Chapter 6 - Tak Terduga

17 3 1
                                    


Pagi ini benar-benar cerah. Bertepatan dengan kegiatan Rumah Sakit Jiwa Surai Asa yang baru saja melakukan senam pagi. Saat ini semua pasien diberikan jam bebas di luar ruangan untuk berkomunikasi dengan perawat. Saka baru saja melangkahkan kakinya di halaman rumah sakit. Ia duduk di kursi putih. Memendarkan tatapnya. Namun, tiba-tiba ponselnya berdering.

"Halo!" ucap Saka. "Sudah ketemu keberadaannya?"

Tatap Saka menerawang ke depan. Hingga ia menemukan Anaya yang berbicara dengan salah satu pasien. Perempuan itu seperti menjelaskan sesuatu. Sepanjang biacaranya perempuan itu terus tersenyum.

"Terima kasih, hubungi saya lagi nanti." Saka mengakhiri pembicaraan di ponselnya. Matanya masih tertuju pada Anaya. Perempuan yang akhir-akhir ini banyak berkomunikasi dengannya. Saka tidak pernah memperhatikan Anaya selama ini. Yang ia tahu Anaya adalah salah satu dokter yang memiliki kinerja cukup baik.

Anaya begitu fokus berbicara dengan pasiennya. Pandangan Saka bergeser pada salah satu pasien laki-laki di belakang Anaya. Ia melemparkan batu pada genangan air. Laki-laki itu tampak senang karena cipratan air yang dihasilkan karena lemparan batunya. Hingga batu itu ia lemparkan ke beberapa perawat yang sedang berbicara dengan pasien yang lain.

Saka hanya melihat saja karena merasa masih cukup terkendali. Namun, tubuh Saka mulai menegak ketika pasien laki-laki itu mulai mengambi batu yang cukup besar dan ia seperti mencari target untuk di lempar. Pasien itu tertawa sambil menatap Anaya. Jarak Saka dan Anaya luamyan jauh. Baru saja Saka bangkit dari duduknya, sudah ada sosok Gian yang menghentikan aksi pasien laki-laki itu. Saka menghentikan gerakannya dan menghela napas lega.

Anaya menoleh dan cukup terkejut. Pasien laki-laki itu memberontak karena tidak terima. Beberapa perawat kemudian datang untuk mengamankannya. Saka melihat Anaya kini sedang berbicara dengan Gian. Entah membicarakan apa, mereka malah duduk berdua. Saka kembali duduk di posisi semula.

"Saya boleh duduk di sini, Dok?" tanya seseorang yang mengenakan baju pasien.

"Vla, duduklah!" Saka tersenyum.

"Terima kasih."

Saka memperhatikan pasiennya. Ia menjadi salah satu dokter yang bertanggung jawab atas Stevlanka. Saka sering berbicara dengannya. Ia sudah menganggap seperti adiknya sendiri. Saka melihat tangan Stevlanka. Masih ada beberapa goresan luka di sana.

Saka meraih tangan Stevlanka. Ia tersenyum pada gadis itu ketika ia menoleh. "Ketika goresan-goresan luka di tangan kamu ini menghilang, itu tandanya kamu sudah bisa menguasai diri kamu tanpa menyakiti diri kamu."

"Masih ada lukanya, Dok, saya masih berusaha," jawab Stevlanka.

"Iya, itu harus."

"Entah kapan saya bisa keluar dari sini." Stevlanka menunduk.

"Jangan pernah merasa buruk karena berada di sini. Di sini kamu untuk sembuh, kan?" Saka kembali berbicara ketika Stevlanka menoleh. "Kamu bisa melalui semuanya ketika kamu bisa menerima diri kamu."

Stevlanka tersenyum.

"Dok, boleh saya memberi tahu satu hal?"

"Apa?"

"Selamatkan Dokter Anaya."

***

Anaya sedari tadi tidak berhenti tertawa karena ulah pasiennya. Ia sedang duduk dengan pasien laki-laki yang sudah berumur. Mungkin sudah seumuran kakeknya. Rambutnya yang sudah memutih. Pasien itu benar-benar antusias bercerita.

"Pak, Bapak sepertinya benar-benar disayang sama cucu cucu Bapak." Anaya mengatakannya sambil tersenyum.

"Iya, kami selalu bercerita banyak hal. Dulu semuanya terasa begitu sempurna. Setelah istri saya meninggalkan saya, dunia saya juga terasa hilang. Saya tidak mempunyai arah, tidak bisa mengontrol diri, dan berakhir di sini." Tatapan psien itu kini berubah sendu.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Apr 15 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

SILAMWhere stories live. Discover now