03. TLAIR

224 33 0
                                    

Banyak teka-teki memenuhi pikiran Aran. Apakah kakaknya benar-benar bangkit kembali, atau apakah pahlawan itu hanya mirip dengan kakaknya? Mengapa Haran memusuhi kekaisaran Assyria? Apakah karena mereka mencuri cerita Aran dan mengapa kisahnya dipalsukan? Dan, mengapa Haran bergelar Pendragon?

Buku sejarah yang dibaca Aran menyembunyikan terlalu banyak fakta. Haran tiba-tiba menghilang setelah hampir berhasil menghancurkan kekaisaran Assyria, dan buku itu tidak menjelaskan alasan kemurkaannya.

Isinya hanya menonjolkan beberapa nama dari beberapa kekaisaran, seolah-olah menggiring opini bahwa semua kekuatan tempur kekaisaran setara, mungkin untuk mencegah perang?

Situasi ini semakin memperumit keadaan bagi Aran yang ingin memuaskan rasa penasarannya, tetapi malah semakin penasaran.

"Tuan Muda, Anda sudah membaca selama 5 jam. Mata Anda sudah kelelahan, sebaiknya Anda segera beristirahat," ujar Kharis, penjaga perpustakaan, sambil menatap khawatir Tuan Mudanya yang terlalu lama menenggelamkan diri pada buku yang tidak sesuai dengan usianya.

Aran mengangguk. Memaksakan diri juga tidak membuatnya mendapatkan jawaban sekarang. "Beritahu Laine untuk menyiapkan air hangat untukku, aku mau berendam," katanya.

Kharis langsung melaksanakan perintah Tuannya. Sementara itu, Aran kembali menyimpan buku sejarah tebal itu di tempatnya semula dan berseru, "Hm, waktunya bermalas-malasan!"

Setelah melewati hari yang menguras pikiran, berendam memang pilihan terbaik. Aran menyeka surai hitamnya ke arah belakang dengan pelan, menikmati hangatnya air yang membuat tubuhnya perlahan-lahan semakin rileks.

Jangan terlalu dipikirkan, sering berjalannya waktu Aran yakin dia pasti bisa memecahkan berbagai misteri yang mengganjal pikirannya. Tenanglah, jernihkan pikiran semakin dipikirkan malah akan semakin membuat stres.

"Memangnya aku tipe orang yang tenang?! aku sudah penasaran setelah mati sialan!" Air hangat menenangkan apanya Aran merasa hampir gila karena penasaran.

Anak itu mengambil handuk putih yang sangat lembut lalu membalut tubuh kecilnya. Laine, pelayan pribadinya sudah siap membantunya mempersiapkan diri untuk makan malam.

Sore ini Ayahnya kembali dari pemeriksaan wilayah yang telah berjalan selama beberapa bulan. Seorang Duke memang sangat sibuk, jangankan bertemu Putranya, bertemu Istrinya saja sangat susah.

Aran yakin sekarang Ayahnya itu tengah bermanja-manja dengan Dewinya, menyebalkan sekali.

Laine tersenyum lembut saat melihat Tuan Mudanya. Baginya, waktu berlalu begitu cepat. Tak terasa, Tuan Muda akan segera berusia 8 tahun, usia di mana ia akan mulai menerima pendidikan sebagai penerus. Laine merasa belum siap melihat anak kecil ini terbebani oleh beban belajar yang berat.

Pendidikan untuk pewaris keluarga Duke memang berat, terutama kelas berpedang. Bayangkan saja, seorang anak berusia 8 tahun yang seharusnya hanya bermain pedang-pedangan, harus berlatih ilmu pedang sungguhan.

Mungkin lahir sebagai rakyat jelata tidak sesial itu, setidaknya mereka dapat menikmati masa kecil yang bahagia dengan bermain bersama temannya, tanpa harus menjaga sifat kekanak-kanakannya untuk terlihat elegan atau berkharisma.

Aran memiringkan kepalanya, bingung. "Laine, apa belum selesai?" tanyanya, heran mengapa kali ini Laine lama sekali padahal biasanya tidak selama ini.

Gadis muda itu tersentak, sadar bahwa dia telah mengkhayal selama jam kerjanya. Sangat tidak kompeten. "Ah... ya, sudah selesai, Tuan Muda," jawabnya.

Aran mengangguk, lalu mulai berjalan menuju ruang makan untuk makan malam.

-

"Aran, aku dengar kamu membaca buku sejarah dari siang hari. Apakah kamu tertarik di bidang itu?" tanya Erden sambil menyeka bibir dengan anggun menggunakan serbet yang disediakan.

Aran mengangguk pelan sambil ikut membersihkan bibirnya. "Aku cukup tertarik, Ayah. Apakah Ayah memiliki buku yang lebih lengkap? Ada banyak hal yang membuatku penasaran."

Erden, yang sempat berpikir bahwa Kharis hanya membual tentang Aran yang membaca buku rumit untuk anak sebayanya, kini mulai percaya. "Buku yang kamu baca itu sudah termasuk lengkap, Aran. Isi buku yang di pasaran bahkan tidak sampai setengah dari buku itu. Namun, jika kamu ingin buku yang lebih lengkap, mungkin kamu bisa menemukannya di perpustakaan Kekaisaran."

"Tapi, Laine bilang tidak sembarang orang bisa masuk ke perpustakaan kekaisaran," timpal Aran.

"Benar," sahut Erden, "tapi kamu pikir keluarga Duke termasuk orang sembarangan?"

"Oh! Aku lupa bahwa aku ini anak Duke," ujar Aran, kehidupannya sebagai pemburu Mutan belum sepenuhnya terhapus di dalam pikirannya, membuat dirinya terkadang lupa akan identitas barunya.

Erden hanya menggelengkan kepala, terkadang putranya itu seakan tidak terbiasa dengan kehidupannya sebagai pewaris keluarga Duke.

Erina, yang baru saja selesai makan, akhirnya ikut bertanya, "Lagipula, kenapa kamu tiba-tiba tertarik dengan sejarah, Aran?"

Aran terdiam sejenak, mencari alasan yang masuk akal untuk anak seusianya. "Aku penasaran dengan kisah para pahlawan, Ibu."

Erina memicingkan netra violet miliknya, instingnya sebagai ibu meragukan jawaban putranya. Namun, dia menghela nafas dan memilih untuk menerima jawaban Aran. Lagipula, bukan hal buruk jika Aran tertarik akan sesuatu, mengingat sejak kecil dia selalu bermalas-malasan dan tidak menunjukkan minat pada apapun.

"Apa aku boleh ke perpustakaan kekaisaran?" tanya Aran, memandang ibu dan ayahnya secara bergantian, mencari persetujuan.

"Usiamu belum cukup untuk meninggalkan kastil, Nak," jawab Erden. Aran menatap ayahnya dengan rasa tidak puas. Seorang Anak bangsawan baru dapat meninggalkan kediaman keluarganya setelah berusia 8 tahun.

"Apa ayah tidak bisa membawakan buku sejarah yang lengkap itu untukku? Kumohon?" Aran tidak menyerah membujuk ayahnya, dia sudah terlalu penasaran.

Erden mempertimbangkan jadwalnya yang sangat padat dan perjalanan ke ibu kota yang bisa memakan waktu beberapa hari. "Mungkin itu sedikit suli—"

"Tentu saja ayahmu bisa membawanya untukmu. Benarkan, sayang?" potong Erina, menekankan di akhir kalimatnya dan memberikan lirikan tajam pada suaminya. Dia tidak mungkin mematahkan semangat Aran yang ingin belajar hal baru.

Erden tertawa canggung dan mengangguk. menyeramkan sekali Istrinya itu. "Ayah akan membawanya setelah menyelesaikan beberapa dokumen penting. Ayah janji akan menyelesaikannya dengan cepat." Bagaimanapun dia tetap seorang Duke yang harus menyelesaikan tanggung jawabnya untuk kesejahteraan para rakyat di wilayahnya.

Aran mengangguk mengerti, bertetapan dengan masuknya pelayan yang membawa hidangan penutup.

Aran menikmati satu suapan dessert stroberi favoritnya sambil memikirkan berbagai misteri tentang kakaknya. Aran memutuskan bertanya, "Omong-omong, siapa pendiri keluarga ini? Apakah Haran sang pahlawan?"

Duke menggeleng pelan, "Bukan, dia hanyalah anak angkat dari pendiri keluarga Argon Pendragon. Jika kamu ingin tahu lebih banyak, kamu bisa meminta buku tentangnya dari Kharis."

"Baik, Ayah," sahut Aran, lalu ia kembali fokus pada dessertnya. Sekarang, di era tanpa Mutan yang memburu manusia, tidak ada salahnya Aran bisa bersantai sedikit kan? Ia tidak memiliki beban untuk melindungi makhluk bumi lagi, tetapi dendamnya terhadap para Mutan belum terhapuskan.

Aran masih ingat saat para Mutan melahap keluarganya hidup-hidup, dan rasa sakit dari kehilangan anggota tubuhnya juga masih terukir di benaknya. Ia berharap dendamnya akan reda seiring waktu, karena Mutan yang menjadi sosok sasaran utama dendamnya sudah musnah.

Namun, bagaimana jika Mutan ternyata masih tersisa?

The Lazy Aran Is RebornTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang