24 tahun. Apa ayahanda mau ada perebutan takhta?"

"Eum, sepertinya bukan itu maksud ayahanda?" Aku mengelus, meremas pelan lengannya, menenangkannya. "Apa Torao sudah tanya alasan ayahanda?"

"Sudah. Katanya ada tujuan khusus dibalik pengangkatan selir baru." Law menoleh, menatap wajahku, tersenyum kecil. "Luffy-ya tidak perlu memikirkan ini. Nanti pusing."

Aku cemberut, memeluk erat lengannya, menyandarkan kepalaku di pundaknya yang lebar. "Begini begini aku juga Putra Mahkota, Torao. Aku juga membantu ayahanda mengurus dokumen-dokumen kekaisaran."

"Hm?" Law tampak menyeringai. "Benarkah? Bukannya Putra Duke Roronoa yang lebih banyak mengerjakannya?"

Aku segera mengalihkan pandangan. "Tidak juga. Zoro hanya membantuku," gumamku.

Reaksiku membuatnya terkekeh. Dia mengusap-usap pucuk kepalaku lembut, mengecupinya. "Tak apa. Saat kita menikah nanti, Luffy-ya santai-santai saja. Biar aku yang mengerjakan tugas negara, hm?"

Aku semakin cemberut. "Tidak mau! Jangan meremehkanku, Torao!"

Dia terkekeh lagi, kali ini lebih kencang. Sudah tabiatnya yang suka menggoda-godaku.

"Wah wah, siapa ini? Yang Mulia Putra Mahkota, dan tunangannya?"

Tawa Law tersumpal. Aku menoleh ke belakang, menemukan seorang pria yang tadi kulihat memakai pakaian menor. Namun, pandanganku segera terhalangi oleh Law yang memasang badan di depanku.

"Torao?" Aku mendongak, menatap punggungnya.

"Salam, Yang Mulia." Pria itu terlihat membungkuk hormat, tetapi entah mengapa aku merasa dia sedang bermain-main.

"Untuk apa kau muncul di hadapanku?" Law mendesis, membuatku mengerutkan dahi.

Sebenarnya dia benci atau tidak pada pria itu?

"Oh, Yang Mulia, saya hanya ingin menyapa Putra Mahkota dari Selatan."

"Tidak perlu. Tunanganku tidak punya urusan dengan kau." Law semakin menghalangi pandanganku. "Pergilah selagi aku bicara baik-baik."

Pria itu tertawa kencang. "Posesifnya.... Padahal kita akan menjadi keluarga di saat Anda menikah, bukan begitu?"

"Tutup mulutmu!" Law mengepalkan tangan. "Ingat statusmu, Doflamingo. Jangan bermimpi menjadi keluarga kerajaan. Selir hanya peneman sementara. Masih untung ayahanda memberikan paviliun, bukan kandang kuda."

Lalu Law menarik tanganku, menjauh. "Ayo, Luffy-ya. Jangan buang waktumu meladeninya."

Aku hanya mengekori, sempat menoleh ke belakang, melihat pria itu menyeringai. Dia sama sekali tidak terlihat tersinggung dengan perkataan Law.

My UniverseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang