Anaya percaya radar kepekaan laki-laki begitu minim. Sesuai pengalamannya sendiri, begitu juga cerita dari teman-temannya. Biasanya laki-laki akan sadar ketika perempuan menyatakannya secara gamblang ketika ada hal yang salah. Namun, sepertinya Saka berbeda.
"Ada apa? Kamu tidak enak badan?"
Gila, ya? Bener-bener peka banget ini orang. "Sedikit."
"Telat makan?"
"Sepertinya."
"Di kursi belakang itu ada paperbag, isinya ada air mineral dan roti, mungkin bisa mengganjal perut."
Anaya menoleh ke belakang, dan memang benar di sana ada paperbag. "Dokter sengaja membawanya?"
"Iya, saya tahu kamu pasti menunda makan. Kita di perjalanan jauh, jadi saya sengaja membawa itu."
"Wah!" Anaya berseru kagum. "Ternyata care juga."
"Karena kita partner. Dari pada menyusahkan saya."
Senyum lebar Anaya perlahan berubah masam. Ia tidak menanggapi, tangannya meraih paperbag yang ada di kursi belakang. "Wah, cromboloni cake?"
"Tidak suka?"
"Suka."
"Saya tanya roti apa yang best seller, katanya itu, yaudah saya pilih itu saja."
Anaya mengambil rasa stroberi. Membuka bungkus roti itu, sebelum ia melahapnya ia menatap Saka. Ia angsurkan pada Saka. "Dokter mau?"
Saka menoleh melihat Anaya, kemudian beralih pada roti. "Kamu makan saja."
"Coba dulu, Dok. Ini enak sekali."
"Tidak, kamu saja."
"Ayo sedikit saja. Saya makan, dokter juga makan, jadi saya tidak merasa makan sendirian."
Saka menghela napasnya. "Baiklah." Laki-laki itu sedikit memiringkan kepalanya untuk memakan roti yang ada di tangan Anaya. Perempuan itu tersenyum senang, hingga keadaan berubah menjadi kacau. Ada Ana yang datang tiba-tiba sambil berseru ramai sekali yang membuat Anaya tersentak. Sehingga selai stoberi yang ada di roti itu berantakan di mulut Saka.
Anaya melotot melihat mulut Saka yang belebotan itu. "Astaga, Dok. Aduh, maaf, ya Dok." Anaya menarik tisu dengan cepat, lalu ia usapkan ke mulut Saka tanpa persetujuan laki-laki itu.
"Tidak usah, Anaya. Saya bisa sendiri." Saka berusaha mengentikan tangan Anaya yang masih panik membersihkan. Jadi, Saka memegang tangan Anaya. Barulah Anaya menghentikan gerakannya.
"Ciee, dari suap-suapan menjadi pegang-pengangan." Ana Tertawa.
Anaya menjauhkan tangannya. "Maaf, ya, Dok."
"Kalau mau jahil nanti saja, ya. Saya sedang mengemudi."
Anaya terdiam. Anaya memilih diam selama perjalanan yang tersisa. Roti menggiurkan itu tidak jadi ia makan. Ana yang selalu mengoceh entah apa saja yang diucapkan itu. Anaya takut akan terpancing dan membuat Saka semakin ilfil dengan sikapnya, jadi ia memilih untuk diam.
Setelah tiga puluh menit lebih dari rumah Bu Arianti, saat ini mereka telah sampai di tempat kerja suami Bu Arianti. Sebuah proyek pembangunan dapat Anaya lihat. Langit cerah tadi sore telah berganti dengan kegelapan dengan lampu-lampunya. Saka berjalan di depan, Anaya mengikutinya.
Setelah sampai di pos satpam, Saka bertanya pada salah satu penjaga. "Permisi, Pak."
"Iya?" Bapak penjaga itu meneliti Saka dan Anaya.
"Saya sedang mencari Pak Zaki ada, Pak?"
"Pak Zaki siapa, ya? Banyak yang bernama Zaki."
"Saki Setiawan."
YOU ARE READING
SILAM
Misterio / SuspensoAnaya menyadari semakin hari jumlah pasien Rumah Sakit Jiwa Surai Asa semakin berkurang. Banyak pasien yang meninggal dengan cara tidak wajar. Sejak saat itu, Anaya semakin tergugah untuk mencari tahu rahasia di balik Surai Asa. Kemudian, ia bertemu...